Lagi, dan lagi ironi konflik penggusuran dan pengosongan wilayah kembali mencuat di negeri ini. Kali ini derita pilu tersebut dialami oleh warga kepulauan Rempang, kota Batam.
Seperti dilansir dalam laman BATAM - Rencana relokasi sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis (28/9/2023) urung dilaksanakan. Ratusan aparat kepolisian yang sebelumnya dipanggil untuk mengamankan pengosongan kampung-kampung di Rempang, Kepulauan Riau, disebut sudah dipulangkan.
Polda Kepulauan Riau menyatakan telah memulangkan 200 personel Satuan Brimob Polda Riau yang sebelumnya dikirim untuk mendukung pengamanan unjuk rasa warga Rempang yang bertugas di bawah kendali operasi (BKO). "Sudah dipulangkan lagi, hari ini pelepasannya. Mereka dikembalikan ke Polda Riau," ujar Kabid Humas Polda Kepri Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad di Batam Kepulauan Riau, Kamis.
Sekularisme, Akar Keterpurukan Rakyat
Aksi protes masyarakat Rempang, karena secara psikologis mereka tertekan dan terusik. Sebab investasi Cina untuk pembangunan pabrik akan mengakibatkan warga rempang terancam dan situs bersejarah Islam bisa hilang.
Kasus ini merupakan Ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini, siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa tanah/kasus agraria
Inilah realitas politik pragmatis, biang keroknya adalah sistem demokrasi, yang memelihara dan membiarkan adanya oligarki politik, dan kekuasaan.
Sistem politik demokrasi tidak berjalan sebagaimana makna dari semboyannya untuk kepentingan rakyat, melainkan dikuasai oleh para penguasa dan pengusaha yang berada di pemerintahan.
Demokrasi sejatinya menisbatkan dirinya bahwa kedaulatan di tangan rakyat, tetapi pada faktanya politik yang ada saat ini bukan untuk kedaulatan rakyat tapi hanya dijalankan untuk kepentingan para elit dan oligarki
Sesungguhnya pangkal keterpurukan negeri ini adalah penerapan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme meniscayakan penolakan terhadap campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan. Karena itu dalam sistem sekular, hukum-hukum Allah SWT senantiasa dipinggirkan. Bahkan dicampakkan.
Pilar utama sekularisme adalah demokrasi. Demokrasi meniscayakan hak membuat hukum ada di tangan manusia. Itulah yang disebut kedaulatan rakyat. Karena itu secara teroretis, dalam demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan. Rakyatlah yang menentukan hitam-putih, benar-salah, baik-buruk dan halal-haram.
Namun, secara faktual tidaklah demikian. Demokrasi nyaris selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal. Mereka inilah yang berdaulat atas negeri ini, bukan rakyat. Dengan demikian rakyat sendiri sesungguhnya tidak memiliki kedaulatan. Akhirnya, kedaulatan rakyat hanya jargon kosong belaka. Pasalnya, yang berdaulat pada akhirnya selalu para pemilik modal.
Lihatlah negeri ini. Kekuatan para pemilik modal atau para korporat/oligarki sering berada di balik pembuatan banyak UU. Para korporat pula yang diyakini berada di balik pengesahan Omnibus Law oleh Pemerintah. UU ini diyakini hanya menguntungkan para korporasi yang jumlahnya segelintir dan sebaliknya merugikan mayoritas rakyat. Akibatnya, rakyat sering terdzalimi justru dalam sistem demokrasi.
Dengan demikian, Sekularisme Kapitalisme menjadi bencana buat keberlangsungan hidup rakyat, tidak ada jaminan dan pembelaan dari para pemimpin terhadap hak rakyatnya. Sebaliknya, jaminan hak milik dan ketenangan hidup hanya ada dalam sistem lslam.
Hanya Islam Solusi Sistemik
Jika kita telaah lebih dalam istilah penggusuran atau pengosongan lahan pada konflik di Rempang. Yaitu orang yang digusur tersebut telah menempati tanah yang bukan miliknya. Misalnya menempati tanah milik negara. Namun, ini berbeda dengan status kepemilikan tanah di Rempang
Sebab itu, Negara tidak memiliki hak terhadap tanah yang sudah dimiliki warga. Tanah yang sudah dimiliki warga, baik hasil dari membeli maupun warisan, itu adalah milik rakyat. Dalam hal ini negara sama sekali tidak boleh mengambil apa yang sudah menjadi milik rakyat.
Dalam Islam sudah jelas disebutkan bahwa mengambil tanah secara zalim itu merupakan sebuah dosa besar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka di akhirat nanti Allah SWT akan menimpakan pada orang tersebut tanah sebanyak tujuh lapis bumi.
Maka, Islam menetapkan kedaulatan di tangan syara dan umat sebagai pemiliki kekuasaan
Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat.
Berbeda jika kita melihat sistem politik itu dari sudut pandang perspektif Islam. Islam menginginkan bahwa kekuasaan itu adalah semata-mata demi kemaslahatan rakyat, menyelenggarakan urusan rakyat dengan standar rujukannya berdasarkan Al-Qur’an, dan hadits Rasulullah Karena itu, pemimpin dalam Islam selalu berpihak pada rakyat, karena itu adalah tujuan politiknya, mengurusi urusan rakyat. Pemimpin sangat memperhatikan rakyat dan kepentingan mereka menjadi skala prioritas. Sehingga wajar pemimpin dalam Islam sangat dicintai rakyatnya. Tidak perlu melakukan pencitraan agar mendapat simpati dari rakyat.
Disisi lain, ketika Islam diterapkan pada saat itu, Khalifah bahkan rela memanggul bahan makanan pokok pada rakyat yang sangat membutuhkannya karena dia menyaksikan sendiri ada rakyatnya yang tidak memiliki sesuatu untuk dimasak. Dalam kisah yang lain seorang khalifah enggan menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi. Sungguh, pemimpin dalam Islam sangat amanah dalam memimpin karena kesadaran hubungannya dengan Allah setiap waktu bukan hanya saat melakukan ritual keagamaan. Pemimpin hidup sederhana karena takut pada Allah jika menggunakan harta rakyat secara dzalim. Selama menjabat apa yang dimiliki adalah milik rakyat bahkan dirinya sendiri didedikasikan untuk rakyat. khalifah bahkan rela memanggul bahan makanan pokok pada rakyat yang sangat membutuhkannya karena dia menyaksikan sendiri ada rakyatnya yang tidak memiliki sesuatu untuk dimasak. Dalam kisah yang lain seorang khalifah enggan menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi. Sungguh, pemimpin dalam Islam sangat amanah dalam memimpin karena kesadaran hubungannya dengan Allah setiap waktu bukan hanya saat melakukan ritual keagamaan. Pemimpin hidup sederhana karena takut pada Allah jika menggunakan harta rakyat secara dzalim. Selama menjabat apa yang dimiliki adalah milik rakyat bahkan dirinya sendiri didedikasikan untuk rakyat. Maa syaa Allah. Wallahu a'lam.
Post a Comment