Mantan Napi Koruptor Boleh Nyaleg, Kok Bisa?


Oleh : Sukey

Aktivis muslimah ngaji


Baru-baru ini tercatat ada beberapa bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Dulu, sempat ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik (voaindonesia;26/08/2023).


Mantan narapidana koruptor tersebut, boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30P/HUM/2018. Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor untuk nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018. MA berpendapat bahwa larangan eks napi koruptor nyaleg bersinggungan dengan pembatasan HAM, terutama hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih. MA menyebut, hak politik telah tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).


Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar.  Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi.


Dengan diizinkannya mantan napi koruptor menjadi caleg, niscaya kasus korupsi akan terus dilakukan oleh para pejabat negara. Alhasil, kasus korupsi tidak akan pernah tuntas. Padahal, mereka lah pihak yang diamanahi untuk bertanggung jawab mengatur urusan rakyat. Namun, ketika mereka korupsi, maka amanah itu berubah menjadi kecurangan dan pengkhianatan yang tentu membuat hati rakyat tersakiti.


Imbas terparahnya, rakyat tidak mendapatkan kepengurusan kehidupan yang baik. Karena hak-hak mereka telah direbut oleh pejabat-pejabat yang tidak bertanggung jawab dan tidak mungkin pula rakyat akan bersedia memilih kembali sosok mantan koruptor yang masih diberi kesempatan menjadi caleg dalam sistem demokrasi. Maraknya kejahatan-kejahatan yang melampaui batas, termasuk korupsi tak pernah hilang dari pemberitaan. Sementara solusi yang selama ini diberikan, yaitu solusi dari kapitalisme dan sosialisme tak pernah menemukan titik terang. Hal ini terbukti bahwa sistem yang diterapkan di negeri ini gagal. 


Fenomena aneh, tetapi nyata ini, bisa terjadi karena inti demokrasi adalah hak membuat aturan ada pada manusia, bukan Tuhan (Allah Swt). Akibatnya, para penguasa bisa membuat aturan sesuka hati mereka untuk memuluskan syahwat politiknya. Bahkan, mereka bisa saling bekerja sama—meski berbeda fraksi—demi menggolkan suatu regulasi yang dikehendaki. Pada intinya, pemberantasan korupsi dalam demokrasi hanyalah basa-basi. 


Korupsi tidak akan benar-benar diberantas karena dianggap menguntungkan para politisi. Kewenangan KPK saja bisa “dimutilasi” hingga menjadi lemah sekali. Betapa tidak, selama ini demokrasi dicitrakan sebagai pemerintahan bersih dan transparan karena para pemimpinnya adalah pilihan rakyat. Namun nyatanya, demokrasi justru melindungi pelaku korupsi. Lalu apa makna pemberantasan korupsi yang selalu digaung-gaungkan? 


Korupsi tidak akan benar-benar diberantas, karena dianggap menguntungkan para politisi. Namun praktiknya berbanding terbalik, bukan saja mendapatkan keringanan hukuman setelah bebas, justru mantan napi tersebut bisa berkuasa dan melenggang dengan leluasa. Anda yakin mereka sudah tobat dan tidak akan mengulangi untuk berbuat korup? Apakah hukuman yang dilayangkan pada pelaku korupsi sudah memberi efek jera hingga dengan mudah mengkandidatkannya sebagai bacaleg?

Jika serius ingin Indonesia bebas dari korupsi, kita butuh mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi sistem Islam. Aturan dalam sistem Islam bukanlah buatan manusia, melainkan berasal dari wahyu-Nya yang terjamin sahih. Inilah yang lebih dikenal sebagai Khilafah. Dalam sistem Khilafah, salah satu syarat penguasa adalah sifat adil. Allah Swt. berfirman di dalam QS An-Nahl: 90, “Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik.”


Keadilan penguasa merupakan hal yang sangat penting. Rasulullah saw. bersabda, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah ta'ala hingga di akhirat kelak. Karena itu, sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tidak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah manusia dari perbuatan tercela. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistematis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.


Keadilan penguasa merupakan hal yang sangat penting. Rasulullah Saw. bersabda; 

“Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).


Oleh karena itu, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih tidak cukup dengan memilih pemimpin yang bersih. Jika pun ada orang yang awalnya bersih, ketika masuk ke dalam sistem demokrasi, ia cenderung akan ikut arus menjadi korup. Sudah banyak buktinya, beberapa politisi yang awalnya terkenal bersih, ternyata turut tersandung kasus korupsi.


Maka menurut Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah, satu-satunya sistem pemerintahan yang bersih dan adil itu adalah Khilafah. Khilafah merupakan satu-satunya sistem yang berasaskan akidah Islam. Seluruh hukum Allah Swt. akan tegak dengan adanya sistem ini. Inilah wujud nyata keadilan. Artinya, orang yang adil adalah orang yang menegakkan hukum Allah ta'ala, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat.


Wallahu a'lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post