Kekeringan Akibat Kemarau Panjang, Salah Siapa?

 


Oleh: Yeyet Mulyati


Bulan Oktober sudah hampir padam namum hujan belum juga turun, siklus hujan yang biasanya terjadi di awal bulan Oktober hingga berakhir di bulan Maret kini belum nampak tanda-tanda akan turunnya hujan. Dampak dari hujan yang belum saja turun salah satunya adalah kurangnya pasokan air bersih yang tentu saja sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk di bumi ini, baik itu manusia, hewan hingga tumbuhan.


Air memegang peranan penting bagi kehidupan manusia, bahkan penelitian mengatakan bahwa manusia akan mati jika tidak mendapatkan pasokan air kedalam tubuhnya selama 3 sampai 4 hari. Air sangat dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari terutama untuk kebutuhan rumah tangga, seperti mencuci, memasak, mandi dan lain sebagainya. Selain itu, air juga sangat dibutuhkan oleh para petani untuk mengairi sawah dan kebunnya agar hasil panen berhasil sesuai keinginan. Juga mereka yang berkecimpung pada budidaya perikanan tentu saja membutuhkan air dengan jumlah yang tidak sedikit.


Dampak dari kemarau panjang ini menjalar pada seluruh aspek kehidupan. Selain berkurangnya air bersih untuk kebutuhan sehari-hari atau untuk kebutuhan pertanian dan perkebunan juga perikanan, hal ini juga mengakibatkan krisis ekonomi yang mengakibatkan harga bahan pokok menjadi naik imbas dari gagal panen karena kemarau panjang. Dari sini, menambah daftar panjang kesulitan rakyat.


Benarkah kekeringan ini akibat fenomena alam saja?. Jika hanya melihat dari sisi ini, maka hal tersebut tentu tidak sepenuhnya benar. Sebab jika kita amati, semua ini ada ulah tangan manusia yang sering merusak alam hanya untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan. Kita ambil contoh kota Bandung, kota yang dikelilingi oleh gunung. Seharusnya menjadikannya kota yang sejuk dengan debit air bersih yang melimpah, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya. Tapi faktanya, saat ini gunung hijau yang seharusnya dapat menampung air hujan kini gundul tak nampak jajaran pohon yang menghiasinya. Sehingga bukannya menampung air hujan tapi malah mengakibatkan longsor dan banjir bandang.


Semua itu terjadi akibat illegal logging yang dilakukan para kapitalis dengan alasan sudah mendapatkan ijin dari pemerintah setempat. Kemudian pertambangan yang dilakukan para pengusaha membuat gunung serta bukit tempat tumbuhnya beraneka ragam pohon pun hilang bak ditelan bumi, sehingga rata dengan tanah. Ditambah dengan pembakaran hutan yang dilakukan para oligarki untuk membuka lahan dan dijadikan hutan produktif yang dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan. Jadi sudah sepantasnya jika alam pun 'marah' atas keserakahan dan kejahatan manusia yang telah merusak alam.

    

Untuk menyelesaikan masalah kekeringan ini, maka harus mengembalikan bumi dan segala isinya kepada Sang Pencipta, dan mengembalikan seluruh hukum hanya kepada hukum Allah. di bawah naungan sistem yang disebut Khilafah Islamiyyah. Sejarah telah mencatat bahwa kota-kota yang berada dalam kekuasaan Khilafah telah memiliki manajemen dan pasokan air yang sangat maju untuk mengalirkan air ke seluruh pelosok wilayah agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan warganya. 


Dalam menghadapi persoalan kekeringan, Khilafah juga akan melaksanakan prinsip-prinsip yang sahih. Diantaranya, akan menjadikan hak kepemilikan umum yaitu hutan, dan sumber mata air seperti sungai, danau, lautan dan sebagainya, dikembalikan sesuai dengan fungsinya. Sebagai mana sabda Rasulullah SAW: "sesungguhnya manusia itu berserikat dengan tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" ( hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad).


Kemudian khilafah akan hadir secara benar sebagai ra'in atau pengurus, negara tidak berhak memberikan hak istimewa kepada individu manapun untuk memanfaatkan hutan, dan sumber mata air apapun, karena konsep ini tidak dikenal dalam Islam. Sebab keduanya merupakan kepemilikan umum yang siapapun boleh memanfaatkannya. Penggunaan sumber daya tersebut pun tidak boleh berlebihan dan digunakan sesuai kebutuhan. Sehingga jika datang musim kemarau panjang, kekeringan tidak akan terjadi.


Wallahu alam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post