(Pemerhati sosial dan Generasi)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim resmi menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 2.778.644 pada Pemilu 2024 mendatang, yang tersebar di 10 kabupaten/kota, 105 kecamatan, 1.038 desa/kelurahan dan 11.441 TPS. Rincinya DPT laki-laki sebanyak 1.435.916 dan DPT perempuan sebanyak 1.342.728.
Di pemilu tahun 2022 lalu, hanya 70 persen masyarakat di Kaltim yang pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari 100 persen yang terdaftar memiliki hak pilih. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) melakukan sosialisasi peningkatan partisipasi Pemilih khususnya pada organisasi Wanita sebagaimanan yang belum lama ini dilaksanakan di kota Bontang
Minim dan enggannya masyarakat ke TPS merupakan salah satu bukti adanya kekecewaan masyarakat terhadap pilihan mereka. Sosialisasi yang diadakan untuk organisasi Perempuan dianggap dapat menjadi pemersatu dan diharapkan untuk pergi ke TPS mengajak keluarga agar jumlah suara meningkat. Perempuan lagi-lagi menjadi alat untuk menyukseskan pesta demokrasi, peran politik perempuan dimanfaatkan tetapi tetap tidak menjamin kesejahteraan perempuan
Pertanyaannya, apakah peran perempuan begitu penting bagi sistem demokrasi? Apakah keterlibatan perempuan dalam parlemen benar-benar efektif untuk perubahan sistem menjadi lebih baik? Atau justru peran perempuan hanya menjadi kosmetik demi memoles politik untuk menutupi borok sistem demokrasi hari ini?
Dimana Makna politik dalam demokrasi hanya terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi. Politik ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan Sikap pragmatis dan menghalalkan segala cara menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam sistem politik demokrasi.
Oleh karenanya, perempuan yang tidak terlibat dalam struktur pemerintahan atau legislasi dianggap tidak berperan dalam politik. Meskipun pada faktanya, mereka sudah terlibat aktif dalam penyelesaian urusan umat, seperti melakukan dakwah dalam rangka pencerdasan umat. Walhasil, tuntutan kuota perempuan dalam parlemen terus menggaung kencang.
Begitu pula tuntutan independensi hak suara perempuan dan pemilu, membuktikan bahwa indikator peran politik perempuan hanya diukur dari keberadaannya dalam parlemen. Pemimpin perempuan dalam parlemen menjadi sorotan, bahkan perempuan harus diberi porsi dalam memimpin sejumlah jabatan dalam pemerintahan.
Pemilu sebenarnya adalah salah satu uslub (cara) untuk mencari pemimpin atau wakil rakyat. Tersebab ide dasar demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, dipilihlah pemilu sebagai cara yang tepat untuk memilih para wakil rakyat dan pemimpin.
Pada dasarnya, hukum pemilu sebagai uslub untuk mencari wakil dan pemimpin adalah boleh. Hanya saja, kebolehan itu tidak berarti asal menerobos rambu-rambu syariat Islam. Sebagai muslim, kita wajib terikat dengan aturan Allah dalam aktivitas apa pun, termasuk pemilu.
Pemilu saat ini dilangsungkan dalam bingkai demokrasi. Sebagaimana kita ketahui, demokrasi tidak sama dengan konsep pemerintahan Islam. Dalam demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat, yang berarti manusialah yang berhak membuat aturan. Sementara itu, pemerintahan dalam Islam menempatkan Sang Pencipta sebagai pihak yang berhak membuat aturan. Akibat perbedaan mendasar ini, demokrasi jelas tidak sama dan tidak berasal dari Islam sehingga seluruh muslim tidak boleh memakainya.
Peran Politik Perempuan menurut Syariat Islam
Dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa perempuan dibolehkan menduduki berbagai jabatan, selama tidak termasuk dalam wilayah pemerintahan (Khalifah, muawin (pembantu khalifah), wali (gubernur), qadhi qudhat (pemimpin para kadi), serta qadhi mazhalim (kadi yang berkewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat khalifah jika zalim terhadap rakyatnya atau menyalahi Al-Quran dan Sunah).
Perempuan juga bisa menjadi pegawai dan pemimpin swasta maupun pemerintah yang tidak termasuk wilayah al-hukm, antara lain sebagai kepala baitulmal, majelis wilayah, anggota majelis umat, qadhi khushumat (qhadi yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), serta qadhi hisbah (kadi yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat). Juga diperbolehkan bagi perempuan menduduki jabatan kepala departemen kesehatan, pendidikan, perindustrian, perdagangan, rektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, direktur perusahaan, dll. Semua posisi kepemimpinan yang berada di luar wilayah pemerintahan, bisa dijabat oleh perempuan.
Artinya, peran politik perempuan telah diatur sedemikian rupa oleh syariat sehingga bukan berarti perempuan tidak bisa berkiprah sama sekali dalam politik. Namun, perannya diarahkan sesuai syariat. Peran ini pun untuk mewujudkan ketaatan pada Allah Taala, bukan untuk kepentingan segelintir partai atau kelompok.
Islam telah mengatur peran muslimah dalam kancah politik. Pertama, beramar makruf nahi mungkar. Allah Taala berfirman dalam QS Ali Imran: 104, Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam), memerintahkan pada yang makruf, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Wujud amar makruf nahi mungkar ialah berdakwah menyeru manusia kepada Islam.
Kedua, salah satu bentuk peran politik muslimah adalah terlibat dalam sebuah partai politik Islam yang berjuang menegakkan sistem Islam kafah. Ketiga, menjalankan pengawasan dan koreksi kepada penguasa untuk memastikan mereka menerapkan syariah secara totalitas.
Keempat, melakukan baiat terhadap pemimpin negara. Kelima, memenuhi hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Majelis umat ialah sekumpulan wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada Khalifah.
Saat muslimah menjalankan berbagai peran politiknya, ia melakukannya karena dorongan keimanan, yakni ingin terikat pada aturan syariat, bukan untuk memenuhi agenda penjajahan atas nama kesetaraan gender, memenangi kursi parlemen untuk kepentingan partai, ataupun hendak menjadi kepala negara.
Sudah semestinya para muslimah meyakini bahwa ketaatan pada Allahtermasuk dalam berpolitikadalah satu-satunya jalan mengantarkan mereka pada keberkahan hidup. Terjunnya muslimah melibatkan diri dalam kancah politik haruslah semata-mata demi Islam, bukan yang lain. Ia juga harus terlebih dahulu memastikan status hukum perbuatan yang akan ia lakukan, diperbolehkan oleh syariat ataukah tidak. Inilah modal bagi kaum muslimah untuk merespons dengan sikap cepat dan tepat.
Seorang muslimah tidak boleh sekadar ikut dalam perpolitikan dan malah menjadi alat memuluskan berbagai kepentingan penjajahan dan oligarki. Jangan sampai kaum Muslimah justru melanggengkan agenda penjajahan dalam cengkeraman sistem demokrasi kapitalisme.
Kaum muslimah, tetaplah berada pada posisi yang benar sesuai ketentuan syariat ketika menjalankan peran di tengah umat. Jangan latah ikut-ikutan memenuhi kuota keterwakilan dalam parlemen dan pemilu. Muslimah harus cerdas dengan Islam. Mencerdaskan umat pun wajib dengan Islam. Jadilah bagian dari pelaku perubahan, dari sistem rusak menuju sistem yang baik dan benar, yakni Islam. Wallahu Alam bisshawab
Post a Comment