Mitigasi Karhutla, Sejauh Mana Keseriusan Negara?

 

Oleh: Bella Lutfiyya

Aktivis Muslimah


Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) kembali terjadi di berbagai wilayah. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari mengatakan telah terjadi 499 kejadian karhutla yang terlapor hingga Agustus 2023. Baru-baru ini misalnya, terjadi karhutla di kawasan Bromo akibat sepasang kekasih yang melakukan foto prewedding dengan menyalakan flare. 


Meningkatnya Karhutla ini menimbulkan kenaikan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Kepala Dinas Kesehatan Sumatra Selatan Trisnawarman mengatakan terjadi peningkatan 4.000 kasus ISPA dalam sebulan sejak Juli hingga Agustus 2023. Sedangkan di Jambi, dalam lima hari pertama September telah terdeteksi sebanyak 1.097 kasus ISPA. Karhutla bahkan mengganggu negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. 


Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ully Artha Siagian menyebutkan bahwa ada 2 (dua) hal yang menyebabkan aksi pembakaran hutan, yaitu faktor yang disengaja dan tidak sengaja. Faktor pembakaran yang disengaja kemudian dibagi lagi menjadi dua, yaitu land clearing (pembukaan lahan) yang dilakukan perusahaan dengan melakukan pembakaran hutan. Land clearing dengan membakar, maka biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah. 


Seperti Karhutla yang terjadi di Desa Nurabelen, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Jumat (25/8) yang dipicu akibat adanya praktik pembersihan lahan dengan cara dibakar dan melahap lahan seluas 40 ha. Faktor sengaja lainnya, yaitu membakar untuk mengajukan asuransi. Ully juga menyampaikan kejadian Karhutla yang terus terulang dikarenakan pemerintah tidak serius mengurus Sumber Daya Alam (SDA). Salah urusnya negara tersebut mengkibatkan tidak adanya perlindungan yang ketat terhadap wilayah-wilayah yang penting dan rentan. Salah satunya lahan gambut dan hutan. 


Di sisi lain, fenomena el-Nino kerap dijadikan kambing hitam sebagai penyebab kebakaran. Campaigner Pantau Gambut, Abil Salsabila mengatakan bahwa el-Nino tidak bisa dikatakan sebagai penyebab utama. El-Nino memang berpengaruh, namun melihat berulangnya kasus karhutla selama beberapa tahun, menunjukkan mitigasi belum berjalan dengan baik, optimal, dan antisipasif. Pemerintah sendiri telah melakukan upaya berupa pembuatan sekat kanal, embung, dan sumur bor untuk membasahi kembali lahan gambut yang kering. Namun nyatanya, tidak terlaksana dengan baik. 


Hal tersebut merupakan permasalahan sistemik karena negara yang menganut sistem kapitalisme justru melegalkan pemberian hingga pengelolaan SDA kepada asing. Sistem kapitalisme melahirkan pemerintah yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pemerintah justru berperan sebagai regulator, yaitu pembuat Undang-Undang (UU) dan fasilitator bagi pihak swasta yang ingin menguasai dan mengelola hutan yang justru menyebabkan bencana karhutla ini terjadi. 


Padahal, dalam Islam, hutan adalah milik umum, tidak boleh memberikan izin pengelolaan kepada pihak swasta. Hutan boleh dimanfaatkan langsung oleh masyarakat secara bersama-sama. Namun, apabila berpotensi menimbulkan kerusakan atau konflik antar masyarakat, maka hutan akan diambil alih oleh negara tetapi tentunya bukan untuk tujuan bisnis. Negara dalam naungan Islam menangani dan mengelola bencana dengan sangat baik melalui kebijakan yang komprehensif dan solutif, serta efektif. 


Islam mewajibkan negara menjadi pelindung bagi rakyat akan berbagai bahaya yang mengancam karena keseriusan mitigasi adalah satu keniscayaan dalam negara Islam, mengingat larangan untuk membawa kemudharatan bagi setiap insan seperti sabda Rasulullah SAW, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Al-Baihaqi)[]

Post a Comment

Previous Post Next Post