Bacaleg, Karpet Merah Bagi Koruptor?


Wiwik Afrah

 (Aktivis Muslimah)


Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka (voaindonesia)


Di antara beberapa nama masyhur yang masuk daftar bacaleg mantan napi koruptor tersebut adalah Abdullah Puteh (korupsi pembelian helikopter), Susno Duadji (korupsi pengamanan Pilkada Jawa Barat 2009 dan korupsi penanganan PT Salmah Arowana Lestari), Nurdin Halid (korupsi distribusi minyak goreng Bulog), Al Amin Nasution (penerima suap untuk proyek alih fungsi hutan lindung), Rokhmin Dahuri (korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan), dan Irman Gusman (penerima suap dalam impor gula oleh Perum Bulog). (Kompas, 25-8-2023).


Fenomena napi koruptor masuk dalam daftar bacaleg ini menunjukkan bahwa parpol memang menggelar karpet merah bagi mantan koruptor. Anehnya, seolah-olah menutupi fakta, pada Pemilu 2024 ini, KPU tidak mengumumkan status hukum para bacaleg dan tidak melarang napi koruptor menjadi bacaleg. Dasarnya adalah Pasal 43 Ayat (1) UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Juga Pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak, serta kebebasan setiap warga.


Berbeda dengan Pemilu 2019 lalu, KPU mengumumkan daftar caleg yang pernah terlibat korupsi. Kala itu, berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) 20/2018, KPU melarang mantan koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu. Namun, PKPU tersebut digugat oleh sejumlah mantan napi koruptor dan akhirnya dibatalkan oleh MA. Pembatalan tersebut berdasarkan putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018 yang menilai larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu. (CNN Indonesia, 24-8-2023).


Fenomena bolehnya mantan koruptor menjadi bacaleg, menunjukkan hipokrisi demokrasi. Betapa tidak, selama ini demokrasi dicitrakan sebagai pemerintahan bersih dan transparan karena para pemimpinnya adalah pilihan rakyat. Kredo “vox populi vox dei” menandakan seharusnya pemimpin yang terpilih adalah “pilihan Tuhan”. Namun nyatanya, demokrasi justru melindungi pelaku korupsi. Apalagi jika mantan koruptor yang menjadi bacaleg merupakan orang-orang yang punya posisi strategis di partainya, tentu besar kemungkinan mereka akan terpilih. 


Alhasil, seolah-olah keputusan MA dan KPU memang didesain untuk memuluskan bacaleg terpidana korupsi untuk bisa menduduki kekuasaan. Selama ini, narasi indah tentang pemberantasan korupsi didengungkan berulang-ulang. Namun, praktiknya berkebalikan. Bukan saja mendapatkan keringanan hukuman, setelah bebas, mantan napi tersebut bisa berkuasa dan melenggang. Apakah yakin mereka sudah tobat dan tidak akan mengulangi untuk berbuat korupsi lagi?


Fenomena yang aneh tetapi nyata, ini bisa terjadi karena inti dari demokrasi adalah hak membuat aturan ada pada manusia, bukan Tuhan (Allah Swt). Akibatnya, para penguasa bisa membuat aturan sesuka hati mereka untuk memuluskan syahwat politiknya. Bahkan, mereka bisa saling bekerja sama meski berbeda fraksi demi mengegolkan suatu regulasi yang dikehendaki.


Pada intinya, pemberantasan korupsi dalam demokrasi hanyalah basa-basi semata. Korupsi tidak akan benar-benar diberantas karena dianggap menguntungkan para politisi. Kewenangan KPK saja bisa “dimutilasi” hingga menjadi lemah sekali.  Selama demokrasi masih dipertahankan di negeri ini, pemberantasan korupsi tetap menjadi sekadar basa-basi dan pemerintahan yang bersih hanyalah ilusi. Jika serius ingin Indonesia bebas dari korupsi, kita butuh mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi sistem Islam.


Aturan dalam sistem Islam bukanlah buatan manusia, melainkan berasal dari wahyu-Nya yang terjamin sahih. Inilah yang lebih dikenal sebagai Khilafah. Dalam sistem Khilafah, salah satu syarat penguasa adalah sifat adil. Sebagaimana Allah Swt. berfirman: “Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik". (QS. An-Nahl: 90). 



Keadilan penguasa merupakan hal yang sangat penting. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq). Adapun arti “keadilan” adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah, yaitu apa saja yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunah, baik dalam hudud maupun hukum-hukum lainnya. (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah). Artinya, orang yang adil adalah orang yang menegakkan hukum Allah Taala, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat.


Orang fasik (pelaku maksiat) tidaklah terkategori adil. Seseorang yang terlibat kasus korupsi juga jelas tidak memenuhi sifat adil sehingga tidak memenuhi syarat menjadi penguasa. Artinya, para koruptor tersebut tentu tidak layak mencalonkan diri menjadi penguasa. Tentu satu-satunya sistem pemerintahan yang bersih dan adil itu adalah Khilafah.


Satu-satunya sistem yang berasaskan akidah Islam. Seluruh hukum Allah Swt, akan tegak dengan adanya sistem ini. Inilah wujud nyata keadilan, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Taimiyah sebelumnya. Khilafah memiliki mekanisme lengkap untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Korupsi merupakan sebuah keharaman berdasarkan haramnya ghulul (lihat QS Ali Imran: 161). Pada aspek preventif, hanya orang-orang adil yang berhak menjadi penguasa, pejabat, dan pegawai. Orang fasik yang sudah terbukti suka bermaksiat, akan dilarang menjabat dalam pemerintahan.


Pergerakan jumlah harta pejabat juga senantiasa diawasi oleh khalifah. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, mereka harus membuktikan sumbernya. Jika terbukti bersalah, pejabat tersebut akan diumumkan di publik, harta ghulul miliknya disita, dan dihukum takzir yang jenisnya ditentukan oleh khalifah atau kadi. Takzir bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati. Demikian lengkapnya mekanisme Islam di dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Inilah sistem yang butuh kita wujudkan, bukan sistem demokrasi yang terbukti korupsi. 

Wallahu ‘alam bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post