(Pemerhati Lingkungan)
Di tengah krisis pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, dampak yang ditimbulkan telah berpengaruh dalam mengubah persepsi pemimpin dunia akan perubahan iklim, yakni pemanasan global sebagai salah satu risiko pada masa sekarang dan masa depan. Mengenai perubahan iklim, salah satunya dengan menekan emisi secara global, agar suhu bumi tetap di bawah 1,5⁰C. Karena itu, dibuatlah aturan yang dinaungi beberapa kesepakatan global seperti Kyoto Protocol dan Paris Agreement (Indonesia carbon trading handbook, 2022).
Perubahan iklim disebabkan oleh adanya pelepasan gas seperti Karbon Dioksida, Nitrogen Oksida, Metana, dll. ke atmosfer yang dapat memanaskan bumi. Para ilmuwan menyebut, pemanasan global dengan efek rumah kaca yang menangkap panas pancaran gas dari bumi ke atmosfer. Salah satu cara untuk menghindari pemanasan global adalah dengan mempercepat transisi energi demi menurunkan emisi semaksimal mungkin, hingga mencapai kondisi netral Karbon.
Perdagangan Karbon adalah mekanisme berbasis pasar. Berbagai pihak pun mendorong perdagangan karbon dikembangkan karena dinilai berpotensi mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan biaya ekonomis. Pilihan pendekatan penting bagi pembuat kebijakan yang ingin menjadikan pasar Karbon sebagai upaya mendorong pengurangan emisi dalam satu atau beberapa sektor ekonomi. Perdagangan karbon juga menunjukkan pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir. Coherent Market Insights memprediksi bahwa pasar Karbon global akan setara dengan US$ 2.407,8 miliar pada 2027 (Indonesia carbon trading handbook, 2022).
Perdagangan Karbon
Perdagangan Karbon merupakan istilah baru dalam lingkungan hidup, dimana setiap buangan karbon khususnya CO², oleh industri harus diganti dengan pohon atau tanaman, atau sesuatu yang dapat menyerap buangan ini. Perdagangan Karbon adalah istilah yang dipakai oleh negara-negara industri yang melepas karbon ke udara (sebagai negara pembeli) dan negara-negara pemilik hutan yang menyerap karbon dari udara (sebagai negara penjual). Hal itu dilakukan sebagai konsekuensi dalam mempertahankan keseimbangan alam.
Busnis Karbon sendiri mengacu pada pasar, dimana setiap unit kredit Karbon mewakili pengurangan emisi, dipertukarkan dalam kerangka kerja yang ditentukan. Sementara, perdagangan Karbon merupakan mekanisme yang memberikan hak kepada pihak-pihak untuk melakukan jual beli Karbon. Sistem perdagangan Karbon (emission trading system/ETS) menjadi salah satu mekanisme yang ditentukan berdasarkan batasan emisi dan harga Karbon untuk memenuhi batas emisi tersebut (Indonesia carbon trading handbook, 2022).
Peluang bisnis Karbon bagi pengusaha di Indonesia sangat menggiurkan karena diperkirakan bisa mencapai US$ 300 milyar/tahun (4.290 trilyun rupiah dengan kurs Rp14.300/US$). Ini diungkap oleh.
Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, Pandu Syahrir. Ia menyebutkan bahwa nilai perdagangan Karbon tersebut berasal dari kegiatan menanam kembali hutan gundul, penggunaan energi yang terbarukan, peralatan rumah tangga sampai pembuangan limbah. Sebagai contoh, rencana pemerintah menerapkan pajak Karbon untuk PLTU batubara mulai April 2022 sebesar Rp30/kg CO² ekuivalen (CO²e) (Diskusi Indonesia Energi Outlook, Asosiasi Pemasok Energi Batubara Indonesia, 2022).
Pajak dikenakan pada pelaku usaha setelah usaha emisi Karbon tidak bisa dikurangi (kuota tak terpenuhi), pembayaran offset juga tidak terpenuhi. Pemerintah melalui Kementerian ESDM memulai perdagangan Karbon untuk subsector pembangkit tenaga listrik batubara di tahun 2023. Terdapat 99 unit PLTU dengan total kapasitas terpasang 33.569mw siap memasuki bursa Karbon (CNBCIndonesia, 2/2023).
Kegiatan yang terkait dengan perdagangan Karbon meliputi beberaoa sektor. Pertama, sektor pertanian berupa pengelolaan lahan termasuk aktivitas peternakan. Kedua, CCS/CCU, yakni penangkapan, penyimpanan, dan penggunaan karbon.
Ketiga, efisiensi energi, yakni kegiatan yang mengurangi emisi melalui pengurangan konsumsi energi, termasuk limbah panas/pemulihan gas dan listrik dari bahan fosil melalui proses yang lebih efisien.
Keempat, kehutanan, yakni penghijauan.
Kelima, penggunaan bahan bakar, yakni aktivitas penggunaan bahan bakar fosil untuk lstrik atau panas. Keenam, fugitive emission, yakni menangani emisi metana industri seperti mencegah kebocoran metana di area tambang, tidak termasuk aktivitas peternakan dan pertanian. Ketujuh, gas industri, yakni aktivitas yang menghasilkan gas berfluorinasi-hidrofluorokarbon (HFC), perfluorocarbon (PFC), bahan perusak ozon.
Kedelapan, manufaktur, yakni pembuatan material yang tidak terlalu intensif emisi (bahan konstruksi, semen, logam). Kesembilan, tata guna lahan lainnya, yakni pengelolaan tata guna lahan selain kehutanan dan pertanian misalnya lahan basah. Kesepuluh, energi terbarukan, yakni biomassa yang berkelanjutan. Kesebelas, transportasi, yakni kegiatan yang mengurangi emisi. Keduabelas, limbah, yakni penanganan dan pengolahan limbah, termasuk gas dan air limbah dari tempat pembuangan akhir.
Di Sulawesi Tenggara sendiri, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Kadin Provinsi Sulawesi Tenggara telah menyelenggarakan diskusi tentang potensi komoditas hutan dan multi usaha kehutanan, menghadirkan Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kadin Indonesia, Silverius Oskar Unggul. Silverius menyampaikan, bisnis Karbon merupakan bisnis yang sangat menjanjikan dan baik untuk dikembangkan, mengingat kawasan hutan yang membentang di Bumi Anoa ini begitu luas. Belum lagi, satu izin di sektor kehutanan bisa dipakai untuk semua bisnis, termasuk Karbon. Walaupun, regulasinya masih bergulir dan disusun oleh pemerintah (Telisik, 6/2023).
Siapa yang Diuntungkan dalam Perdagangan Karbon?
Penerapan perdagangan Karbon mendapat penolakan dari beberapa lembaga masyarakat. Salah satunya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Walhi menilai, perdagangan Karbon merupakan upaya makelar dalam mencari keuntungan untuk menciptakan perdagangan baru.
Menurut Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional Walhi, Yuyun Harmono, bisnis Karbon bukan dinikmati oleh alam ataupun mereka yang hidup di alam. Melainkan, dinikmati para pengusaha yang berdagang Karbon. Menurutnya, perdagangan Karbon juga akan memberi celah bagi perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi gas rumah kaca. Padahal, seharusnya perusahaan tersebut dapat memtransformasikan bisnisnya dari energi berpolusi ke ramah lingkungan.
Dengan adanya karbon kredit, sector industri dapat leluasa mengompensasi dan membayar sejumlah uang tanpa harus repot menjaga emisi gas buang yang dikeluarkannya. Jadi, jelas keuntungan bisnis ini hanya dinikmati korporasi yang tidak benar-benar serius ingin menurunkan emisi Karbon (Katadata, 2020).
Perdagangan Karbon ini juga akan membawa masalah baru, dimana akan bersinggungan dengan hutan adat. Hutan adat adalah hutan yang termasuk dalam pengelolaan perhutanan sosial. Hutan adat berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dapat berasal dari hutan negara dan bukan hutan negara yang mempunyai fungsi pokok konservasi, lindung, dan atau produksi. Di dalam hutan ini masih ada pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat di wilayah hutan di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Kemenko bidang kemaritiman dan investasi, 2021).
Penerapan perdagangan Karbon akan merugikan masyarakat adat yang sangat membatasi akses mereka dalam mengelola hutannya sehingga akan menyebabkan konflik dengan pemerintah. Jargon yang beredar menyatakan menjaga hutan bisa mendapatkan bayaran, menempatkan hutan sebagai komoditi, sementara bagi masyarakat adat, hutan adalah ruang hidup. Bukan mustahil, masyarakat adat tidak akan dilibatkan. Sebaliknya, justru dianggap merusak kawasan restorasi ekosistem.
Solusi dalam Islam
Eksplorasi sumber daya alam untuk diambil manfaatnya oleh manusia telah diatur dengan sangat terperinci dalam Islam. Karena itu, manusia wajib mengelolanya berdasarkan aturan Allah. Eksplorasi sumber daya alam erat kaitannya dengan konsep Islam dalam masalah kepemilikan.
Kepemilikan dalam Islam dibagi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan publik, dan kepemilikan negara.
Seluruh kekayaan yang oleh Allah Swt. telah ditetapkan sebagai milik kaum muslim, maka kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim (kepemilikan umum). Individu-individu boleh memanfaatkannya, tetapi haram memilikinya secara pribadi. Demikian pula, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, apalagi swasta/Asing.
Ada tiga jenis kepemilikan publik. Pertama, sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari, seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik, dan lain-lain. Kedua, kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid, dan lain-lain. Ketiga, barang tambang (SDA) yang melimpah, baik padat (emas, besi, nikel), cair (minyak bumi), dan gas alam. Walaupun aksesnya terbuka untuk kaum muslim, regulasinya tetap diatur oleh negara.
Pengelolaannya oleh negara, dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat.
Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam 3 hal yaitu air, rumput dan api (HR. Ibnu Majah). Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari penuturan Abyadh bin Hammal. Diceritakan bahwa Abyadh pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaannya. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat bahwa apa yang telah diberikan kepada Abyadh adalah sesuatu yang bagaikan air mengalir, lalu Rasul mengambil kembali tambang tersebut dari Abyadh.
Jadi, masalah dalam perdagangan Karbon adalah masalah di ranah kepemilikan publik, dimana objek bisnis ini adalah pemanasan global dan efeknya terhadap makhluk. Adanya saling ketergantungan antara aktivitas manusia dengan kestabilan ekosistem haruslah dikelola oleh negara. Peremajaan hutan dan lahan basah sebagai tempat untuk menyerap Karbon tidak bisa diserahkan pada individu, swasta, apalagi Asing. Sebab, ide perdagangan Karbon adalah hasil pemikiran para kapitalis, dimana semua yang manfaat akan dijadikan sumber keuntungan.
Sejatinya, negara sebagai penyelenggara dan pengelola kepemilikan publik ini, wajib menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan Islam. Sehingga, negara akan lebih paham, mana aktivitas yang akan merugikan ekosistem, mana yang tidak. Mana yang harus dijaga kelestariannya, mana yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh individu muslim atau warga negara. Sehingga, harapan zero emisi atau minus emisi CO² bisa tercapai.
Wallahu’alam
Post a Comment