Aktivis muslimah ngaji
Ramainya para elit politik jelang pemilu 2024 sudah terasa. Berbagai partai politik (parpol) saling berkoalisi mengusung beberapa pasangan calon (paslon) menjadi orang nomor satu di negeri ini. Bahkan ada koalisi parpol yang sudah melakukan deklarasi menyatakan pada publik siapa pasangan presiden dan wakil presiden usungan mereka.
Namun tak hanya itu saja yang menjadi sorotan masyarakat. Pencalonan mantan napi korupsi sebagai anggota legislatif pun jadi polemik. Adanya aturan yang memperbolehkan mantan koruptor menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) juga tak luput dari sorotan.
Media sosial pun tak kalah ramainya membahas permasalahan ini, apalagi pemilu 2024 semakin mendekati hari. Banyak pertanyaan yang muncul di jagat media sosial, salah satunya adalah perihal kegunaan dari SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Seperti yang diketahui bahwasannya izin narapidana untuk mencalonkan diri bakal caleg sudah diatur pada UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, pasal 240 ayat 1 huruf g, yang memperbolehkan mantan napi korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai bakal caleg DPR dan DPRD, tetapi dengan syarat harus mengumumkan kepada khalayak umum bahwa dirinya pernah mendapatkan sanksi hukum serta sudah selesai menjalani masa hukuman (cnnindonesia.com, 22/08/2023).
Warganet ramai-ramai memberikan responsnya mengenai kabar dibolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif DPR, DPD, dan DPRD pada pemilu 2024 mendatang.Dalam pasal tersebut, tidak terdapat larangan khusus bagi setiap mantan narapidana tindak pidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD.
Problematika banyaknya mantan narapidana korupsi yang mendaftarkan diri sebagai bakal caleg di pemilu 2024 merupakan sebuah hipokrisi demokrasi. Karena berdasarkan teorinya bahwa demokrasi merupakan pemerintahan yang bersih dan transparan, pemimpinnya dipilih langsung oleh rakyat, dan merupakan pemimpin pilihan Tuhan. Namun, pada faktanya bahwa justru demokrasi begitu melindungi mantan napi koruptor. Narasi tentang pemberantasan korupsi terus disebarluaskan kepada rakyat, tetapi pada praktiknya justru sangat berkebalikan. Narapidana kasus korupsi diringankan hukumannya, bahkan setelah masa hukumannya selesai diperbolehkan lagi untuk mendaftarkan diri sebagai caleg.
Hukum yang telah dibuat oleh manusia memang sejatinya sangat penuh dengan kekurangan, jika terdapat kepentingan di dalamnya, maka dengan mudah mengubah bahkan menghapus. Karena kebenaran dan kesalahan dapat bersifat ambigu jika memakai hukum manusia, benar bisa jadi salah begitupun sebaliknya. Maka tidak mengherankan jika pada sistem saat ini pemberantasan korupsi hanyalah sebatas ilusi belaka. Sehingga sangatlah mustahil terdapat pemerintahan yang bersih saat ini.
Sungguh korupsi merupakan tindak kejahatan dan pelanggaran syarat, sebab memakan harta dengan jalan yang batil adalah sesuatu yang Allah benci. Lantas, apa jadinya jika bakal calon legislatif adalah seorang mantan narapidana korupsi?.
Inilah potret kehidupan berpolitik dalam sistem sekuler-demokrasi. Yang dinilai bukanlah yang memiliki takwa kepada Allah tapi siapa pun yang punya duit. Karena urusan politik dipisahkan dari aturan agama. Kriteria pemimpin pun hanya bertumpu pada popularitas dan kekayaan. Sekalipun mereka para mantan koruptor. Alasan diperbolehkan mantan koruptor jadi bacaleg pun berlandaskan aturan-aturan mutlak buatan manusia yang tidak akan pernah sempurna. Banyak salah dan lupa. Tak heran aturan gonta-ganti seenaknya menuruti kepentingan manusia.
Selama ada keuntungan materi apapun akan dilakukan sekalipun akan membahayakan masa depan rakyat yang akan dipimpinnya. Politik yang diemban kering dari nilai-nilai agama.
Inilah potret buruk demokrasi dalam sistem kapitalisme. Politik tak lagi diartikan sebagai aktivitas mengurusi urusan rakyat, tetapi mengatasnamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.
"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).
Islam telah mengatur ketentuan akan konsep keadilan, bahwasannya khalifah atau pemimpin haruslah memiliki salah satu syarat dari pemimpin yaitu adil, karena keadilan dari penguasa merupakan hal yang sangat penting. Adil dalam islam diartikan sebagai orang yang menegakkan hukum dari Allah, baik untuk dirinya sendiri dan juga seluruh masyarakat. Agar bisa menciptakan pemerintahan yang bersih tidaklah cukup hanya dengan memilih seorang pemimpin dengan track record yang bersih, bertakwa, dan beriman.
Karena sebersih apa pun kalau masuk ke dalam sistem yang kotor, maka akan menjadi kotor juga akhirnya. Sehingga hal yang utama membersihkan sistem pemerintahannya dulu yaitu dengan mengganti sistem motor tersebut. Islam mensyaratkan wakil rakyat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar senantiasa amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Dan seorang pemimpin akan menganggap kedudukannya sebagai sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT, sehingga ia akan menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat mendatangkan murka Allah. Disamping itu setiap umat Islam diwajibkan untuk senantiasa terikat dengan hukum syarak, sehingga ia akan mengarahkan dirinya untuk senantiasa condong pada keberanaran dan menjadikan keridaan Allah sebagai standar perbuatannya.
Post a Comment