Oleh Uqie Nai
Pegiat Literasi
Akhir Agustus lalu, Bupati Kabupaten Bandung Dadang Supriatna meraih penghargaan "Apresiasi Tokoh Indonesia" yang diinisiasi Majalah Tempo dan Kemendagri. Penghargaan ini diberikan karena bupati Bandung dinilai berhasil menumbuhkan nilai ekonomi di Kabupaten Bandung dengan program-programnya. Salah satunya adalah program dana bergulir tanpa bunga dan tanpa agunan kepada masyarakat yang membutuhkan modal usaha dan modal kerja.
Meningkatnya nilai ekonomi di Kabupaten Bandung juga diperkuat dengan data BPS tahun 2022. Jika dilihat dari data tersebut, Pemred Majalah Tempo Arif Zulkifli menyebut persentase penduduk miskin di Kabupaten Bandung turun menjadi 6,8 persen. Sementara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus meningkat menjadi 73,16 dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita bertambah menjadi 38,46 juta.
Pencapaian bupati Bandung atas prestasinya disambut positif oleh Mendagri Tito Karnavian. Menurut Tito penghargaan tersebut menjadi variabel keberhasilan kepala daerah yang patut dicontoh. (Jurnalsoreang, 30/8/2023)
Kapitalisme dan Penghargaan Semu
Penghargaan atas pencapaian Bupati Dadang Supriatna menggenjot perekonomian daerah tentu patut diapresiasi. Sebagai warga Kabupaten Bandung, penghargaan tersebut tentu membawa kebanggaan tersendiri. Namun, benarkah penghargaan itu sesuai realita? Mengingat keberhasilan untuk memajukan perekonomian masyarakat adalah kewajiban penguasa.
Dalam lingkup kapitalisme saat ini, tolok ukur keberhasilan seseorang tak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi atau materi. Seseorang dianggap berhasil jika memiliki pekerjaan bagus, jabatan strategis, berpenghasilan besar atau memiliki beberapa kendaraan mewah, rumah mentereng dan fasilitas lainnya yang membuat nyaman. Tapi akan berbeda jika tolok ukur itu diterapkan dalam ranah kepemimpinan. Artinya, ekonomi bukan satu-satunya masalah yang harus diselesaikan negara dan bukan pula bukti maju mundurnya suatu negara.
Sejatinya, seorang pemimpin harus bisa mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat, kepala per kepala dengan kebijakan yang bersifat komprehensif. Bukan semata dalam urusan ekonomi tapi semua urusan publik baik menyangkut kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) atau kebutuhan kolektif (pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Semua kewajiban ini bisa disebut telah tertunaikan jika masyarakat telah mengakui dan merasakannya secara umum. Data atas hal ini tentunya data valid yang bisa dipertanggungjawabkan secara fakta.
Akan terasa miris kiranya bila seorang pemimpin diberi penghargaan atas suatu prestasi, sementara kenyataan di lapangan berbeda. Kemiskinan akibat sulitnya lapangan pekerjaan, tingginya harga bahan pokok, mahalnya biaya pendidikan atau minimnya rasa aman masih banyak dirasakan. Termasuk juga masalah pengangguran hingga berimbas pada aksi kriminal adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Belum lagi kasus yang menimpa generasi muda semisal pergaulan bebas, narkoba, bullying, tawuran antar pelajar, senantiasa masih terjadi. Apakah semuanya bukan urusan pemimpin hingga tak lebih penting dari urusan ekonomi?
Demikianlah ketika penguasa (negara) yang menerapkan paham kapitalisme sekuler menjalankan roda pemerintahan. Mengukur tingkat kemajuan daerah hanya pada naiknya pendapatan secara ekonomi dan hanya berpatokan pada angka dan data, bukan realita. Negara seakan lebih takut dibilang miskin oleh dunia, ketimbang disebut zalim oleh syariat karena telah memiskinkan masyarakat dengan aturan kufurnya. Pantaslah kiranya Allah mempertanyakan dalam firmanNya (QS. Al-Maidah: 50) tentang sikap manusia yang lebih senang berhukum dengan hukum kufur.
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
Penghargaan Islam terhadap Pemimpin dan Kepemimpinan
Amanah kepemimpinan (kekuasaan) memanglah berat sehingga hanya sedikit orang yang ingin mengemban amanah tersebut. Namun, jika umat telah mempercayakan kepemimpinan itu pada seseorang yakni sejak mereka memilih dan bersumpah setia kepadanya maka pemimpin itu harus siap menjalankan tugasnya mengatur urusan rakyat berdasar aturan Allah dan rasulNya.
Amanah kepemimpinan dalam sistem Islam ibarat kontrak politik antara rakyat dan penguasa. Rakyat berjanji setia untuk selalu mentaati pemimpin selama tidak menyimpang dari hukum syarak. Pemimpin pun demikian, ia berjanji akan menjalankan amanah itu berdasarkan kitabullah dan sunnah rasulullah hingga maqashid syariat itu terwujud di tengah umat. Di antara maqashid tersebut adalah menjaga agama, akal, jiwa, nasab, harta dan menjaga kedaulatan negara dari rongrongan pembenci dan musuh Islam.
Untuk menjalankan maksud syariat, seorang pemimpin harus berperan sebagai raa'in (pelayan) sekaligus junnah (pelindung). Ia tak peduli dengan pujian atau celaan manusia jika apa yang dilakukannya tetap dalam koridor ketaatan. Sebab pemimpin dalam Islam berpijak pada akidah dan ketakwaan demi meraih rida Allah Swt (mardlatillah). Itulah prestasi dari puncak amal dalam Islam.
Tengoklah perjalanan Khalifah Umar bin Khattab dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin (kepala negara). Waktu yang dipersembahkan untuk melayani umatnya bukan cuma siang hari melainkan malam hari. Di saat orang-orang terlelap, ia berjalan menyusuri rumah penduduk untuk mencari tahu adakah orang yang terlewat dari perhatian dan perlindungannya. Hingga dikisahkan jika Umar ra. tak sungkan memanggul gandum dari ibu kota kemudian memasakkan gandum itu untuk seorang ibu yang sedang merebus batu demi meredam tangis anak-anaknya yang lapar.
Apa yang dilakukan Umar ra. dalam kisah di atas adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Bukan karena pencitraan atau haus pujian. Bahkan pelayannya sendiri ia larang untuk memikulkan gandum karena Umar tidak ingin orang lain menanggung dosa atas kelalaiannya mengurus rakyat. Untuk itulah ia berusaha terjun langsung, memberi bantuan sekaligus memasakkannya.
Penghargaan Islam terhadap pemimpin yang amanah dan kepemimpinan yang adil adalah sebagai berikut: Pertama, menjadi salah satu yang akan mendapat naungan Allah di hari kiamat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
"Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah pada hari kiamat, pada saat tiada naungan kecuali naungan-Nya: (1) pemimpin yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya...." (HR. Bukhari, Muslim, Malik, An Nasa'i dan lainnnya)
Kedua, Didoakan Rasulullah agar Allah merahmatinya. Berikut isi doa beliau saw: "Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim, no. 1828)
Ketiga, menjadi sosok yang dicintai oleh rakyatnya. Rasulullah bersabda: Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka....” ( HR. Muslim)
Wallahu a'lam bisshawwab.
Post a Comment