Pemilu 2024 sebentar lagi tiba. Banyak isu menarik yang bisa dibahas, termasuk dibolehkannya mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg). Baik di di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Seperti dilansir online, Republika, Indonesia. Corruption Watch (ICW) kembali menemukan koruptor yang menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) Pemilu 2024. Kali ini, ICW mendapati 24 eks terpidana kasus korupsi diusung oleh sejumlah partai politik menjadi bacaleg DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Akan tetapi, seorang mantan narapidana, termasuk kasus tindak pidana korupsi yang ingin mendaftar diwajibkan mengumumkan kepada masyarakat bahwa dirinya pernah dihukum akibat kasus korupsi dan telah selesai menjalani hukuman tersebut.
Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pernah melarang mantan koruptor ikut pemilihan legislatif pada Pemilu 2019.Dalam Pasal 4 PKPU itu disebutkan bahwa partai politik tidak boleh menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi sebagai bakal calon legeslatif.
Setelah ada peraturan itu, tercatat ada 13 pengajuan uji materi yang diterima Mahkamah Agung (MA) untuk mengugurkan regulasi tersebut.Gugatan-gugatan itu di antaranya diajukan oleh para mantan koruptor yang ingin menjadi anggota DPR.
Larangan mantan koruptor manjadi calon legislatif kemudian dibatalkan oleh MA menjelang Pemilu 2019
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu.Dengan adanya putusan uji materi tersebut, mantan narapidana kasus korupsi dapat mencalonkan diri sebagai caleg dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu.
Realita Demokrasi
Fenomena ini seolah menunjukan bahwa tak ada lagi rakyat yang mampu dan berhak untuk mengemban amanah, sehingga para pelaku kriminal yang sudah jelas merusak negara masih diberi harga, yakin mereka sudah bertobat?
Di sisi lain apakah memang karena kekuatan modal yang besar untuk bisa mencalonkan diri, mengingat biaya kampanye yang teramat mahal, jadi hanya orang-orang yang didukung kekuatan finansial yang hebat dan modal kuat yang bisa menjadi kandidat. Meskipun orang baik, lurus dan amanah akan tetapi jika tidak memiliki modal , maka tak akan bisa lolos pada pencalonan.
Jika kita mau berfikir serius, justru kebolehan ini akan memunculkan kekhawatiran bahwa korupsi akan terus berulang. Apalagi jika para mantan napi itu telah memiliki posisi yang strategis pada partainya. Mengingat hukum yang ada di negeri kita ini tidak ada efek jera, tapi bisa dimenangkan oleh siapa yang bayar dimuka.
Islam solusinya.
Dalam Islam, hukuman berfungsi sebagai pencegah (zawajir). Kasus pencurian termasuk dalam bab hudud, adapun korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Saat Islam diterapkan, kasus korupsi efektif dituntaskan, karena perkara ini sebagai bagian dari ketaatan terhadap aturan Allah dan RasulNya. Hal ini tidak terlepas dari teladan para pemimpin.
Misalnya, khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal.
Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Demikian pula, khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat, agar tidak mencium bau secara tidak hak.
Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini.
Demikianlah, syariat Islam memberi solusi secara menyeluruh. Jika saja kembali diterapkan secara sistemik, niscaya korupsi dapat dituntaskan.
Disisi lain, Islam dalam penerapan sistem pemerintahannya akan menegakkan tiga pilar penjagaan. Pilar pertama adalah ketakwaan individu. Dengan ketakwaan ini, akan membentuk rasa takut kepada Allah SWT bagi setiap individu. Sehingga mereka akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas. Karena itu, mereka yakin bahwa setiap perbuatan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Pilar kedua adalah kontrol masyarakat. Para individu yang bertakwa akan membentuk masyarakat yang bertakwa juga. Di dalam masyarakat akan terbiasa saling menasehati. Jika masyarakat menemukan ada yang melakukan kejahatan, maka mereka langsung mengingatkan pelaku. Hal ini tentu saja akan meminimalisir kejahatan yang terjadi.
Pilar ketiga adalah negara. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur penerapan kebijakan. Dalam penerapan hukum pidana, hukum Islam bersifat zawajir (pencegah) yang berarti hukuman tersebut dapat mencegah manusia melakukan kejahatan itu, dan bersifat jawabir ini(penebus) yang berarti hukuman tersebut sebagai penebus dosa bagi pelaku sehingga di akhirat akan terbebas dari hukuman atas kejahatan itu.
Walhasil, dari sini kita dapat melihat bahwa betapa sempurna dan lengkapnya aturan dalam Islam. Terbukti, penerapan syariah Islam mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi hingga tuntas ke akarnya. Bukankah hal ini yang kita harapkan ? Wallahu alam bish shawab.
Post a Comment