(Pemerhati kebijakan Ekonomi dan Politik)
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) , harga beras di pasaran terus meningkat selama beberapa bulan terakhir. Namun kenaikan ini secara signifikan terjadi pada September lalu.
Amalia Adininggar Widyasanti, Plt Kepala BPS mengungkapkan harga beras di level eceran meningkat sebesar 5,61 persen secara bulanan (month to month/mtm). Kenaikan ini menjadi yang tertinggi sejak Februari 2018. Sebelumnya juga terjadi lonjakan harga beras sebesar 6,25 persen secara bulanan.
Menurutnya, penyebab utama lonjakan harga beras disebabkan berkurang pasokan. Hal ini merupakan dampak dari kemarau berkepanjangan dan penurunan produksi karena efek El Nino. Turunnya pasokan beras terlihat dari rata-rata harga beras yang melonjak di level penggilingan. Tercatat harga beras di level penggilingan melesat 10,33 persen secara bulanan dan meningkat sebesar 27,43 persen secara tahunan menjadi R 12.708 per kilogram.
Selain itu, lonjakan harga juga terjadi di level grosir. BPS mencatat, ada peningkatan rata-rata harga beras di level grosir sebesar 6,29 persen secara bulanan dan melonjak 21,02 persen secara tahunan menjadi Rp 13.037 per kilogram. Bahkan lonjakan harga beras dianggap menjadi pemicu utama inflasi pada September yaitu sebesar 0,19 persen.
Biang keladi kenaikan harga beras
Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengungkapkan kenaikan harga gabah/beras di musim gadu (Juni-September) ketimbang di musim panen raya (Februari-Mei) merupakan siklus normal. Namun, menurutnya harga saat ini sudah melebihi HPP.
Khudori mengatakan HPP gabah kering panen (GKP) di petani sebesar Rp 5.000 per kg. Namun, harga di pasar rata-rata sudah lebih dari Rp 6.000 per kg, bahkan ada yang sudah menyentuh Rp 7.000 per kg.
Masih menurut khudori agak sulit untuk memastikan penyebab kenaikan harga beras. Pasalnya, ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kenaikan harga beras. Faktor tersebut antara lain siklus panen dan perkiraan produksi beras yang menurun,fenomena el Nino dan adanya dinamika global berupa penutupan ekspor beras dari beberapa negara eksportir.
Namun, Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta menilai, penyebab kenaikan harga beras lebih kompleks dan sistemis. Pertama, bertambahnya jumlah, tetapi produksi makin turun. Berdasarkan data yang dimiliki, tahun 2010 luas area panen padi 12,8 juta hektare. Setelah satu dekade tepatnya Tahun 2021, luas area panen berkurang 2,3 juta hektare. Yaitu hanya sekitar 10,5 juta hektare. Produksi padi juga menurun. Awalnya produksi padi sejumlah 15,1 juta ton pada 2010, pada 2021 minus 9,9 juta ton sehingga hanya tersisa 5,2 juta ton. Sementara itu, jumlah populasi penduduk Indonesia di periode yang sama (baca: 2010–2021) bertambah 38,5 juta jiwa.
Hal ini secara otomatis akan menyebabkan lonjakan harga beras. Karena harga barang akan mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Jika penawaran lebih sedikit daripada permintaan, harga akan cenderung naik. Begitupun sebaliknya.
Kedua, alokasi dana yang mencapai Rp 4.426 triliun dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Hatta menilai, hal ini tidak masuk akal. Pencabutan berbagai subsidi hanya karena dananya dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Termasuk pembatasan dan pencabutan subsidi pupuk bagi para petani. Hal ini tertuang dalam Permentan 10/2022 yang dikeluarkan Kementrian pertanian pada Oktober 2022, tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Permentan tersebut membatasi jenis pupuk subsidi yang sebelumnya lima jenis yakni ZA, Urea, NPK, SP-36, dan pupuk organik Petroganik menjadi dua jenis saja, yaitu Urea dan NPK.
Ketiga, keberlanjutan pertanian. Menurut Hatta di antara faktor keberlanjutan pertanian adalah masalah sumber daya air. Berdasarkan data yang dikutip dari Food Sustainability Index (indeks keberlanjutan pangan), yang mengukur sistem keberlanjutan pangan di 78 negara, Indonesia berada di ranking ke-71. Posisi Indonesia di bawah Bangladesh, bahkan di bawah Zimbabwe.
Menggagas Solusi Tuntas
Kebutuhan pangan adalah kebutuhan dasar manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Siapa di antara kalian yang berada pada waktu pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia ini telah diberikan kepadanya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Negara adalah pihak yang memiliki tanggung jawab dalam pengurusan urusan rakyat. Karena itu wajib bagi negara menjamin pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Islam memandang setiap individu memiliki hak yang sama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar. Dan Islam mewajibkan penguasa untuk memastikan tiap-tiap individu rakyat bisa tercukupi kebutuhan pangannya secara layak. Penguasa tidak hanya wajib memastikan stok pangan aman, tetapi juga memastikan rakyat bisa memperolehnya dengan harga yang terjangkau.
Di dalam kitab Sistem Ekonomi Islam karya Taqiyuddin An-nabhani disebutkan bahwa Khilafah harus mewujudkan swasembada penuh dalam komoditas yang yang menjadi hajat hidup rakyatnya. Seperti Beras, gandum, jagung, kedelai, telur,ayam dan daging. Oleh karena itu, Khilafah akan mengoptimalkan pertanian dan membangun industri di dalam negeri sehingga kebutuhan pangan bisa tercukupi secara mandiri, tanpa impor sedikit pun.
Adapun terkait swasembada beras, Khilafah menargetkan ketahanan pangan pada masa depan, tidak sekedar terpenuhinya stok dalam negeri. Hal ini penting untuk mengantisipasi paceklik seperti El Nino dan sekaligus terwujudnya stabilitas harga.
Berikut ini beberapa langkah yang akan ditempuh Khilafah untuk mewujudkan ketahanan pangan.
1. Ekstensifikasi lahan dengan membuka lahan baru dan menghidupkan lahan tidur atau mati.
2. Intensifikasi pertanian dengan metode pertanian terbaru yang lebih produktif
3. Optimalisasi produksi dengan penggunaan benih terbaik, alat pertanian tercanggih, dan pupuk terbaik.
4. Membangun infrastruktur untuk mendukung pertanian, misalnya terkait penyediaan irigasi
5. Membangun industri untuk mengolah hasil pertanian.
6. Memberi bantuan tanpa kompensasi bagi petani baik berupa lahan, benih, alat produksi, maupun edukasi teknik pertanian.
7. Melarang dan mencegah intervensi pihak asing dalam pengaturan pangan dalam negeri.
Jika mekanisme ini dilakukan secara menyeluruh, permasalahan kelangkaan beras akan bisa teratas. Dan tak menutup kemungkinan, Khilafah akan mampu memberikan bantuan pangan pada negara lain yang sedang mengalami krisis pangan.
Wallahu’alam bi showab
Post a Comment