(Aktivis Muslimah)
Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023.
Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.
Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka (online voaindonesia).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu pun mengakui belum akan membuat larangan eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai legislator pada pemilu mendatang. Mengapa demikian?
Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan, dalam membuat aturan penyelenggaraan pemilu, pihaknya berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Hak untuk dipilih, ujar Idham, sedianya telah diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Lalu, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kemudian, kata Idham, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih.
Meskipun sebelumnya polemik pencalonan mantan napi korupsi sebagai anggota legislatif juga pernah ramai jelang Pemilu 2019 lalu. Saat itu, KPU melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu 2019. Larangan itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Sebagaian pihak menyambut baik aturan tersebut, namun sebagian lain mengkritik.
Norma larangan napi korupsi mencalonkan diri di Pemilu 2019 itu pun digugat oleh sejumlah pihak, di antaranya para mantan napi korupsi. Akhirnya, PKPU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu. "Itu bertentangan dengan UU Pemilu. UU Pemilu kan membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu," kata Juru Bicara MA Suhadi kepada Kompas, Jumat (14/9/2018).
Putusan MA ini, kata Idham, juga menjadi salah satu pertimbangan KPU tak melarang napi korupsi mencalonkan diri di pemilu. "Putusan MA adalah bersifat final dan mengikat. Kami wajib melaksanakan Putusan MA," jelas Idham. Idham pun memastikan bahwa KPU belum akan membuat aturan yang melarang mantan napi korupsi mencalonkan diri pada Pemilu 2024. Menurutnya, untuk membuat aturan itu, diperlukan revisi undang-undang terkait. "Kecuali ada UU yang mengatur lain," kata Idham. "Sampai saat ini UU Nomor 7 Tahun 2017 khususnya Pasal 240 Ayat (1) huruf g masih berlaku," tandasnya (kompas)
Warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Aturan tersebut mendapat reaksi dari para warganet. Mereka mempertanyakan kegunaan SKCK yang selama ini kerap menjadi salah satu syarat melamar pekerjaan. SKCK biasanya digunakan perusahaan untuk mengecek jejak rekam pelamar. Pelamar yang pernah terlibat tindak kriminal biasanya akan ditolak dan tidak diterima di sebuah perusahaan atau tempat kerja.
"Inilah alasan mengapa kualitas DPR kita melempem, padahal kalau kita cari kerja saja di syaratkan punya SKCK. Ambyar..." tulis akun RajagluguRudi.
"Salah satu syarat melamar pekerjaan/ dan yang akan menjadi pejabat negara kan harus bikin SKCK ya.
Lha kalau koruptor/ yg pernah bermasalah dengan hukum kok bisa lolos ya.
Apa SKCK cuma buat formalitas aja dan /buat nambah pemasukan Kepolisian ?" tulis Minnie_imut (cnnindonesia).
Pencalonan koruptor jelas akan merugikan masyarakat, karena ketika para (mantan) pencuri uang rakyat itu terpilih menjadi anggota dewan, mereka berpotensi berulah lagi karena sudah mengetahui modus ataupun metode melakukan korupsi, sangat besar kemungkinan mereka tidak amanah dalam menjalankan tugas kedepannya.
Kebolehan yang terjadi, sebenarnya juga menunjukkan bahwa semakin sedikitnya rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi.
Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum dalam sistem demokrasi tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli dan lain-lainnya.
Pemimpin adil, amanah dan tidak korupsi memang tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekular yang memang kufur saat ini. Sistem yang dzalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin dzalim, khianat dan korupsi. Namun pemimpin yang adil, amanah dan tidak korupsi hanya lahir dari rahim sistem yang bertumpu pada al-Quran dan as-Sunnah, yakni itulah sistem Islam.
Sejarah peradaban Islam selama berabad-abad telah melahirkan banyak pemimpin yang adil dan amanah. Seperti Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq ra., misalnya, adalah sosok penguasa yang terkenal adil dan amanah. Beliau orang yang sabar dan lembut. Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum Muslim menolak kewajiban zakat, beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi mereka.
Pengganti beliau, yakni Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., juga terkenal adil dan amanah. Beliau penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar. Pada zaman Khalifah Umar ra. pula, Gubernur Mesir Amr bin al-‘Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap Abdurrahman bin Umar (putra Khalifah Umar ra.). Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam ini diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota. Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi masyarakat. Namun, Gubernur Amr bin al-‘Ash menerapkan hukuman tersebut di dalam rumahnya. Ketika informasi ini sampai kepada Khalifah Umar ra., beliau marah. Beliau segera melayangkan sepucuk surat kepada Amr bin al-‘Ash. Surat tersebut antara lain berbunyi: “Kamu telah mencambuk Abdurrahman bin Umar di dalam rumahmu. Padahal kamu sudah mengerti bahwa tindakan semacam ini menyalahi aturanku. Abdurrahman itu tidak lain adalah bagian dari rakyatmu. Kamu harus memperlakukan dia sebagaimana kamu memperlakukan Muslim lainnya…Kamu sendiri sudah tahu bahwa tidak ada perbedaan manusia di mataku dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah.” (Ibnu al-Jauzi, Manaqib Amir al-Mu’minin, hlm. 235).
Setelah itu Abdurrahman digiring ke sebuah lapangan di pusat kota. Amr bin al-Ash lalu mencambuk Abdurrahman di depan publik (Al-Yahya, Al-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm. 345).
Begitulah sikap Khalifah Umar. Dengan berpegang teguh pada syariah Islam, beliau menerapkan kebijakan berupa persamaan di hadapan hukum. Tidak peduli dia putra Khalifah ataukah bukan. Ketika putranya sendiri melakukan kesalahan, maka hukum Islam ditegakkan. Tidak ada nepotisme.
Selain adil dan amanah, para pemimpin Islam pada masa lalu juga amat hati-hati dengan harta negara. Mereka tak berani menggasak uang negara. Mereka tidak korupsi. Inilah juga yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khathab ra. Saat menjadi khalifah, beliau pernah dihadiahi minyak wangi kesturi dari penguasa Bahrain. Beliau lalu menawarkan kepada para sahabat, siapa yang bersedia untuk menimbang sekaligus membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu, istri beliau, Atikah ra., yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau dengan lembut menolaknya. Sampai tiga kali istri beliau menawarkan diri, beliau tetap menolak keinginan istrinya. Beliau kemudian berkata, “Atikah, aku hanya tidak suka jika engkau meletakkan tanganmu di atas timbangan. Lalu engkau menyapu-nyapukan tanganmu yang berbau kesturi itu ke tubuhmu. Dengan itu berarti aku mendapatkan lebih dari yang menjadi hakku yang halal.” (Al-Kandahlawi, Fadha’il A’mal, hlm. 590).
Begitulah sikap sang Khalifah. Jangankan korupsi. Sekadar kecipratan minyak wangi yang bukan haknya pun tidak sudi.
Kemudian, jika ada yang terbukti melakukan korupsi di dalam sistem Islam, maka akan mendapatkan hukuman, dimana hukuman tersebut bisa memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.
Perlakuan itu bukan hanya diterapkan kepada diri pejabat saja, tetapi bisa juga diterapkan kepada orang-orang dekatnya. Ini sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan disetujui oleh para Sahabat. Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik dan sanksi, termasuk pemiskinan yang memberikan efek jera dan gentar ini, sangat efektif memberantas korupsi.
Alhasil, jelaslah bahwa kepemimpinan yang amanah, adil dan tidak korupsi hanyalah kepemimpinan yang didasarkan pada syariah Islam secara kâffah dalam mengurusi semua urusan rakyatnya.
Wallahu a’lam bish-showab.
Post a Comment