Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2019 hingga 2021, Indonesia mengalami peningkatan kecelakaan lalu lintas. Secara angka, kisarannya sekitar 103.645 kejadian pada tahun 2021.
Indonesia termasuk negara ASEAN yang memiliki tingkat kematian tinggi akibat kecelakaan berkendara di jalan. Situasi ini dibahas dalam “Road Traffic Safety Summer School 2023, di Kampus UMY, mulai Senin (28/8) hingga Jumat (8/9) mendatang.
Kegiatan internasional ini dihadiri 19 peserta. Mereka berasal Universidade do Porto Portugal, UMY, Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung.
Adapun rekomendasinya, agar manajemen keselamatan berlalu lintas diperbaiki dan dikembangkan secara lebih masif. Caranya dengan mengenali sifat dan karakter pengendara, mengedukasi generasi muda untuk menerapkan konsep keselamatan dalam berlalu lintas.
Tak dimungkiri, urusan keselamatan transportasi masih jadi PR besar di Indonesia. Berbagai kecelakaan terus terjadi tiap hari. Tak hanya di darat, tapi juga di laut dan udara. Tak terhitung jumlah nyawa melayang, mengingat tak semua kasus terbaca radar pemberitaan.
Ditambah laporan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) melaporkan bahwa dari tahun ke tahun tren kecelakaan terus mengalami peningkatan. Terutama traffic fatality atau kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan angkutan di jalan raya (LLAJ).
Alasannya, jaminan keselamatan di Indonesia dianggap sangat minim. Selain itu, jumlah tenaga teknis terampil, personel terlatih, prosedur pencatatan, dan pemeriksaan penerbangan juga dipandang tak memadai.
Jika mau jujur, semua hal yang menyangkut faktor-faktor pendukung untuk terselenggaranya transportasi aman, nyaman, murah, dan merata memang masih jauh dari ideal. Terbukti untuk transportasi darat saja misalnya, banyak daerah-daerah yang belum terjamah oleh pembangunan infrastruktur jalan. Tak hanya di perdesaan, tapi juga di perkotaan.
Jika pun sudah terjamah, kualitas jalan dan sarana prasarana pendukungnya pun tak sesuai dengan harapan. Jalan yang sempit dan berlubang, atau banjir di musim hujan, ditambah fasilitas yang kurang, mulai rambu, tempat rehat dan pengaman, sudah sangat biasa kita temukan. Bahkan pun di jalan-jalan berbayar. Wajar jika kecelakaan menjadi hal yang sulit dihindarkan.
Padahal dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, sarana dan prasarana transportasi tentu merupakan kebutuhan yang sangat vital.
Transportasi adalah wasilah berlangsungnya proses distribusi barang dan mobilisasi manusia yang dibutuhkan untuk meraih kesejahteraan, kapan pun dan dimana pun mereka berada.
Terlebih Indonesia adalah negara dengan wilayah yang sangat luas dengan kontur yang beragam. Bahkan setidaknya ada lebih dari 17 ribu pulau yang tentu hanya bisa terhubung jika ada sistem transportasi multi moda yang mumpuni dan terintegrasi, serta didukung oleh teknologi dan SDM yang memadai.
Yang selama ini terjadi, posisi negara hanya menjadi regulator dan fasilitator saja, termasuk dalam penyediaan sistem transportasi nasional. Pemerintah dalam hal ini menggandeng pihak swasta, baik lokal maupun asing untuk memenuhi kebutuhan transportasi rakyat, terutama karena alasan minimnya modal. Lalu selanjutnya membuat sedikit regulasi yang ternyata sering kali bermasalah dalam penegakannya.
Dampak Serius Liberalisasi
Liberalisasi bagian penting agenda globalisasi. Saat ini dijadikan landasan pemerintah dalam pengelolaan sistem transportasi publik. Konsekuensi disetujuinya kesepakatan liberalisasi transportasi udara dan darat di antara negara-negara ASEAN pada November 2008 (detik.com). Khusus liberalisasi penerbangan ditanda tangani saat puncak pertemuan ke-23 Menteri Transportasi ASEAN pada Oktober 2017.(merdeka.)
Semuanya itu telah berdampak serius. Pada aspek infrastruktur secara kasat mata terlihat dari maraknya pembangunan jalan raya berbayar (tol) selama satu dekade terakhir. Demikian pula pembangunan bandara dan pelabuhan internasional yang semuanya berbayar mahal. Sementara banyak jalan raya nasional, provinsi hingga desa yang digunakan publik untuk lalu lalang justru dibiarkan rusak.
Alih-alih melayani, rezim berkuasai justru menfasilitasi korporasi dan negara kafir penjajah menjadikan publik objek eksploitasi bisnis dan berbagai kepentingan politik mereka. Tampak dari nilai tarif resmi yang harus dibayar. Tidak saja mahal, jalan-jalan raya berbayar yang dibangun tidaklah didesain untuk pemenuhan hajat hidup publik.
Maka aroma kapitalisasi pun begitu kental dalam dunia transportasi. Biaya perjalanan menjadi begitu mahal dan berefek pada mahalnya barang-barang produksi dan konsumsi. Seolah-olah jalan mulus dan fasilitas harus setara dengan harga. Maka akses rakyat terhadap kebutuhan vital pun menjadi terkendala. Semua tergantung kepentingan dan hitungan-hitungan bisnis pihak swasta.
Inilah fakta transportasi publik era rezim neoliberal, yang tunduk pada agenda hegemoni globalisasi liberalisasi. Perannya sebagai regulator membuat nasib pemakai transportasi dalam undian nafsu serakah kaum kapitalis. Sungguh, fasad yang harus segera diakhiri.
Karena Allah SWT telah mengingatkan, yang artinya,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat0 perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar-Islam)”. (Terjemahan Quran surat Ar Rum [30], ayat 31)
Sistem Transportasi dalam Sistem Islam Kafah Menjaga Nyawa Manusia
Konsep transportasi dalam sistem kapitalisme sekuler menganggap bahwa transportasi hanyalah produk industri yang dipergunakan untuk menghasilkan keuntungan materi sebanyak mungkin.
Transportasi menjadi aset yang diswastanisasi dan berfungsi bisnis, bukan lagi sebagai fungsi pelayanan publik oleh pemerintah/ negara yang aman dan tidak mengancam nyawa warga negara. Dalam hal ini, negara hanya sebagai fasilitator dengan kacamata komersial, bukan pengendali utama. Bagaimana sistem transportasi dalam sistem Islam?
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab utama negara, bukan diserahkan kepada swasta. Mindset negara Islam dalam menyediakan layanan transportasi yang aman dan terjangkau oleh warga negaranya adalah pelayanan negara yang sepenuh hati.
Ketika kepemimpinan Khalifah Umar bin al Khaththab ra. tatkala beliau menjadi kepala negara, beliau pernah berujar, “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.”
Kebijakan transportasi yang aman dan nyaman dalam sistem Islam berlangsung hingga abad ke-19 Khilafah Utsmaniyah.
Kedua, perencanaan wilayah dan tata kota negara Islam dilakukan sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Sebagai contoh, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan dibangun masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan (sumut.antaranews., 3/7/2019).
Dengan demikian, warga negara tercukupi sebagian besar kebutuhannya dan tak membutuhkan akses terlalu banyak ke luar kota atau luar tempat tinggalnya karena hampir semua kebutuhannya tercukupi dan dapat dijangkau di tempat yang dekat tempat tinggalnya. Kemacetan dan masalah lalu lintas lainnya juga bisa diminimalisasi.
Ketiga, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam membangun sarana dan prasarana transportasi. Contohnya untuk transportasi udara. Ilmuwan muslim seperti Abbas Ibnu Firnas dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arab, “Ibn Firnas was the First man in history to make a scientific attempt at flying.”
Selain itu, kaum muslimin telah menggunakan jenis kuda dan unta untuk menempuh perjalanan, untuk dilaut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang.
Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya. Pada abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta apu ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. (sumut.antaranews, 3/7/2019).
Keempat, penerapan sistem ekonomi Islam yang sinergi dengan sistem transportasi. Sistem Islam kafah memberikan jaminan pembangunan ekonomi yang adil dan meminimalkan ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Secara langsung maupun tidak, sistem ekonomi akan mempengaruhi kebijakan transportasi yang ada di dalam sebuah negara.
Post a Comment