Aktivis Dakwah
Dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah, pemerintah Kabupaten Bandung berencana membangun desa wisata. Tercatat ada sekitar 38 kampung yang telah terealisasi dari 50 target. Tujuan diadakannya program tersebut adalah untuk menarik perhatian para wisatawan berkunjung. Dengan harapan keuangan negara akan kian meningkat. (Antaranewsjabarcom, Kamis, 7/9/2023)
Pemerintah membangun sebuah desa wisata dengan maksud untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, serta memajukan kebudayaan.
Terdapat beberapa kriteria yang masuk kategori desa wisata yaitu: Pertama, Memiliki potensi wisata. Kedua, Minat dan kesiapan masyarakat terhadap pengembangan destinasi. Ketiga, Keunikan konsepnya.
Program ini dipelopori oleh kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif, yang berfokus terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha produktif sesuai potensi dan sumber daya lokal. Dana untuk mewujudkan program desa wisata ini seluruhnya ditanggung dari anggaran negara (APBN), yang memang dialokasikan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Uang ini dikelola oleh penanggung jawab kelompok atau lembaga rakyat setempat/Pemerintah Daerah. Setiap kampung mendapatkan dana sesuai dengan yang ditentukan oleh negara.
Program desa wisata sejatinya tak hanya menguntungkan secara ekonomi tapi juga berakibat kemudaratan (kerugian) terlebih dalam sistem kapitalisme saat ini. Sisi keuntungannya, pemerintah mampu meningkatkan perekonomian rakyat meski tidak merata. Sedangkan kerugiannya bisa menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, penduduk desa akan terbawa arus pergaulan (budaya) para wisatawan yang berkunjung, terutama yang berasal dari luar. Kedua, rusaknya lingkungan dan ekosistem akibat alih fungsi lahan dan penguasaan hak umum seperti sumber daya air, kebun, padang rumput dan lain-lain oleh para pengelola (pengusaha). Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput (hutan), api (bahan bakar), dan harganya haram.” Abu Said berkata, “Maksudnya air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah)
Ketiga, masyarakat tidak bisa lagi menikmati kekayaan dan keindahan lingkungan secara bebas dimana mereka tinggal selain dengan membayar tiket masuk. Keempat, akan banyak interaksi antara lawan jenis yang memungkinkan khalwat dan ikhtilat. Rasulullah saw. bersabda:
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri (khalwat) dengan perempuan kecuali ada mahramnya. Dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Tabrani, Baihaqi,)
Dilihat dari fakta di atas, bahwasanya lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan positifnya. Maka, bisa dipastikan yang diuntungkan dari pembangunan desa wisata adalah para pemilik modal/kapital. Mereka bisa meraup keuntungan dari setiap pengunjung setiap pekan, bulan bahkan tahun, sementara masyarakat lokal hanya bisa mengambil peran sebagai tukang parkir, penjaga toilet, menjadi pedagang asongan, atau membuka warung kecil-kecilan dengan keuntungan tak seberapa.
Negara yang seharusnya memperhatikan dampak buruknya untuk masyarakat tersebut, justru bersikap sebaliknya. Yakni hanya pro pada pemodal yang dianggap bisa memajukan perekonomian daerah atau juga pusat. Alhasil, desa wisata yang dianggap sebagai salah satu sumber pemasukan negara terus disosialisasikan melalui pejabat daerah dan jajarannya.
Inilah dampak dari kegagalan kapitalisme dengan program-programnya yang tidak kunjung dapat menyejahterakan masyarakat. Desa wisata hanyalah kedok di balik nama kesejahteraan padahal yang sebenarnya adalah memanfaatkan dan menguasai SDA milik publik sebagai sumber pemasukan bagi kapital dan oligarki. Maka selama sistem kapitalisme dijalankan, solusi apapun tak akan merubah kondisi masyarakat kepada kesejahteraan, karena kesejahteraan menurut kapitalisme adalah milik kelompok tertentu yang miliki modal besar.
Berbeda halnya dengan sistem Islam dalam mengurusi kehidupan masyarakatnya, terutama dalam meningkatkan perekonomian negara. Sikap amanah dan tanggung jawab seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat dan lingkungannya. Jika ia menyadari dan melaksanakan tugasnya dengan amanah, maka umat akan mendapatkan kesejahteraan itu. Begitupun sebaliknya.
Wisata dalam pandangan Islam bukan untuk berpoya-poya atau bersuka ria sebagaimana tujuan kapitalisme, hingga melalaikan kewajiban. Wisata hukumnya mubah jika alasannya untuk refreshing dari rutinitas yang melelahkan, akan tetapi aktivitas ini semata-mata untuk memulihkan semangat serta meningkatkan keimanan kepada Allah Swt. bukan yang lain. Kebolehan ini bisa bernilai pahala jika wisata dan pelakunya ada dalam koridor syariat Islam. Tidak melalaikan kewajiban, istikamah dalam ketaatan serta jauh dari kemaksiatan. Tentunya kondisi ini didukung dengan keberadaan negara sebagai pengurus dan pelindung masyarakat agar tetap di jalan syariat.
Negara yang diatur dengan sistem Islam melandaskan segala aktivitasnya pada Al-Qur’an dan As-sunah. Termasuk dalam mengelola ekonomi dan sumber-sumber pemasukannya. Sumber-sumber pemasukan ini berasal dari ghanimah, usyr, fa'i, zakat, dharibah, harta orang murtad, pengelolaan SDA dan lain-lain. Semuanya dikelola oleh negara untuk kebutuhan publik.
Adanya sumber-sumber pemasukan negara tersebut menjadikan negara mandiri dan berdaulat. Negara mampu memenuhi kebutuhan dasar publik melalui pengelolaan sumber-sumber tersebut berdasarkan jenis kepemilikan, yaitu: Pertama, Kepemilikan umum. Merupakan sesuatu yang telah Allah Swt. tetapkan untuk dijadikannya milik bersama. Terdiri dari: sungai, danau, hutan, bahan tambang, dan lainnya. Kedua, Kepemilikan negara. Yaitu, hak seluruh kaum muslim yang dikelola oleh negara. Seperti: Zakat, kharaj, fa’i, dan sebagainya. Selanjutnya adalah Kepemilikan Individu. Adalah harta milik pribadi.
Dengan demikian jelas bahwa untuk meningkatkan perekonomian, negara dalam Islam memiliki cara yang berbeda dengan kapitalisme. Negara akan memanfaatkan serta mengelola aset-aset sesuai kepemilikan untuk kebutuhan negara dan juga warga negaranya. Jelas pula bahwa wisata tidak dijadikan sumber ekonomi ataupun materi melainkan untuk mengokohkan keimanan atas semua ciptaan Allah, sebagai sarana dakwah dan silahukhuwah antar kaum muslim. Sebab wisatanya kaum muslim yang hakiki adalah jihad sebagaimana sabda Rasulullah:
“Wisata umatku adalah jihad di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Abu Daud)
Wallahu’alam bi ash-Shawwab.
Post a Comment