(Aktivis Muslimah Riau)
Kasus perundungan (bullying) pada anak usia sekolah makin marak. Kasus bullying yang sempat viral di Cilacap beberapa waktu yang lalu menjadi perhatian banyak pihak ataupun kalangan. Kasus seperti ini tak bisa dianggap sepele. Generasi pada saat ini semakin memperlihatkan sikap brutal yang seharusnya tidak mereka miliki diusia remaja yang begitu cemerlang untuk mengukir prestasi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas siswa yang mengalami perundungan, atau yang sering disebut sebagai bullying, di Indonesia adalah laki-laki. Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 5 SD pada siswa laki-laki mencapai 31,6 persen, sementara siswa perempuan mencapai 21,64 persen dan secara nasional sebesar 26,8 persen.
Sebagai wujud keterpanggilan sebagai warga negara, Prof Susanto telah meluncurkan Gerakan Pelopor Anti Bullying melalui Olimpiade Anti Bullying tingkat nasional bagi pelajar tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Gerakan ini akan diselenggarakan oleh Sang Juara. (https://news.republika.co.id/berita/s2u6je423/marak-kasus-bullying-mantan-ketua-kpai-luncurkan-gerakan-pelopor-anti-bullying)
Tak dipungkiri sudah ada banyak aturan yang ditetapkan negara. Tapi sejauh ini kasus yang sama tetap makin banyak. Hal ini disebabkan karena penyebabnya sangat komplek, maka tidak akan cukup dengan Gerakan Pelopor Anti Bullying.
Maraknya kasus perundungan pada anak yang makin hari makin memprihatinkan tentunya tidak terjadi begitu saja. Energi dan potensi yang luar biasa yang dimiliki pada usia sekolah yang seharusnya digunakan untuk hal-hal positif tersalurkan kepada tindakan-tindakan kekerasan dan kriminal yang diluar nalar. Untuk mencari solusi permasalahan perundungan anak ini tentunya kita seharusnya mencari akar permasalahan yang menyebabkan semua itu terjadi.
Sistem pemerintahan kapitalisme sekularisme telah menjauhkan generasi saat ini dari nilai-nilai luhur, termasuk dalam hal ini adalah nilai kemanusiaan yang harusnya dimiliki setiap individu manusia. Memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme) tentunya merupakan hal yang fatal bagi sistem pendidikan yang menginginkan terwujudnya generasi yang tak hanya cerdas tapi juga berakhlak yang baik. Dan itu semua mustahil tanpa adanya pemahaman agama yang kokoh.
Kebebasan berperilaku yang dipayungi oleh paham liberalisme telah menjadikan generasi saat menjadi makin brutal. Tak ada lagi aturan dan nilai-nilai yang mengikat. Semuanya seperti layak untuk dilakukan dengan dalih kebebasan dan hak asasi. Namun begitu kita tetap harus optimis bahwa generasi kita masih bisa diselamatkan. Dalam hal ini butuh kerjasama semua elemen, yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran konfrontatif dengan mendidik akidah Islam. Dengan ini diharapkan generasi saat ini memiliki benteng dalam menghadapi serangan ideologi kapitalisme. Hal ini harus dilakukan oleh para da'i, ulama, mubalighah, guru, orang tua, keluarga, intelektual dan peran pendidikan.
Selain itu, senantiasa membina generasi ini sehingga memiliki kepribadian yang islami dengan jalan menanamkan tsaqofah Islam sebagai sistem keyakinan,n pemikiran dan perilaku.
Tak kalah penting dari semua hal diatas adalah mempersiapkan generasi ini agar memiliki keahlian dan spesialisasi di seluruh bidang kehidupan; kedokteran, biologi, kimia, fisika dan lain sebagainya. Agar, mereka tidak terlahir menjadi generasi tanpa arah yang tidak memiliki kemampuan apa-apa dan keahlian apapun.
Peran keluarga dan lingkungan masyarakat ataupun instansi pendidikan tak akan berjalan maksimal tanpa dukungan pemerintah. Dengan kata lain demi terwujud generasi yang berkualitas tentunya dibutuhkan peran negara sepenuhnya dalam mengawasi kurikulum yang selaras dengan tsaqofah Islam, menjamin penyelenggaraan pendidikan dan menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya. Dengan begitu akan terciptalah generasi yang unggul bukan generasi "tukang pukul". Wallahu a'lam.
Post a Comment