Konflik Agraria, Negara Membela Siapa ?

 

Oleh  Uty Maryanti


Bila di ibaratkan Indonesia itu seperti sepotong kue yang lezat dan menggiurkan. Bagaimana tidak, dengan dalih investasi pemerintah seolah menutup mata dan abai jika banyak lahan dan tanah yang diakuisisi oleh pihak asing. Bukti nyata ini bisa kita lihat dari banyaknya konfik agraria yang bermunculan.


Dikutip dari cnnindonesia (24/09/2023), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya ada 2.710 konflik agraria selama sembilan tahun pemerintahan terakhir, 73 diantaranya adalah Proyek Strategis Nasional.


Konflik agraria ini pun terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.


Sejak 2015 hingga 2022 kasus ini bermunculan, setidaknya ada 5,8 hektar tanah yang terdampak pengalihan kepemilikan serta 1,7 juta keluarga yang menjadi korban, tidak cukup sampai disitu Dewi Kartika selaku Sekretaris Jendral KPA menyampaikan ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.


Keadaan ini jelas sangat memprihatinkan, atas dalih investasi untuk mensejahterakan rakyat faktanya justru rakyatlah yang terasingkan dan seolah tidak diberi pilihan selain menerima biaya relokasi yang jauh dari kata layak. Pemerintah seakan membentangkan karpet merah untuk para investor dan para pemilik modal.


Begitulah fakta yang terjadi saat ini. Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan hari ini telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan umat dan malah membuat ketimpangan serta kesenjangan kekayaan yang cukup besar. 


Karena dalam sistem ekonomi kapitalis kebebasan kepemilikan sangat di utamakan, yang menjadikan para pemodal atau kapital bebas untuk memiliki sumber daya alam dari segi manapun selama mendatangkan untung yang berlipat pastilah di keruk habis-habisan. 


Tentulah masalah ini akan terus berlanjut jika kapitalisme-demokrasi  liberal masih dijadikan sumber hukum atau ideologi bagi negara. Kebijakan yang di ambil untuk menyelesaikan masalah agraria dengan membentuk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) nyatanya mandek tidak dapat menyelesaikan persoalan.


Sejatinya masyarakat tidak menentang adanya perubahan, bahkan mendorong adanya perubahan untuk menuju kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, tetapi hendaknya perubahan itu ditempuh dengan jalan yang bijaksana dan tidak memihak pada satu sisi saja. 


Masalah ini bisa kita tinjau pada masa Islam berjaya, konflik agraria pun pernah terjadi pada masa khilafah islam pada sekitar 13 abad yang lalu, tapi kebijakan yang di ambil pada masa itu sungguh memihak rakyat meskipun non muslim, di mana Amr bin Ash radhiyallahu anhu selaku Gubernur (Wali) Mesir saat itu membangun sebuah mesjid besar, namun sebagian kecil lahannya milik seorang Yahudi, tetapi orang Yahudi tidak terima dan mengirimkan surat kepada pemimpin besar Umar bin Khattab di Madinah, lalu oleh Umar bin Khattab selaku pemimpin pun mengambil keputusan untuk menghentikan proyek tersebut. 


Tentu ini adalah salah satu contoh mulia saat di mana sistem Islam ditegakkan di tengah umat. Hak dan kewajiban dijamin oleh pemimpin yang memang tugasnya mengayomi dan mengurusi rakyatnya. 

Kepemilikan dalam Islam pun diatur agar tidak dikuasai oleh asing dan pemilik modal, dimana sumber daya alam termasuk hutan, laut, sumber air, barang tambang seperti minyak bumi dan batu bara, merupakan hak kepemilikan umum sehingga tidak boleh diprivatisasi. Setiap individu boleh mengambil sesuai keperluannya dan negara wajib mengelolanya, kemudian digunakan kembali untuk kesejahteraan rakyatnya.


Semua itu hanya bisa terealisasi dengan diterapkannya Islam secara kafah didalam kehidupan. Sistem yang akan bisa mewujudkan terciptanya sistem ekonomi Islam untuk menuntaskan segala macam persoalan baik dalam bermasyarakat ataupun bernegara. 


Wallahu a’lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post