Proyek Rempang Eco-City, Bukti Negara Pro Korporat Bukan Rakyat


Oleh: Sukey

Aktivis muslimah ngaji


Rempang Eco-City adalah proyek pembangunan pulau Rempang yang menjadikannya kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi. Pembangunan dilakukan pemerintah pusat melalui BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) (anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata). Investasi jumbo ini ditaksir Rp381 triliun dan melibatkan investor Cina yaitu Xinyi Glass Holding (Produsen kaca terkemuka asal Cina). Namun, masyarakat setempat termasuk masyarakat adat Kampung Melayu Tua menolaknya. Aksi penolakan berujung bentrok dan tindakan represif aparat gabungan TNI dan Polri. Menurut Walhi ada Enam warga ditangkap, puluhan mengalami luka-luka serius, termasuk anak-anak yang terkena gas air mata.


Laman online kepri menjelaskan bahwa pembangunan Rempang Eco-City juga menggusur 1.835 bangunan di daerah itu. Angka ini merujuk Laporan tentang Percepatan Investasi Pulau Rempang Direktorat Pengelolaan Pertanahan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang terbit pada Oktober 2022. Dalam laporan itu, tercatat pula 15 titik pengajuan hak pengelolaan lahan (HPL) yang diajukan kepada Kantor Pertanahan Kota Batam. Adapun Luas area 15 titik HPL tersebut, yaitu 6.115.450 m² atau seluas 611,5 Ha. Sedangkan hasil ukur yang disetujui seluas 5.675.602 m² atau seluas 567,5 Ha.


Rebutan klaim hak atas tanah yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah, dan atau dengan korporasi atau perusahaan, maupun antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sayangnya, khusus dalam konflik antara rakyat dengan negara atau perusahaan, masyarakat seringkali ada pada posisi lemah. Betapa tidak? Di tengah problem kemiskinan dan sulitnya ketersediaan tanah, mereka harus berhadapan dengan pihak yang power dan modalnya jauh lebih kuat. 


Akibatnya, sekalipun terbukti bahwa mereka turun temurun tinggal di sana, dan tanah tersebut sudah menjadi tanah ulayat (tanah adat), tetapi selalu saja ada alasan untuk menggusur dan mengkriminalisasi mereka. Pemerintah biasanya mengeklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah milik negara. Lalu diperkuat dengan alasan demi kepentingan umum, seperti kepentingan pembangunan dan investasi yang manfaatnya diklaim jauh lebih besar. Sementara itu, perusahaan berpatokan pada hak guna atau konsesi yang mereka terima dari negara.


Jika pembangunan suatu kawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui jalur investasi swasta justru menyengsarakan rakyat yang seharusnya dilindungi, maka bisa dikatakan bahwa pemerintah telah menjadi fasilitator penindasan terhadap rakyat melalui tangan-tangan oligarki. Dan bisa dipastikan ketika rakyat melawan rencana dan pelaksanaan proyek tertentu, termasuk Proyek Rempang sekalipun termasuk PSN, akan terjadi bentrokan, kekerasan bahkan peperangan. Di lapangan kondisi ini telah terindikasi terjadi di Rempang, Batam. Ini bukan soal hukum, melainkan sudah merambah pada persoalan politik, sosial, ekonomi dan budaya bahkan hankam yang sangat rentan terancam.


Pembangunan seharusnya berpihak kepada rakyat bukan segelintir oligarki. oligarki di negri ini banyak mempengaruhi kebijakan dan mendapat berbagai keuntungan dari berbagai persekongkolan dengan politisi. Peristiwa Rempang sebenarnya mencerminkan kegagalan dari kapitalisme dalam mensejahterakan rakyat. Ini mencerminkan apa yang disebut dengan dominasi kapitalis yang berarti cermin dari negara korporatokrasi, negara menjadikan instrumen kepentingan bisnis dan keputusan politik mengabdi kepada pemilik modal.


Harus diakui, jeratan investasi para oligarki sudah sedemikian parah. Terlebih setelah ketuk palu UU Omnibus Law yang menghapus seluruh hambatan masuknya investasi di lapangan. Alhasil, saat pembangunan suatu negara hanya bersandar pada investasi, saat itu pula arah pembangunan ditentukan segelintir orang. Melalui investasi pula, korporasi dengan mudah mendikte kebijakan pemerintah meski harus mengorbankan rakyat. 


Pada saat yang sama, Indonesia benar-benar mengandalkan investasi dalam pembangunan. Untuk itu, berbagai produk kebijakan yang memihak investor pun hadir. Ini adalah bukti nyata adanya lingkar kekuasaan yang menghubungkan kepentingan pengusaha dan penguasa. Dengan dalih apa pun, bahkan dengan dalih proyek strategis nasional sekalipun, yang tampak adalah lingkaran oligarki yang mengendalikan satu negara.


Dalam Islam, prinsip pembangunan tidak tegak atas pilar yang membawa mudarat bagi rakyat sebab prinsip pelayanan pemerintah terhadap rakyat merupakan amanah yang akan Allah hisab kelak. Oleh karenanya, pembangunan terlaksana dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat dan dilakukan secara mandiri. Tidak ada pengalihan peran negara terhadap individu dalam pemerintahan Islam sebab hal tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap syariat.


Dalam Islam, negara berperan utuh dalam mengurus seluruh kemaslahatan rakyat, termasuk melakukan pembangunan. Pembangunan yang negara lakukan bukan hanya berpijak pada upaya mewujudkan kemaslahatan rakyat, tetapi juga berpijak pada prinsip politis. Maksudnya, pembangunan negara bertujuan untuk menunjukkan ketinggian Islam dan syariatnya sekaligus. 


Pembangunan-pembangunan yang pemerintah Islam lakukan pada masa kejayaan Islam berpijak pada prinsip yang kukuh bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Inilah spirit yang dapat kita jejaki pada berbagai bangunan peninggalan peradaban Islam. Keindahan bangunan serta fungsinya merupakan mahakarya yang tidak hanya lahir dari penguasaan terhadap ilmu arsitek, tetapi juga spirit Islam yang begitu dalam. 


Jika hari ini negara berfokus membangun proyek strategis nasional dengan label kota wisata, eco-city, green city, atau apa pun itu, pada masa peradaban Islam pun sudah ada kota-kota megah yang ramah lingkungan dan rakyat merasakan kemaslahatan pembangunan tersebut.


Melalui pendanaan baitulmal, proyek pembangunan berjalan secara mandiri. Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap yakni fai’, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Juga pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, serta pemasukan dari hak milik negara berupa usyur, khumus, rikaz, dan tambang. Jika kas baitulmal kosong, negara dapat memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah). 


Dalam pandangan Islam, lahan memiliki tiga status kepemilikan. Pertama milik individu, seperti lahan hunian, pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua, lahan milik umum, seperti hutan, tambang dan sebagainya. Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara.


Dengan pembagian ini, terlarang bagi negara atau swasta untuk mengambil hak individu atau umum meski dilegalisasi oleh kebijakan negara. Hanya saja, untuk lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya wajib dihandle oleh negara, justru agar manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat.


Adapun jaminan optimasi pemanfaatan lahan, diatur oleh Islam dengan aturan tentang larangan penelantaran lahan dan hukum-hukum tentang menghidupkan tanah mati. Siapapun yang menelantarkan lahan miliknya selama tiga tahun, maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya. Sebaliknya, siapapun yang menghidupkan lahan yang tidak tampak ada kepemilikan, maka tanah itu menjadi miliknya.

Post a Comment

Previous Post Next Post