Aktivis muslimah ngaji
Konflik yang terjadi antara warga Pulau Rempang dengan pemerintah juga ikut menjadi sorotan dunia. Ada beberapa kantor berita besar yang mulai membedah mengapa konflik di pulau itu akhirnya terjadi. Majalah yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), Time, mengabarkan bahwa warga Rempang saat ini sedang berupaya untuk menolak masuknya investasi pembuatan pabrik yang dilakukan pihak produsen pasir kuarsa asal China, Xinyi Group. Mereka menyebut atas pembangunan itu, 7.500 warga terancam direlokasi.
"Konfrontasi ini menyoroti meningkatnya ketegangan antara pihak berwenang dan masyarakat lokal di seluruh Indonesia terkait sejumlah proyek infrastruktur. Nama Pulau Rempang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Pada Kamis (7-9-2023) pihak berwajib dari TNI dan Polri datang ke lokasi untuk melakukan pengosongan lahan atas perintah BP Batam. Namun, warga menolak penggusuran sehingga akhirnya terjadi bentrokan.
Saat itu, warga disebut-sebut melakukan perlawanan. Mereka melempari aparat dengan batu sehingga aparat membalasnya dengan lemparan gas air mata. Puluhan warga dan aparat pun luka-luka. Bahkan anak-anak yang sedang belajar, terpaksa dibubarkan.
Aksi warga Rempang kemudian berlanjut pada Senin (11-9-2023) kemarin. Ribuan warga yang didukung komunitas adat Melayu dari berbagai daerah termasuk Kalimantan Barat, Siak Riau, Lingga Kepri, kembali mendatangi kantor BP Batam. Mereka menyampaikan tuntutan agar penggusuran dihentikan. Ditambah, menuntut aparat membebaskan tujuh warga yang sempat ditangkap saat aksi sebelumnya. Juga meminta aparat agar menghentikan intimidasi kepada warga. Namun, aksi kali ini pun berujung sama. Bentrok dengan aparat kembali terjadi.
Kasus Berulang
Kasus Rempang sejatinya mengingatkan kita pada kasus-kasus konflik lahan yang selalu berulang. Pada Februari 2022, Menteri ATR pernah menyebut ada lebih dari 8.000 kasus konflik tanah yang belum terselesaikan, dan itu hanya yang terdaftar. Penyebabnya pun nyaris selalu sama, yakni rebutan klaim hak atas tanah yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah, dan atau dengan korporasi atau perusahaan, maupun antara masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Sayangnya, khusus dalam konflik antara rakyat dengan negara atau perusahaan, masyarakat seringkali ada pada posisi lemah. Betapa tidak? Di tengah problem kemiskinan dan sulitnya ketersediaan tanah, mereka harus berhadapan dengan pihak yang power dan modalnya jauh lebih kuat. Akibatnya, sekalipun terbukti bahwa mereka turun temurun tinggal di sana, dan tanah tersebut sudah menjadi tanah ulayat (tanah adat), tetapi selalu saja ada alasan untuk menggusur dan mengkriminalisasi mereka.
Pemerintah biasanya mengeklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah milik negara. Lalu diperkuat dengan alasan demi kepentingan umum, seperti kepentingan pembangunan dan investasi yang manfaatnya diklaim jauh lebih besar. Sementara itu, perusahaan berpatokan pada hak guna atau konsesi yang mereka terima dari negara.
Negara dan perusahaan dengan mudah memanfaatkan lemahnya bukti kepemilikan rakyat atas tanah. Kurangnya pengetahuan yang berkelindan dengan kacaunya sistem administrasi pertanahan memposisikan masyarakat sangat rentan menjadi korban kezaliman.
Kasus Rempang sendiri dipicu rencana pemerintah merelokasi 16 titik kampung tua di Pulau Rempang dan Galang yang akan digunakan untuk proyek pembangunan kawasan Rempang Eco-City. Proyek ini yang termasuk salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dicanangkan pemerintah konon untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional yang landasan aturannya adalah UU Cipta Kerja.
Pihak pemerintah mengeklaim bahwa sebagaimana pulau lainnya, pulau ini sudah dimiliki Pemda sejak lama. Lalu pada 2001, Pemda mulai membuka peluang bagi investor untuk melakukan bisnis di sana. Salah satu hasilnya adalah, pada 2004, pemerintah, diperkuat oleh Surat DPRD Kota Batam tertanggal 17 Mei 2004, menyetujui pemberian konsesi selama 30 hingga 80 tahun kepada PT Makmur Elok Graha, anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata. Perusahaan tersebut, menyatakan siap untuk mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif (KWTE) sesuai rancangan pemerintah.
Hebatnya, pemberian konsesi di Pulau Rempang ini dilakukan bersamaan dengan pemberian konsesi ratusan ribu hektar tanah lainnya di Pulau Setokok dan Pulau Galang. Bahkan, ketika akhirnya proyek tidak berjalan dan merugikan negara hingga Rp3,6 triliun, negara tidak bisa mengajukan tuntutan karena kerja sama tersebut tidak menetapkan kewajiban pemberian ganti rugi oleh investor kepada negara jika gagal.
Selanjutnya pada 2007, melalui PP Nomor 48, Batam ditetapkan menjadi kawasan perdagangan bebas atau free trade zone. Pemerintah pusat pun memproyeksikan Pulau Rempang sebagai kota baru dengan industri yang berkonsep “Green and Sustainable City”. Presiden Jokowi sendirilah yang menawarkan PSN ini ke negara luar, termasuk saat melakukan kunjungan ke Chengdu, Cina. Hasilnya terjadilah MoU bersama Xinyi Group, perusahaan kaca dan solar sel terintegrasi terbesar di dunia yang ada di Cina, dengan nilai investasi sebesar USD11,5 miliar dan janji penyerapan tenaga kerja sebanyak 35 ribu orang.
Untuk Siapa?
Pihak yang paling terdampak dari keputusan pemerintah ini tentu adalah masyarakat banyak. Mereka harus rela menerima keputusan untuk digusur dari habitat hidupnya atas nama kepentingan rakyat. Kenyataannya, dalih tanah sebagai kepemilikan negara pun tidak bisa menghapus fakta bahwa penduduk Rempang sudah ada di sana sejak jaman Belanda.
Konflik semacam ini tentu membuat kita prihatin. Terlebih di luar warga Rempang masih banyak kasus konflik lahan yang alot diselesaikan. Hal ini dimungkinkan karena tanah memiliki arti yang multidimensional. Bagi negara dan perusahaan, tanah adalah aset utama investasi dan akumulasi modal. Sedangkan bagi masyarakat, tanah adalah tempat tinggal, aset ekonomi atau modal pencarian, simbol sosial budaya atau warisan, bahkan punya dimensi politik karena menyangkut eksistensi komunal. Itulah kenapa, jika di antara kedua pihak terjadi persengketaan, keduanya akan sekuat tenaga saling mempertahankan, bahkan hingga titik darah penghabisan.
Realitasnya, kian hari ketimpangan penguasaan lahan memang nampak kian lebar. Industrialisasi dan pembangunan yang masif dilakukan, membuat kepemilikan lahan, termasuk yang diklaim milik negara, dengan mudah beralih kepada para pemilik modal. Adapun rakyat yang lemah, cenderung tidak punya pilihan. Seberapa pun keras melakukan perlawanan, mereka akan kalah telak oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Terlebih diperparah, adanya kuasa gelap para mafia yang anehnya tak pernah bisa disentuh oleh tangan penguasa.
Wajar jika muncul pertanyaan, sebetulnya negara ini milik siapa? Jika betul semua proyek pembangunan yang memicu konflik lahan adalah demi rakyat kebanyakan, pertanyaannya, rakyat yang mana yang dimaksudkan karena faktanya rakyat yang justru sering jadi tumbal.
Pada kenyataannya, manfaat proyek-proyek investasi dan pembangunan, nyaris tidak dinikmati oleh para korban. Bahkan tidak bisa ditutupi, banyak proyek strategis nasional yang berlatar konflik, justru berujung mangkrak hingga merugikan keuangan negara.
Wajar jika ada konklusi bahwa negara hari ini memang hanya berfungsi sebagai pelayan korporasi. Hal ini sejalan dengan realitas bahwa paradigma kekuasaan hari ini berlandaskan asas sekularisme kapitalisme neoliberal yang begitu mengagungkan kapital dan kebebasan. Negara dalam sistem seperti ini akan mendudukkan diri hanya sebagai pengatur kepentingan menjamin kebebasan, bukan mengurus apalagi melindungi umat, termasuk dalam soal kepemilikan lahan dan segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Solusi Islam
Kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam tegak di atas asas akidah Islam untuk menjalankan aturan-aturannya yang lurus dan benar karena datang dari Zat yang Maha Benar. Kekuasaan dan kepemimpinan ini dipandang sebagai amanah yang harus siap dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt.
Dari Ibnu ‘Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin (ra’in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya”. (HR Bukhari).
Rasul saw. juga bersabda,
إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, tapi jika ia memerintahkan yang selainnya, maka ia harus bertanggungjawab atasnya.” (HR Muslim).
Oleh karenanya, penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan memastikan, setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya. Juga akan memastikan setiap individu rakyatnya terpenuhi semua hak dan kebutuhannya.
Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Seperti Sayyidina Umar ra. yang kerap melakukan inspeksi untuk memastikan tidak ada rakyat yang terlantar. Beliau juga pernah menegur dengan sangat keras Amr Bin Ash Gubernurnya di Mesir yang ketika ada proyek perluasan mesjid, memaksa dan merayu seorang kakek yahudi yang menolak rumahnya digusur. Sampai-sampai, keadilan Umar itulah yang menarik si kakek untuk memeluk Islam.
Tentu saja, amanah kepemimpinan ini sepaket dengan aturan Islam yang datang sebagai solusi kehidupan. Aturan-aturannya rinci, menyangkut segala aspek kehidupan, mulai politik pemerintahan, ekonomi, pergaulan, persangsian, hankam, dan sebagainya. Tidak ada prinsip kebebasan dalam Islam, sehingga penerapan aturan Islam secara kafah oleh negara, dipastikan akan menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, muslim non muslim, bahkan alam semesta.
Salah satu yang diatur dalam ekonomi Islam adalah soal kepemilikan lahan. Dalam pandangan Islam, lahan memiliki tiga status kepemilikan. Pertama milik individu, seperti lahan hunian, pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua, lahan milik umum, seperti hutan, tambang dan sebagainya. Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara.
Dengan pembagian ini, terlarang bagi negara atau swasta untuk mengambil hak individu atau umum meski dilegalisasi oleh kebijakan negara. Hanya saja, untuk lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya wajib dihandle oleh negara, justru agar manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat.
Adapun jaminan optimasi pemanfaatan lahan, diatur oleh Islam dengan aturan tentang larangan penelantaran lahan dan hukum-hukum tentang menghidupkan tanah mati. Siapapun yang menelantarkan lahan miliknya selama tiga tahun, maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya. Sebaliknya, siapapun yang menghidupkan lahan yang tidak tampak ada kepemilikan, maka tanah itu menjadi miliknya.
Demikianlah, tampak perbedaan yang sangat diametral antara paradigma kekuasaan dan kepemimpinan sekuler kapitalisme neoliberal yang mencengkeram hari ini dengan apa yang dituntunkan oleh Islam. Kehidupan penuh kedamaian dan keadilan tidak mungkin mewujud dalam sistem sekarang. ini karena kekuasaan dan kepemimpinan hanya menjadi alat melayani syahwat dan kepentingan segelintir orang. Sementara itu, kepemimpinan dalam Islam merupakan manifestasi keimanan sehingga realisasinya akan berujung kebaikan dan keberkahan.
Post a Comment