Demokrasi Mengharuskan Pencitraan


Oleh: Erik Sri Widayati, S.Si.



Bacapres PDIP Ganjar Pranowo tengah menjadi perbincangan usai dirinya muncul di video azan magrib di salah satu stasiun televisi. Banyak pihak mengaitkan kemunculan Ganjar Pranowo dengan politik identitas. Menurut pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno, politik identitas adalah sebuah aktivitas politik untuk mengajak orang lain memilih calon dalam Pemilu berdasarkan sentimen agama, suku, dan ras. (tempo, 11/09/23).


Tayangan azan sudah pasti menggambarkan orang yang bergegas untuk melakukan salat. Akan tetapi jika tayangan adzan itu menampilkan bacapres atau tokoh lain yang berkepentingan di pemilu tahun depan pasti akan menimbulkan persepsi tertentu. Bahwa calon tersebut sangat agamis. Berbeda jika tokoh ini ditayangkan jauh sebelum tahun-tahun politik ini. Orang tidak akan punya persepsi apapun terhadap tayangan itu selain bahwa azan memberi tanda agar orang segera melakukan salat. Bukankah ini menjadi politik identitas?


Negeri ini akan punya gelaran akbar Februari tahun depan yakni pesta demokrasi lima tahunan. Segala upaya akan dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Tak terkecuali para bacapres dan pengusungnya. Sebagai penduduk mayoritas tentu akan menjadi perhatian penting yaitu penduduk muslim sebagai pemilik suara terbanyak. Ini karena mereka tidak mau kehilangan kesempatan meraih kekuasaan dan sudah rahasia umum bahwa setiap kontestan sudah tahu sama tahu soal trik dan intrik untuk mendapatkan dukungan.


Inilah fenomena rusaknya demokrasi, yakni suara terbanyaklah yang menjadi pemenangnya. Sosok tokoh harus digambarkan sebaik mungkin. Pemilih tidak tahu tokoh itu bisa atau tidak menjadi saluran aspirasi mereka atau entah peduli pada mereka. Karena faktanya, setelah pemilu, para kontestan demokrasi memang kebanyakan lupa dan tidak peduli dengan rakyat karena yang diinginkan adalah suara mereka saja. Rakyat dididik untuk sekadar menjadi stempel demokrasi para kontestan untuk berkuasa. 


Demokrasi tidak peduli dengan kualitas, kapabilitas, dan kompetensi seseorang. Demokrasi hanya peduli dengan suara meski melalui pencitraan. Untuk selanjutnya uanglah yang memperkuat minat pemilih. Ini pun akan dilakukan. Menyedihkan.


Berbeda dengan Islam, dalam Islam tidak ada periode waktu yang tetap untuk memilih pimpinan negara yaitu Khalifah. Karena ukurannya adalah pelaksanaan terhadap syariat di masyarakat atau tokoh itu sudah sakit parah atau meninggal sehingga tidak bisa menjalankan kekuasaannya. Hikmah dari tidak ada periode yang tetap untuk memilih khalifah adalah calon Khalifah tidak akan cukup waktu untuk melakukan pencitraan. Sehingga rakyat akan dengan mudah menentukan pilihannya terhadap tokoh yang benar-benar telah berkiprah di masyarakat, seberapa kuat komitmennya terhadap syariat dan kepeduliannya terhadap rakyat.


Demikianlah demokrasi dengan prinsip suara terbanyak mengharuskan pencitraan. []

Post a Comment

Previous Post Next Post