Pendidik dan Ibu Generasi
Kasus yang tengah viral menimpa Dini Sera Afrianti (28 th) yang dianiaya kekasihnya sendiri dengan keji, yakni Gregorius Ronald Tannur (31 th) hingga menyebabkan korban kehilangan nyawa. Diberitakan, bahwa Ronald memukul kepala Dini menggunakan botol lalu menyeretnya dengan mobil hingga terlindas. Kemudian pelaku memasukkannya ke bagasi dan mendapati kondisi korban sudah tak bergerak. Setelah korban dilarikan ke Rumah Sakit National Hospital, korban dinyatakan meninggal dunia sekira 30 – 45 menit sebelum sampai di rumah sakit.
Ronald merupakan anak dari salah satu anggota fraksi partai di DPR RI. Atas kejahatannya itu, dia dijerat dengan pasal berlapis berdasarkan fakta kejadian dan alat bukti. Pasal yang dikenakan terhadap tersangka ialah pasal 351 ayat 3 dan pasal 359 KUHP dan terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun. (tirto. 11/10/2023)
Berita tersebut mendapat banyak kecaman dari masyarakat, terlebih netizen, karena kejadian serupa bukan hanya kali ini terjadi. Sebelumnya, pada Februari 2023 terdapat kasus tindakan keji Riko Arizka (23 th) yang tega menghabisi nyawa mantan kekasihnya dengan cara dihantam ke kloset. Kemudian aksi nekat MR (43 th) yang membakar mantan istrinya, DW (38 th) dan SB (39 th), menggunakan bensin, pada awal Januari 2023. Demikian pula kasus pembunuhan keji yang dilakukan Nando (24 th), suami yang membunuh istrinya, Mega Sriyani Dewi (24 th) di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. (tirto, 11/10/2023)
Mengapa Kasus yang Serupa Berulang Kali Terjadi?
Banyak faktor yang melatarbelakangi kasus keji yang menimpa perempuan sebagai korban. Motifnya pun beragam, bermula dari motif asmara, kecemburuan, cekcok, hingga sakit hati. Belum lagi perlindungan terhadap perempuan di negeri ini lemah, sehingga memandang kasus semacam ini terkategori kasus femisida yang berbeda dengan pembunuhan biasa. Kasus semacam ini merupakan bentuk paling ekstrem kekerasan terhadap perempuan, yakni tampak kepuasan sadistis.
Hasil pemantauan menunjukkan, bahwa terdapat pola- pola femisida yang berbeda dengan pembunuhan biasa atau homicide. Yaitu, disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau yang berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki- laki, kecemburuan, kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindari tanggungjawab karena menghamili, prostitusi terselubung, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan dalam pacaran.
Pelaku adalah orang- orang yang dikenal, orang dekat, pacar, kawan kencan, suami, atau pelanggan. Tindakan sadistis dilakukan, baik saat membunuh atau perlakuan terhadap jenazah korban. Dengan demikian femisida adalah eskalasi dari kekerasan berbasis gender yang berpotensi femisida." Demikian penuturan Komisioner Siti Aminah Tardi.(komnasperempuan 10/10/2023)
Lalu Solusi Apa yang Kini Dilakukan Pemerintah dalam Menanggapi Kasus Ini?
Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, menghimbau bahwa masyarakat perlu berperan aktif untuk mengantisipasi kekerasan berbasis gender atau femisida. Harus bisa menjadi support system dan tidak menyalahkan atau menghakimi korban. Ketika seorang perempuan mengalami kejahatan femisida, orang- orang di sekitar korban perlu merangkul dan memberikan dukungan kepada korban, baik dukungan moral maupun materi. (tirto, 11/10/2023)
Faktanya, solusi dari pemerintah berupa himbauan tak cukup untuk mengatasi femisida yang menjamur di tengah-tengah masyarakat. Adapun terkait persoalan perempuan dan anak, tak kunjung menyelesaikan permasalahan yang terus terjadi. Hal ini menunjukkan lemahnya negara dalam menjamin keselamatan perempuan.
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang hanya berfokus pada wanita pekerja. Diketahui RUU PPRT dikebut, karena menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan pada perempuan, agar perempuan memiliki daya saing demi mendukung visi pembangunan 2045 menjadi negara maju. Nampaknya, paradigma negara ketika melihat perempuan itu bukan sebagai seseorang yang berhak mendapatkan perlindungan, melainkan sebagai sumber daya manusia yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan paradigma Kapitalisme, tatkala memandang perempuan yang sarat akan materi dan segala keuntungan. Apabila negara ingin benar- benar melindungi perempuan, harusnya negara mengubah paradigmanya dalam memandang perempuan. Dalam hal ini, kita patut mempertanyakan, "Adakah sistem yang menjaminan kesejahteraan bagi perempuan secara menyeluruh dan tidak setengah hati?" Untuk menjawabnya, maka solusi itu ada pada sistem Islam.
Bagaimana Islam Mengatasi Permasalahan Femisida?
Islam dengan syariahnya yang sempurna dan paripurna mendudukkan perempuan dengan sangat mulia. Begitu mulianya perempuan dalam Islam dengan memberikan perlindungan adanya "qawaam" berupa pengurus sekaligus pelindung bagi perempuan yakni laki- laki. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, makna kalimat “ar- rijaalu qawaamuuna ‘ ala an- nisaa ” dalam Q.S. An- Nisa ayat 34 menjelaskan bahwasanya kaum laki- laki adalah pengurus bagi kaum perempuan, yakni sebagai pemimpinnya, yang menguasai dan mendidiknya jika menyimpang.
Dalam pandangan Islam tidak ada klasifikasi mana yang lebih unggul antara perempuan dan laki- laki. Sejatinya yang berimanlah yang mulia di sisi Allah, baik laki- laki maupun perempuan, dengan tugas dan peran yang sebagian sama sebagian lagi berbeda. Sebagaimana firman Allah Swt, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa." (Q.S. Al-Hujurat : 13)
Allah Swt. memberikan peringatan bagi orang yang menghilangkan nyawa manusia lain tanpa alasan yang jelas. Hadis dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. "Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!" Mereka para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah itu?" Beliau menjawab, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita- wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari-Muslim)
Sistem Islam juga memiliki konsep yang akan menjamin perlindungan nyawa bagi seluruh warga negaranya termasuk perempuan. Sistem yang dijalankan oleh institusi khilafah ini akan menegakkan sangsi tegas tanpa pandang bulu, mulai dari para pelaku pembunuhan, bahkan penganiayaan yang berujung pembunuhan. Meskipun pelaku adalah anak pejabat, namun dalam hukum Islam semua sama. Tidak ada hak istimewa termasuk pengurangan hukuman, sesuai takaran tidak kejahatannya. Konsep ini dinamakan zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Zawajir sebagai pencegah untuk mencegah orang lain melakukan tindak kejatahan serupa, sedangkan jawabir sebagai penebus bagi pelanggar hukum dengan sanksi tersebut untuk menebus dosanya.
Dari paparan di atas, kiranya cukup jelas bahwa hanya dengan syariah Islam yang diterapkan dalam naungan khilafah lah yang dapat menjamin keselamatan bagi seluruh warga negaranya, melindunginya, serta membebaskannya dari berbagai bahaya tindak kriminal.
Wallahu'alam bishawaab.
Post a Comment