Oleh: Yanyan Loyanti
Belum selesai kasus penggusuran rakyat Rempang, muncul kembali kasus terkait konflik lahan di Gorontalo yang menjadi penyebab dibakarnya Kantor Bupati Pohuwato, Gorontalo. Masyarakat di sana melakukan Unjuk rasa terkait permintaan ganti rugi lahan ke perusahaan tambang emas yang berakhir ricuh.
Dikutip dari CNN Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan terdapat 2.710 konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah.
Selain itu, terdapat 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa.
Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil. Karena masalah ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.
Masalah ini pun tak pernah teratasi di bawah pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun terakhir. Salah satunya akibat kinerja tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria (GTRA) yang mandek meski telah dibentuk khusus untuk menyelesaikan persoalan.
Tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria atau yang kita kenal dengan GTRA nasional dan wilayah dinilai telah gagal menjamin dan mengemban pencapaian tujuan pelaksanaan MA sebagaimana yang tertuang dalam Perpres 86 tahun 2018 tentang reforma agraria, yang diartikan untuk merombak struktur penguasaan tanah, menuntaskan konflik agraria, mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan pangan, serta menjaga keseimbangan alam.
Lebih lanjut, terkait pangan, masalah agraria jelas akan berdampak terhadap krisis pangan yang belakangan mengancam Indonesia.
Perampasan tanah menjadi sebab terjadinya krisis pangan dan hilangnya kedaulatan pangan petani, serta sistem pertanian rakyat yang telah membudaya. Sangat disayangkan pemerintah yang tidak memanfaatkan sumber-sumber agraria yang berlimpah ruah di Indonesia. Keputusan pemerintah melakukan impor pangan justru akan semakin memperburuk keadaan, terutama di kalangan petani lokal.
Inilah ironisme wajah negara agraris yang sumber-sumber agrarianya begitu luas dan kaya tetapi sangat rentan mengalami krisis pangan. Ini terjadi karena sektor pertanian rakyat tidak menjadi pondasi pembangunan pertanian secara nasional.
Perspektif Islam
Pada dasarnya, tanah merupakan bagian dari alam semesta milik Allah Taala. Allah Swt. berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2).
Dari sini, kita bisa mengambil dua hal penting, yaitu pemilik hakiki tanah adalah Allah Swt. dan Dia memberikan keleluasaan bagi manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum-Nya.
Oleh karenanya, pengaturan dan pengelolaan tanah harus ditetapkan berdasarkan hukum Allah semata. Menurut hukum Islam, tanah dapat dimiliki dengan enam cara, yakni melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
Islam menetapkan setiap individu rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni tanah tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah ï·º bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Menghidupkan tanah mati yang dimaksud di sini ialah memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan seorang pun, yakni dengan cara menanaminya dengan pohon, bercocok tanam, atau membangun bangunan di atasnya.
Islam juga menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, kepemilikan tanah bergantung pada selembar sertifikat. Kepemilikan tanah yang dihuni secara turun temurun bisa diklaim milik negara jika tidak bersertifikat. Adapun dalam Islam, kepemilikan tanah yang sudah dihuni dan dikelola berpuluh tahun tidak dapat diambil siapa pun bahkan oleh negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Inilah di antara keadilan Islam dalam mengatur kepemilikan tanah.
Selain itu, negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum dengan keridaan pemilik tanah. Jika pemilik tanah tidak ridha, negara tidak boleh menggusur paksa, apalagi bertindak sewenang-wenang. Jika pemilik tanah ridha, negara dapat memberikan ganti untung yang membuat pemilik tanah tidak mengalami kesusahan.
Keadilan atas status kepemilikan tanah dan pengaturannya hanya bisa dirasakan dalam sistem Islam kaffah. Dalam Islam, negara adalah pelindung, pengurus, dan bertanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya.
Post a Comment