Menelaah Solusi Atasi Kerusakan Lingkungan Akibat Pembangunan PLTU Batu Bara

 


Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd

Pendidik Generasi dan Aktivis Muslimah


Dilansir dari VOA Indonesia, 14/09/2023, Kelompok pemerhati lingkungan hidup mengajukan protes secara resmi kepada Bank Dunia karena terus memberikan dukungan keuangan untuk pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia. Hal tersebut dianggap melanggar janji sejumlah pemimpin negara untuk berhenti mendukung penggunaan bahan bakar fosil.


PLTU Suralaya, yang merupakan PLTU terbesar di Asia Tenggara, telah memiliki delapan unit pembangkit yang beroperasi. Saat ini sedang mengembangkan proyek dengan membangun dua pembangkit lagi yakni unit 9 dan unit 10. Pembangunan dan pengoperasian PLTU ini masuk ke dalam mega proyek 35.000 MW sesuai dengan Rencana Umum Penyelenggaraan Tenaga Listrik (RUPTL) berlandaskan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Di mana dalam pembiayaannya sendiri dilandasi oleh campuran bank atau lembaga pembiayaan lokal dan asing.


Para kelompok aktivis ini melakukan protes kepada Bank Dunia, sebab International Financial Corporation (IFC), yang merupakan anak perusahaan dari Bank Dunia yang berada di sektor swasta ini merupakan pendukung tidak langsung PLTU Suralaya melalui investasi ekuitasnya di Hana Bank Indonesia. Padahal pada tahun 2020 IFC telah berjanji untuk berhenti berinvestasi di sektor batu bara. Namun IFC tetap menjadi pemegang saham di lembaga-lembaga keuangan yang memiliki investasi di industri batu bara, seperti Hana Bank, selama mereka mempunyai rencana untuk menghentikan eksposur mereka secara bertahap.


Kelompok pemerhati lingkungan hidup itu pun mengirimkan surat kepada ombudsman kepatuhan Bank Dunia Janine Ferretti. Adapun dalam surat tersebut mereka menjelaskan dampak buruk dari adanya pembangunan PLTU Suralaya ini. Yang mana pembangkit tersebut diperkirakan akan melepas 250 juta ton karbon dioksida yang dapat menyebabkan pemanasan iklim ke atmosfer.


Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang berbasis di Helsinki mengatakan pada Selasa (12/9) bahwa kompleks PLTU Suralaya memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas udara di wilayah tersebut. Udara yang tercemar di area itu menyebabkan biaya kesehatan tahunan mencapai lebih dari $1 miliar. CREA mengatakan hal tersebut juga berkontribusi terhadap kabut asap di Ibu Kota Jakarta, yang menduduki puncak daftar kota paling tercemar di dunia pada Agustus.


PLTU sendiri memiliki reputasi sebagai silent killer, dimana selalu saja tidak ada peringatan yang dilakukan pihak perusahaan saat udara di sekitarnya tercemar. Secara perlahan ini meracuni masyarakat sekitar lokasi PLTU. Riset menemukan polutan dari hasil pembakaran batu bara berupa emisi CO2, SO2, partikel dan debu pengotor, merkuri dan beberapa logam beracun yang lainnya serta radioaktif. Dampaknya terhadap kesehatan masyarakat sangat serius, khususnya dalam hal gangguan pernapasan.


Memang benar, faktor utama penyebab polusi udara adalah pembakaran bahan bakar fosil. Kontributor terbesarnya antara lain adalah pembangkit listrik dan pabrik berbahan bakar batu bara atau minyak. Padahal pada 2021 lalu, pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow, Skotlandia, telah menghasilkan tiga kesepakatan yang menonjol, yakni menghentikan pembangkit listrik energi batu bara secara bertahap, terus menjaga suhu bumi tidak naik 1,50 celsius, dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam nationally determined contribution atau NDC tiap negara pada 2022.


Namun demikian, proyek PLTU batu bara nampaknya masih begitu menggiurkan. Melalui kran investasi yang dibuka lebar-lebar tentu menjadi celah bagi para investor yang tidak lain adalah perusahaan-perusahaan multinasional dan global untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya kerusakan lingkungan akan terus terjadi ketika pembangunan industri bernaung dalam kacamata kapitalisme. Atas nama asas kemanfaatan ekonomi, kapitalisme merestui industrialisasi terjadi. Lingkungan makin rusak, polusi udara pun menjadi tumbal industrialisasi.


Demikianlah dalam pandangan kapitalisme, memperoleh keuntungan dari proyek strategis adalah harga mati. Seberapa besar upaya mewujudkan proyek strategis, sebanyak itulah keuntungan yang ingin mereka dapatkan dari proyek tersebut. Bagi kapitalisme, meski berisiko dan berbahaya, hal tersebut bukanlah hambatan. Bahkan, mereka bisa menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang dikehendaki.


Bertolak belakang dengan pembangunan infrastruktur di dalam sistem Islam yang dibangun atas paradigma yang jauh berbeda dengan sistem kapitalisme. Pertama, dalam Islam, penyediaan dan pengelolaan infrastruktur publik merupakan tanggung jawab negara. Arahnya adalah untuk memberikan kemaslahatan umum, bukan malah melayani kepentingan pemilik modal. Regulasinya pun ditetapkan dengan berpijak pada kesesuaian terhadap hukum syara. Kedua, konsep pembangunan infrastruktur publik dalam Islam berada di bawah tanggung jawab khalifah sebagai kepala negara. Ini menjadikan kemaslahatan masyarakat sebagai prioritas utama.Ketiga, pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik akan melibatkan para tenaga ahli. Perencanaan infrastruktur dibangun mengikuti tata ruang kota yang sudah direncanakan dengan matang.


Demikianlah penyelamatan dan penjagaan lingkungan ini tidak dapat dilakukan secara parsial. Perlu penyelesaian yang integratif berbasis atas ketakwaan untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan. Dengan penerapan aturan Islam secara komprehensif inilah, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dirasakan secara menyeluruh. 


Wallahu'alam bissawab



 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post