Kekeringan Melanda Karena Salah Tata Kelola Negara


Oleh; Naimatul Jannah 
Aktivis Muslimah Asal Ledokombo -Jember 


Sebagai negara kepulauan beriklim tropis, Indonesia selalu dihadapkan pada risiko hidrometeorologis yang tidak ringan. Salah satunya yaitu bencana Kekeringan yaitu defisit curah hujan pada suatu wilayah dalam periode tertentu, yang dapat menyebabkan penurunan kelembaban tanah dan kerusakan tanaman. Bahkan fenomena kekeringan di Indonesia mulai menghebat di bulan Agustus ini. Musim kemarau yang dikombinasikan dengan fenomena El Nino ditengarai menjadi penyebab utamanya. Upaya penanggulangan perlu diperkuat dengan langkah preventif untuk menghindari dampak krisis air yang berkepanjangan. Sejumlah daerah di Indonesia dilanda kekeringan beberapa waktu belakangan ini. Masyarakat di daerah terdampak terancam mengalami krisis ketersediaan air bersih yang berkepanjangan. Selain itu, risiko kebakaran hutan dan lahan serta kelaparan berpotensi meningkat di daerah bersangkutan.

 

Termasuk Kabupaten Jember pun tak luput dari kekeringan. Sejauh ini ada tiga titik di kawasan terdampak yang telah diberikan bantuan air bersih. Antara lain di Kelurahan Patrang, Kecamatan Patrang, kemudian Desa Plalangan Kecamatan Kalisat, serta Desa Panduman Kecamatan Jelbuk.  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jember mulai menyalurkan air bersih kepada warga terdampak kekeringan. Distribusi difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seperti minum dan masak.(KETIK-JEMBER)


JAKARTA, KOMPAS — Fenomena El Nino terus menguat dan diprediksi berlanjut hingga Februari 2024. Di Indonesia, El Nino berdampak pada mundurnya awal musim hujan sehingga kekeringan bisa berlangsung hingga Oktober 2023. Fenomena El Nino hampir selalu berakhir pada tahun berikutnya pada Februari-Maret,” kata Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluawakan, di Jakarta, Selasa (22/8/2023).


Meski memiliki potensi sumber daya air melimpah, Indonesia tidak bebas krisis. Pada 2019, pemerintah pernah memprediksi 28 provinsi akan mengalami kekeringan saat musim kemarau tiba. Kekeringan tersebut diprediksi terjadi akibat beberapa faktor di antaranya fenomena El Nino, kuatnya Muson Australia, dan anomali peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim. 


Pada mulanya, setiap orang memiliki ketersediaan air sebanyak 1.169 meter kubik air per tahun. Akan tetapi, akibat kekeringan, setiap penduduk di Pulau Jawa akan mengalami penurunan ketersediaan air hingga 476 meter kubik per tahun pada 2040.


Di belahan bumi lainnya, seperti India, Afrika Timur, hingga Cina mengalami kekeringan. Ancaman kekeringan dan kelangkaan air bersih bagi umat manusia merupakan akibat dari perubahan iklim yang sudah menjadi ancaman dari tahun ke tahun. 


Bahkan, sekitar 2,7 miliar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah pada 2025 jika iklim terus berubah. Pada 2050 pula diperkirakan dua pertiga penduduk bumi akan mengalami kekurangan air.


Salah Tata Kelola


Jika terjadi kemarau panjang, hampir sebagian wilayah Indonesia mengalami kekeringan hingga krisis air. Berdasarkan laporan Bappenas, ketersediaan air di sebagian besar wilayah Pulau Jawa dan Bali saat ini sudah tergolong langka hingga kritis. Sementara itu, ketersediaan air di Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan diproyeksikan akan menjadi langka atau kritis pada 2045. Kelangkaan air bersih juga berlaku untuk air minum. Menurut RPJMN 2020—2024, hanya 6,87% rumah tangga yang memiliki akses air minum aman. 


Di antara penyebab kekeringan di Indonesia yaitu karena salah Tata kelola yang pada akhirnya menyebabkan (1) kelangkaan hutan yang memicu terjadinya krisis air baku, terutama pulau-pulau yang tutupan hutannya rendah, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. 


Pada 2045, Indonesia diprediksi kehilangan tutupan hutan sebanyak 38% dari luas total tutupan hutan di Indonesia (saat ini 95,6 juta hektare). Walhi mencatat Sumatra dan Kalimantan adalah dua pulau besar yang paling banyak kehilangan tutupan hutan. 


Semua itu terjadi akibat kebijakan kapitalistik yang mengalihfungsikan lahan hutan menjadi proyek pembangunan infrastruktur dan investasi besar-besaran, seperti lumbung pangan; ataupun bisnis pertambangan, semisal batu bara, minyak, dan emas.


(2) Berkurangnya daerah resapan. Pengalihan fungsi lahan terbuka hijau menjadi bangunan tempat tinggal jelas memengaruhi kondisi cadangan air di tanah. Jika serapan air minim, cadangan air dalam tanah akan sedikit yang mana akan memicu kekeringan. 


(3) kebijakan liberalisasi SDA yang menjadikan swasta leluasa mengeksploitasi sumber daya air. Indikasinya ialah banyaknya perusahaan swasta yang menguasai bisnis air minum dalam kemasan. 


(4) Kerusakan hidrologis, seperti rusaknya fungsi wilayah hulu sungai akibat pencemaran air. Akibatnya, kapasitas dan daya tampung air akan berkurang.


Krisis air akan berdampak pada produktivitas pertanian. Jika hasil pertanian menurun karena petani gagal panen, akan menyebabkan terganggunya persediaan pangan, sanitasi buruk, kekurangan gizi, dan kelaparan akut. Jika hal ini terus terjadi, ancaman krisis pangan bukan lagi prediksi, melainkan fakta mengerikan bagi negeri ini.


Pandangan Islam 


Air adalah sumber kehidupan bagi umat manusia. Meski sudah ada UU 17/2019 yang mengatur sumber daya air, realitasnya masih banyak masyarakat kesulitan mengakses dan memanfaatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. 


Indonesia butuh visi politik SDA yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Mengingat negeri ini memiliki wilayah perairan yang lebih luas ketimbang daratannya, maka sungguh ironis jika negeri maritim ini malah mengalami krisis air berulang kali.


Seperti apa visi politik SDA yang harus dilakukan negara? 


Pertama, mengembalikan kepemilikan SDA yang terkategori milik umum kepada rakyat. Hutan, air, sungai, danau, laut adalah milik rakyat secara keseluruhan. Sabda Nabi saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Liberalisasi air terjadi akibat penerapan ideologi kapitalisme. Sedangkan dalam Islam, status kepemilikan air yang notabene milik rakyat akan dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.


Kedua, negara mengelola secara langsung dalam proses produksi dan distribusi air. Negara melakukan pengawasan atas berjalannya pemanfaatan air, seperti peningkatan kualitas air dan menyalurkan kepada masyarakat melalui industri air bersih perpipaan hingga kebutuhan masyarakat atas air terpenuhi dengan baik. 


Terhadap sumber daya kepemilikan umum ini, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada individu/swasta. Negara harus memberdayakan para ahli terkait agar masyarakat bisa menikmati air bersih dengan mudah.


Ketiga, negara melakukan rehabilitasi dan memelihara konversi lahan hutan agar resapan air tidak hilang. Negara akan mengedukasi masyarakat agar bersama-sama menjaga lingkungan, melakukan pembiasaan hidup bersih dan sehat, serta memberi sanksi tegas terhadap pelaku kerusakan lingkungan.


Demikianlah prinsip Islam dalam melakukan tata kelola SDA dengan terperinci. Kesalahan dalam mengelola SDA berakibat malapetaka bagi umat manusia. Di tangan para kapitalis rakus, kerusakan lingkungan meluas hingga menyebabkan perubahan iklim ekstrem dan kekeringan. 


Oleh karenanya, jika menginginkan negeri ini mendapat berkah, tidak ada jalan lain selain mengambil Islam sebagai solusi menyeluruh, termasuk dalam mengatasi krisis air bersih dan darurat kekeringan.


WallahuA'lam Bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post