Mahasiswa
Fenomena El Nino yang sedang melanda Indonesia menyebabkan intensitas curah hujan menurun. Berdasarkan analisis BMKG, fenomena ini telah menyebabkan kekeringan melanda sekitar 63% wilayah Indonesia, mencakup Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. El Nino sendiri merupakan fenomena di mana Suhu Muka Laut (SML) mengalami peningkatan di wilayah Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur melebihi kondisi normalnya. Kenaikan suhu SML ini dapat memicu perkembangan awan yang lebih besar di Samudera Pasifik tengah dan berdampak pada penurunan curah hujan di sekitarnya, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan penelitian risiko bencana tahun 2022, Bupati Bandung Dadang Supriatna menyatakan bahwa ada potensi kekeringan serta risiko kebakaran hutan dan lahan yang ada di 31 kecamatan di Kabupaten Bandung. Di mana tingkat risiko ini dinyatakan sebagai rendah hingga sedang. Menurut Dadang, hal yang harus diwaspadai sebagai akibat dari kekeringan ini adalah risiko kebakaran hutan dan lahan, kondisi panas yang ekstrem, serta potensi gangguan kesehatan yang mungkin muncul di wilayah Kabupaten Bandung. (pikiran-rakyat, Kamis 24/08/2023)
BPBD Kabupaten Bandung pun telah melakukan rapat koordinasi untuk mengantisipasi ancaman kekeringan dampak El Nino. Hasil rapat tersebut menyatakan bahwa BPBD merekomendasikan untuk menetapkan status siaga darurat terkait kekeringan dan risiko kebakaran hutan serta lahan selama 30 hari, dimulai dari tanggal 24 Agustus 2023 hingga 23 September 2023. (inilahkoran, 24/08/2023)
Bencana kekeringan yang terjadi sebagai dampak El Nino seharusnya bisa diantisipasi dengan kebijakan yang integral. Akan tetapi, kekeringan ini diperparah oleh kapitalisasi sumber daya alam, yakni sumber daya alam boleh dikelola oleh pihak swasta untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya. Sehingga terjadilah pembabatan hutan dan penguasaan sumber mata air oleh swasta. Sehingga habitat hutan di Indonesia semakin berkurang. Padahal, hutan memiliki peranan penting dalam mengatur kondisi iklim di bumi melalui siklus karbon.
Beralih fungsinya sumber air dan lahan resapan di kawasan lereng pegunungan yang seharusnya menjadi sumber keberadaan air tanah juga merupakan penyebab terancamnya keberlangsungan sumber air. Alih fungsi lahan hutan di kawasan lereng pegunungan menjadi area penginapan, pemukiman, atau pun area industri telah menjadi ancaman bagi kelestarian sumber daya air tanah di beberapa wilayah Indonesia. Selain itu, Kepala Tim Pelayanan Perizinan Air Tanah, Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Budi Joko Purnomo, mengatakan bahwa pengambilan air tanah yang tidak terukur serta sembarangan dapat mengurangi ketersediaan air tanah di suatu wilayah.
Dengan beberapa faktor penyebab di atas, pemerintah harusnya mulai membatasi kegiatan para kapital dalam pengelolaan SDA, membatasi pembangunan di wilayah resapan air, mengembalikan fungsi lahan sesuai fungsinya, menjaga hutan dan ekosistemnya dari pengrusakan atau pembalakan liar. Dan yang terpenting adalah melepaskan ekonomi kapitalisme dalam pengelolaan aset publik. Selanjutnya, pemerintah bisa minta bantuan para ahli terkait hal tersebut untuk mencari solusi. Hal ini harus dilakukan karena selain tanggung jawabnya sebagai pemimpin, juga tugasnya sebagai pengurus rakyat.
Namun, semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan ketika negara telah mengadopsi aturan kapitalisme demokrasi dalam ranah pemerintahan dan kehidupan. Negara tak merasa bertanggung jawab jika masyarakat mengalami penderitaan akibat kekeringan. Padahal sejatinya kekeringan itu terjadi akibat aturan yang dibuat pemerintah. Pembangunan digencarkan, para investor diberi ruang secara bebas untuk mengeruk kekayaan alam, sementara kerusakan dan dampaknya bagi lingkungan serta masyarakat diabaikan. Inilah fakta kegagalan sistem yang diadopsi negara. Mempertahankannya hanya akan membuat penderitaan rakyat kian berkepanjangan.
Satu-satunya cara mengembalikan kondisi alam dan kenyamanan masyarakat menikmati alam ciptaan Allah adalah kembali pada aturan yang benar yakni Islam dan ekonomi Islam. Islam telah memiliki solusi dalam mengatasi kekeringan akibat perubahan suhu yang ekstrem karena fenomena alam, di antaranya: Pertama, mensosialisasikan tentang aturan kepemilikan kepada masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis tersebut menyatakan bahwa kaum muslim berserikat dalam pemanfaatan air, padang rumput, dan api. Di mana ketiga hal tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu. Dalam Islam, status hutan dan sumber sumber mata air seperti danau, sungai, dan laut adalah harta milik umum. Sehingga tidak dibenarkan dimiliki oleh individu ataupun swasta. Akan tetapi, setiap individu publik mempunyai hak yang sama dalam pemanfaatannya.
Kedua, menerapkan sistem ekonomi Islam. Salah satunya membatasi kerja sama dengan pihak asing terutama kafir harbi jika menyangkut tata kelola pembangunan yang berhubungan dengan aset publik atau lingkungan. Negara akan mencegah pihak-pihak yang bermaksud mengintervensi kebijakan negara. Juga memberlakukan aturan berupa larangan pengrusakan alam yang bisa mengundang bencana seperti penebangan dan pembakaran hutan, pengeboran tanah, reklamasi, dll.
Ketiga, mengembalikan fungsi lahan sesuai kemanfaatannya. Misalnya wilayah pertanian tidak diperkenankan didirikannya industri yang bisa menghalangi kegiatan pertanian terganggu. Keempat, mengembalikan pengelolaan aset publik ke tangan negara agar hasilnya bisa dikembalikan kepada masyarakat.
Dalam hal ini, negara merupakan pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pengelolaan harta milik umum. Negara berkewajiban mendirikan industri air bersih perpipaan sedemikian rupa agar kebutuhan setiap individu masyarakat akan air bersih dapat terpenuhi di mana pun dan kapan pun. Sehingga ketersediaan air ini akan cukup ketika fenomena alam seperti El Nino terjadi. Negara juga harus memanfaatkan kemajuan dalam bidang sains dan teknologi dengan memberdayakan pakar-pakar terkait seperti pakar ekologi, hidrologi, teknik kimia, teknik industri, dan ahli kesehatan lingkungan dalam upaya pengelolaan air bersih yang memadai sehingga akses setiap individu terhadap air bersih dapat terjamin.
Maka dari itu, pengelolaan air yang sesuai dengan syariah akan minimalisir bencana kekeringan. Kondisi ini butuh keberadaan institusi Islam yang juga berfungsi sebagai pelaksana syariat, yaitu dengan menerapkan konsep pelayanan terhadap urusan publik dimana negara tidak akan menjadikan air sebagai komoditas sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Post a Comment