Indonesia mengalami bonus demografi, yakni ditunjukkan dengan banyaknya persentase penduduk muda usia 15—55 tahun ke atas dan generasi ini digadang-gadang akan menjadi pengisi peradaban yang dicita-citakan oleh Indonesia pada seratus tahun kemerdakaan. Berdasarkan data BPS pada 2020, generasi emas tersebut adalah 53% dari jumlah penduduk Indonesia, artinya lebih dari separuh penduduk Indonesia berusia produktif, melek teknologi dan informasi, memiliki karakteristik yang unik, menyukai visual yang sejalan dengan digital informasi yang ada saat ini, dan akan menjadi kader-kader pemimpin masa depan.
Jika melihat fakta generasi saat ini yang lahir di era teknologi, maka terdapat 3 golongan. Pertama, generasi yang mengalami krisis moral. Hal ini tampak dari maraknya tawuran antar remaja, bullying, kekerasan seksual, kekerasan fisik hingga pembunuhan. Kedua, generasi yang diliputi gaya hidup hedon. Hal ini tampak dari gaya hidup serba bebas, konsumtif, dan perilaku ini menular seiring dengan masifnya teknologi sehingga membentuk life style dan jauh dari nilai adab dan aspek penentuan halal dan haram. Ketiga, generasi yang mencoba taat kepada agama, tetapi mereka distigma sebagai generasi radikal, intoleran yang akan memecah belah bangsa.
Melihat fenomena ini muncullah istilah generasi moderasi. Generasi moderasi ini sengaja dibentuk oleh pemerintah untuk menjauhkan generasi dari agama dan keislamannya karena generasi yang taat agama dianggap akan menimbulkan konflik. Seruan moderasi ini terus digaungkan bahkan dimasukkan ke dalam kurikulum merdeka belajar. Lantas, bagaimana mungkin akan dihasilkan generasi yang tangguh, kuat, berwibawa, siap memimpin, tetapi tidak dilandasi agama yang kuat?
Jika dicermati, generasi moderasi adalah agenda kapitalisme global yang tidak menginginkan kebangkitan Islam politik. Sebab, kapitalisme global memahami bahwa ideologi Islam adalah satu-satunya ideologi yang akan memporak-porandakan ideologi kapitalisme, apalagi jika melihat potensi besar generasi muda Indonesia. Oleh karena itu, kapitalisme berupaya melemahkan pemahaman umat Islam dan terbatas pada nilai-nilai tertentu, bukan Islam politik. Lebih jauh, Islam dipilah-pilah menjadi empat kelompok oleh Rand Corporation dan menyebutkan bahwa Islam sebagai musuh utama yang akan mengubah ideologi kapitalisme saat ini sehingga mereka berupaya mengadu domba umat untuk meredam kebangkitan Islam.
Menilik kapitalisasi pendidikan hari ini, yakni ilmu sebagai basis ekonomi dan institusi yang akan menjadi mesin-mesin ekonomi. Potensi generasi di sistem sekuler kapitalisme akan melahirkan pendidikan yang tujuannya semata-mata berorientasi tercapainya lulusan yang siap kerja. Alhasil, lahirlah generasi minus moral karena adanya desakan-desakan dan tekanan-tekanan dalam kehidupan. Hal ini makin menjelaskan bahwa bukan sekadar moderasi beragama yang dimainkan oleh tatanan kapitalisme global, tetapi juga pengalihan tujuan pendidikan menjadi mesin-mesin penghasil ekonomi dan tidak lepas dari perubahan paradigma pendidikan oleh Barat.
Padahal dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan pribadi yang saleh, beriman, dan bertakwa. Oleh karena itu, Islam memiliki mekanisme untuk membentuk generasi tangguh, memiliki kepribadian Islam, berwibawa, dan menjadi problem solving. Pendidikan Islam mencetak generasi dengan pola pikir, yakni menjadikan Islam sebagai solusi terhadap setiap apa-apa yang dihadapi dan disertai dengan pola sikap yang menjadikan Islam sebagai standar dalam berbuat.
Semua itu ditopang oleh kurikulum yang didasarkan pada akidah Islam sehingga tsaqafah yang pelajari untuk menguatkan keimanan terhadap Allah Swt..Tidak hanya itu, pendidikan Islam memiliki tujuan menciptakan generasi yang menguasai sains dan teknologi. Ketika kepribadiannya kokoh, maka sains dan teknologi tersebut akan digunakan untuk kemakmuran, kesejahteraan, dan tingginya peradaban.
Post a Comment