Proyek Kereta Cepat Surabaya, Untuk Siapa?


Riza Maries Rachmawati


Setelah proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung rampung, pemerintah berencana melanjutkan proyek kereta cepat hingga Surabaya. Proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya ini akan melewati sejumlah wilayah dengan jarak tempuh 4 jam. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan, perencanaan kereta cepat Jakarta-Surabaya sedang disusun dan pemerintah akan mengadakan kunjungan kembali ke Cina untuk membahas rencana tersebut bersama kerjasama lainnya. Tak bisa dipungkiri pembangunan infrastruktur kereta api cepat memang menjadi konsep revolusioner dibidang perkeretaapian dalam negeri. Namun wacana proyek kereta api cepat ditengah ketersediaan berbagai sarana transportasi arah Surabaya jelas mengundang pertanyaan. Sebenarnya untuk siapa pembangunan tersebut? (kumparan.com, 15-10-2023)

Pembangunan infrastruktur di negara kapitalisme selama ini tidak pernah diperuntukan untuk kemaslahatan rakyat, namun sebaliknya pembangunan tersebut malah dikomersialisasikan. Konsep kebebasan dalam sistem kapitalisme membuat para pemilik modal mengendalikan kebutuhan hajat hidup publik atas nama investasi. Akhirnya  rakyat tidak bisa menikmati infrastruktur dengan murah dan aman. Selain itu, publik bisa melihat pembangunan saat ini terpusat hanya di tempat-tempat tertentu seperti di pulau Jawa. Padahal infrastruktur transportasi di pulau ini jika dibandingkan dengan wilayah lain jauh lebih mudah dan variatif. Manajer Kampanye WALHI Nasional Dwi Sawung berpendapat proyek kereta cepat tidak perlu diteruskan sampai ke Surabaya. Lebih baik pemerintah mencari opsi yang lain seperti mengupgrade jalur yang sekarang daripadi harus membangun jalur baru.

Berbeda dengan sistem Islam ketika mengelola pembangunan infrastruktur. Negara Islam akan menerapkan syariat Islam secara kaffah ketika mengelola pembangunan infrastruktur. Negara tentu akan menjalankan semua kebijakannya berdasarkan syariat Islam. Maka dalam hal infrastruktur mulai dari konsep pembangunan hingga pembiayaannya tentu tidak akan lepas dari hukum syariat yang berlaku terhadapnya. Dalam Islam infrastruktur diartikan sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang. Sehingga termasuk dalam kategori marafiq al-jama’ah (barang yang dibutuhkan jamaah) yang haram dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Karena bagian dari marafiq al-jama’ah, maka seluruh bagian dari infrastruktur wajib disediakan oleh negara dan penggunaanya oleh rakyat pun gratis. Untuk mewujudkan konsep pembangunan seperti ini Islam telah menetapkan strategi pembiayaannya.

Pertama, bahwa strategi pembiayaan infrastruktur diperoleh dari memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas, tambang, dan semisalnya. Artinya adalah pemimpin negara Islam boleh mengkhususkan beberapa hasil sumber penghasilan kilang minyak, gas, dan sumber tambang tertentu seperti fosfat, emas, tembaga, dan sejenisnya untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Sebab negara akan berdaulat secara penuh terhadap infrastruktur tersebut, serta tidak akan ada komersialisasi infrastruktur, sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan gratis.

Adapun dalil dari kebolehan Khalifah untuk mengambil strategi ini adalah Hadits Rosulullah Saw yaitu “Tidak ada hak untuk memproteksi, kecuali milik Allah dan Rosulnya” (HR. Abu Dawud). Rosulullah saw juga mencontohkan alam afalnya (perbutannya) yakni beliau pernah memproteksi Tanah an-Naqi, tempatnya yang terletak di Madinah al-Munawwarah, untuk menjadi tempat menggembala kuda. (HR. Abu Ubaid). Kebijakan yang sama juga dilakukan oleh Abu Bakar ketika menjadi Khalifah, beliau memproteksi ar-Rabdzah yang dikhususkan untuk menggembala unta zakat. Begitu pula dengan Khalifah Umar bin Khattab, beliau tidak hanya memproteksi ar-Rabdzah tetapi juga ladang gembalaan lain yaitu as-Syaraf. Ar-rabdzah adalah salah satu ladang penggembalaan disuatu daerah. Untuk mengurusi hal tersebut, Khalifah Umar mengangkat budaknya, yang bernama Hunnaiyyi.

Kedua, Khalifah boleh menarik pajak (dharibah) kepada kaum muslimin dengan catatan kas Baitul Maal tidak mencukupi atau kosong dan infrastruktur yang dibangun memang penting dan genting untuk diadakan. Semisal pembanguna jembatan untuk menghubungkan dua daerah yang terisolasi, pembangunan sekolah, pembiayaan untuk jihad, dan pembangunan jalan di daerah terisolir. Bukan membiayai pembangunan infrstruktur kereta api cepat seperti sekarang yang notabene tak penting dan genting.


Dharibah dalam Islam berbeda dengan pajak dalam kapitalisme. Dharibah akan diambil dari warga daulah Khilafah yang khusus kaum muslimin. Sedangkan warga Daulah Khilafah yang kafir dzimmi tidak dipungut. Selain itu, ketika mengambil pajak tidak semua kaum muslimin dibebani. Hanya orang-orang yang memiliki kelebihan harta setelah semua kebutuhan pokok dan keperluan penting mereka terpenuhi.

Ada strategi pembiayaan yang haram diambil oleh Khilafah yaitu meminjam dari negara asing, atau lembaga keuangan global seperti IMR, World Bank, dan sejenisnya. Strategi ini akan membahayakan kedaulatan negara karena jika terjadi gagal bayar, infrastruktur dapat diambil alih oleh negara yang memberi pinjaman. Efek lainnya infrastruktur akan dikomersialisasi sehingga hanya rakyat tertentu saja yang bisa menikmatinya. Dan lebih dari itu transaksi ini psti akan mengandung unsur ribawi yang diharamkan oleh Allah dan Rosulnya. Demikianlah konsep pembangunan dan pembiayaan infrastruktur dalam sistem Islam. 

Wallahu’alam bi shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post