Larangan Jualan di Tiktok, Tepatkah?


Riza Maries Rachmawati


Tiktok sosial media berformat video pendek yang semula menampilkan konten joged atau tarian, kini menjelma menjadi mesin uang raksasa. Melalui fitur Tiktok Shop yang diluncurkan tahun 2021 lalu, Tiktok melebarkan sayap menjadi aplikasi perdagangan sosial alias social commerce. Meroketnya penjualan Tiktok Shop dikhawatirkan akan berdampak langsung kepada pedagang kecil alias UMKM dalam negeri terutama mereka yang belum paham teknologi. Barang jualan pedagang asli Indonesia ditoko offline maupun marketplace lainnya kalah saing dengan produk Tiktok Shop yang sangat murah. Bahkan, barang yang dijual pedagang di TikTok Shop dituding hasil perdagangan lintas batas alias cross border. Bila tudingan tersebut terbukti benar, maka banjir barang impor tersebut berarti langsung ditawarkan kepada pembeli tanpa melalui proses importasi yang semestinya.


Untuk mengatasi keresahan pada pelaku UMKM yang kalah saing dengan Tiktok Shop, pemerintah berencana untuk melarang flatform Tiktok sebagai media jual beli. Namun saat ini rencana pelarangan tersebut menjadi kontroversi baik dikalangan elemen pemerintah maupun masyarakat. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan menolak keberadaan TikTok sebagai platform media sosial asal China untuk menerapkan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia. Sedangkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (menparekraf) Sandiaga Uno khawatir, pelarangan TikTok secara total justru akan mengganggu pelaku UMKM yang bermain di sana. Masyarakat sendiri sebagai pembeli juga merasakan keuntungannya yakni bisa membeli barang dengan harga yang murah.


Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pemerintah sebaiknya menghitung secara cermat rencanan pelarangan TikTok Shop. Rony juga mengingatkan jangan sampai karena pemerintah gagal meng-upgrade kapasitas UMKM dalam memanfaatkan pasar digital, fasilitas online yang semestinya bisa membantu UMKM malah dilarang. Oleh karena itu pemerintah selayaknya mampu mengindentifikasi dengan tepat persoalan yang terjadi dilapangan sebelum membuat kebijakan atau solusi yang tepat. Apalagi saat ini sedang digencarkan transformasi digital termasuk rencana digitalisasi UMKM sehingga tentu dibutuhkan adanya pendampingan literasi digital.


Demikianlah gambaran pemerintah dalam sistem kapitalisme-sekuler. Pemerintah gagal melakukan edukasi kepada pelaku usaha dalam memajukan bisnisnya. Pelaku usaha khususnya UMKM bersaing secara mandiri di tengah pasar bebas yang berjalan dibawah sistem kapitalisme. Kondisi ini semakin diperparah dengan hegemoni pasar digital oleh AS dan Cina sebagai penguasa ekonomi digital saat ini. Indonesia sendiri telah menyepakati perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT) sebagai konsekuensi dari keanggotaannya di Wors Trade Organiztion (WTO). Sehingga negara ini harus membuka pasarnya tanpa halanga tarif bea masuk maupun ketentuan impornya atau bebas proteksi. Perjanjian inilah yang menjadikan kaum kapilatis dunia dengan leluasa memasarkan produknya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga industri-industri dalam negeri tidak mampu bersaing bahkan mereka tidak mampu bergerak bebas dengan keberadaan perusahaan-perusahaan besar yang didukung oleh regulasi internasional maupun nasional.


Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak keempai di dunia, belum memiliki visi industri untuk membangun industri berat mandiri. Indonesia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan hanya mengandalkan produk UMKM. Pada akhirnya negara ini akan tetap bergantung pada perusahaan negara lain yang tunduk pada regulasi yang hanya akan merugikan rakyat. Sehingga meskipun pemerintah memiliki rencana untuk melakukan proteksi terhadap produk dalam negeri, maka produk dalam negeri, bisa dipastikan rencana tersebut tidak akan mampu berjalan.


Berbeda dengan penerapan aturan Islam Kaffah (menyeluruh) dibawah institusi Negara Islam. Islam mewajibkan negara untuk turun tangan dalam mengatur mekanisme pasar sempurna. Sebab negara adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban. Mekanisme pasar dalam Islam harus muncul dari kekuatan permintaan dan penawaran. Islam membiarkan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar berjalan sesuai mekanisme ini. Keridhaan penjual dan pembeli adalah kunci dalam jual beli. Islam juga melarang berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Mekanisme tersebut sekaligus akan menjadi perlindungan berlapis yang wajib dijalankan oleh negara. 


Mekanisme pasar dalan Islam diantaranya adalah Islam melarang praktik penimbunan barang, sebuah parktik curang yang dapat menggelembungkan harta akibat langkanya barang dipasaran. Pematokan harga  yang biasanya dilakukan pemerintah juga dilarang. Kebijakan ini merusak prinsip suka sama suka (‘an taradhin) yang dilakukan secara sukarela antara pelaku transaksi. Islam memberi ruang perkembangan teknologi untuk memudahkan hidup manusia selama tidak bertentangan dengan hukum syariat. Negara akan melakukan edukasi pada pelaku usaha agar mereka dapat mengembangkan usahanya. Bahkan pelatihan tersebut akan diberikan secara cuma-cuma.


Selain itu, Khilafah akan membangun visi industri mandiri yang berlangsung diatas prinsip politik industri berat. Inilah kunci bagi terwujudnya kemandirian negara dibidang industri dan  tidak bergantung pada negara lain. Hal ini meniscayakn negara memiliki kapasitas memadai untuk secara mandiri memenuhi kebutuhan rakyat dalam negeri.


Demikianlah mekanisme pasar dalam Islam jauh dari praktik hegemoni perusahaan besar swasta maupun asing.

Post a Comment

Previous Post Next Post