Menelisik Pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10, Demi Kebutuhan Umat atau Korporat?

 

Oleh: Reno Pratiwi

Aktivis Muslimah

 

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di Suralaya merupakan proyek infrastruktur besar yang telah mendapatkan perhatian luas di Indonesia. Proyek ini dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam upaya negara memastikan pasokan listrik yang stabil dan berkelanjutan di masa depan. PLN melalui anak usahanya yakni Indonesia Power melalui PT Indo Raya Tenaga menguasai saham sebesar 51% atas PLTU ini, sementara Barito Pacific Group dan KEPCO, perusahaan listrik Korea Selatan memiliki saham 49 % (katadata.co.id). Pembangunan yang diperkirakan selesai di tahun 2024 ini, dengan kapasitas pembangkit listrik yang mencapai 2000 MW, digadang-gadang dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan listrik atas kegiatan ekonomi dan industri di Pulau Jawa.

 

Namun banyak kalangan yang mengecam berjalannya proyek ini, karena di samping potensi terjadinya konflik horisontal dengan masyarakat di wilayah setempat, juga isu lingkungan berupa pencemaran udara dan perubahan iklim yang bakal berdampak luas dalam waktu lama. Sebagaimana diketahui dalam dua bulan terakhir ini wilayah Jabodetabek terindikasi memiliki tingkat pencemaran udara yang sangat tinggi, bahkan Jakarta tercatat sempat menduduki peringkat teratas kota terpolusi di dunia.

 

Asap kendaraan bermotor serta kegiatan industri yang berlokasi di sekitar Jabodetabek disinyalir menjadi kontributor utama terjadinya polusi udara yang mencapai level tidak sehat. Apatah lagi bila PLTU Jawa 9 dan 10, yang hanya berjarak 150 km dari Jakarta, sudah mulai beroperasi? Teknologi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara seperti PLTU ini diketahui berpotensi menghasilkan gas buang beracun serta partikel-partikel padatan yang membahayakan manusia ketika menghirupnya. Pengoperasian pembangkit bertenaga batu bara ini disinyalir mengakibatkan ribuan kasus kematian dini dan menyumbang lebih dari 250 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer bumi sebagai penyebab utama pemanasan global.

 

Indonesia sendiri lewat pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 seolah mengingkari perjanjian Paris yang ditanda tanganinya bersama 195 negara di dunia pada 2016. Perjanjian internasional ini mengikat secara hukum terkait perubahan iklim dunia salah satunya dengan membatasi penggunaan batu bara sebagai bahan bakar. Ratifikasi perjanjian Paris dalam bentuk UU No 16 tahun 2016 tidak berpengaruh pada keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengurangi eksploitasi dan penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Terbukti dengan pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 saat ini, serta sebelumnya baru saja mulai beroperasi unit PLTU Batang dan PLTU Jawa 4 di Jepara, Jawa Tengah, di tahun 2022, dengan kapasitas masing-masing 2000 MW.

Praktik business as usual menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam menjalankan kebijakan negara. Alih-alih memperhitungkan berapa kebutuhan energi atas masyarakat Indonesia, orientasi bisnis justru menjadi pertimbangan utama dalam menentukan kebijakan energi yang akan diberlakukan, dalam hal ini pembangunan PLTU. Sebagaimana diketahui teknologi pembangkit listrik dengan bahan baku batu bara merupakan teknologi yang paling sederhana dan murah, apalagi Indonesia merupakan salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia. Hal ini tentu menjadi aspek yang menarik untuk dikembangkan secara bisnis, mengingat trend kebutuhan energi yang terus mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan industri dan teknologi.

 

Pandangan kapitalis yang hanya berorientasi keuntungan, serta merta akan menggenjot segala potensi bisnis batu bara ini tanpa memperhitungkan akibatnya bagi masyarakat yang terdampak. Kaca mata kapitalis akan menafikan risiko dan bahaya, semata demi keuntungan materi yang akan didapatkan. Solusi-solusi palsu semacam hibridisasi PLTU Jawa 9 dan 10 dengan teknologi amonia hijau dan nitrogen hijau hanyalah kedok untuk melanggengkan kapitalisasi energi yang sejatinya merupakan hajat hidup masyarakat. Diketahui teknologi hijau tersebut masih merupakan teknologi yang memerlukan investasi biaya tinggi. Fakta bahwa pemegang separuh saham PLTU merupakan pihak swasta yang tentu saja berorientasi keuntungan, maka bisa dipastikan komoditas listrik yang dihasilkan akan memiliki harga jual yang tinggi.

 

Kebutuhan listrik di Pulau Jawa-Bali tercatat mencapai 22000 MWh pada beban puncaknya di 2022 (katadata.co.id), sedangkan kapasitas pembangkit listrik terpasang di wilayah Jawa Bali pada 2021 total sebesar 34000 MWh (bps.go.id). Fakta tersebut memperlihatkan sebenarnya pembangunan PLTU di wilayah Jawa-Bali sudah tidak diperlukan lagi. Bahkan semenjak 2021 pun, pembangkit listrik yang eksisting sudah terlihat berlebih. Jadi bila kemudian hingga kini pembangunan PLTU terus dilakukan, patut dipertanyakan sebenarnya proyek ini untuk siapa? Keterlibatan saham-saham milik swasta menjadi indikasi kepentingan bisnis memang berperan di dalam kebijakan proyek pembangunan PLTU. Masyarakat sebagai konsumen utama bisa dipastikan menjadi korban perhitungan bisnis yang berorientasi pada keuntungan semata.

 

Pandangan Islam

Islam dengan segala kesempurnaannya selain mempunyai posisi sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, namun juga mengatur segala aspek kehidupan, termasuk hubungan antar manusia. Kebijakan energi suatu negara yang menganut sistem Islam menjadikan penguasa mengemban amanah untuk mengurusi kebutuhan vital masyarakat akan energi, termasuk dalam hal ini energi listrik.

 

Beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan penguasa dalam kepengurusan kebutuhan energi rakyatnya antara lain: Pertama, pengadaan energi listrik merupakan wewenang penguasa yang berorientasi pemenuhan kebutuhan umat, bukan orientasi bisnis. Sehingga dalam usaha pengadaannya akan berupaya mengoptimalkan sumber daya yang tersedia, baik sumber daya alamnya, manusianya, serta modal yang dibutuhkan, tanpa menggantungkan pada pihak luar. Sehingga akhirnya akan terjadi kemandirian energi pada negara tersebut.

 

Kedua, dilakukan pemetaan kebutuhan energi di seluruh wilayah, sehingga tidak terjadi ketimpangan yang akhirnya menyulitkan dan menimbulkan masalah yang baru. Pengadaan pembangkit energi didasarkan kebutuhan pada masing-masing wilayah. Ketiga, pembangunan pembangkit listrik berorientasi kemaslahatan umat, sehingga dalam pelaksanaannya tidak mengandung kezaliman dan kemudaratan, menghormati hak milik dan hak hidup masyarakat.

 

Keempat, dengan dasar poin ketiga maka teknologi yang digunakan dalam pengadaan listrik diupayakan tidak malah memberikan masalah baru berupa isu kesehatan, isu iklim dan lingkungan, maupun harga energi yang tinggi, Teknologi pembangkit haruslah dirancang sedemikian sehingga tidak merusak lingkungan dan menghasilkan energi dengan harga yang terjangkau. Kelima, peran penguasa untuk mengurusi rakyatnya juga dilakukan dengan memberikan edukasi untuk bijak dalam menggunakan energi dan memberikan penyadaran untuk tidak bersikap berlebih-lebihan yang dilarang dalam agama.

 

Demikianlah Islam menyediakan aturan secara menyeluruh, menjadikan segala sesuatunya sesuai dengan porsinya, berorientasi kemaslahatan rakyat, dan yang terpenting adalah spirit untuk semata-mata beribadah kepada Allah dengan mengikuti semua syariat-Nya.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post