Angka Perceraian Semakin Tinggi , Kenapa?


By : Martinah S.Pd


Perceraian adalah hal yang paling tidak diinginkan oleh setiap rumah tangga. Bukan hanya menyakiti kedua pasangan tapi juga akan melibatkan anak dan dua keluarga. Namun, faktanya di Indonesia kasus perceraian terbilang tinggi. Setidaknya ada 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun. Di sisi lain, angka pernikahan justru mengalami penurunan.


Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Dr Kamaruddin Amin menjelaskan, jumlah perceraian terbilang fantastis. Kenaikan angka perceraian di Indonesia, katanya, menjadi 516 ribu setiap tahun. Sementara, angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun. (Republika, 22-9-2023).


Menurutnya, perceraian tersebut melahirkan 516 ribu duda dan janda setiap tahun di Indonesia. Ia juga mengungkapkan, realitas ini menimbulkan masalah sistemis sehingga perlu ada bimbingan atau konsultasi keluarga di seluruh wilayah Indonesia, baik dari para penghulu maupun penyuluh agama.


Ketua Umum Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar, menjelaskan, penyebab utama perceraian hingga 55% jumlahnya adalah karena percekcokan. Sementara itu, lanjutnya, perceraian akibat KDRT hanya 6.000-an kasus, tetapi angkanya makin meningkat dari tahun ke tahun.


Mirisnya lagi, katanya, sebanyak 80% perceraian terjadi pada pasangan usia muda dengan penyebab yang berbeda-beda, misalnya karena poligami, penjara, judi, dan politik. Selain itu, 67% di antaranya adalah cerai gugat istri kepada suami. 


Jauh lebih parah lagi, Kepala Kanwil Kementerian Agama Aceh, Drs Azhari, menambahkan fakta bahwa di daerahnya (Aceh) ada kasus perceraian yang sebabnya bukan karena persoalan ekonomi atau KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual.


Di daerah lain, Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin menyatakan bahwa kemiskinan ekstrem dan tingginya angka stunting berdampak pada angka perceraian hingga mencapai 20 ribu pasangan. Kondisinya, katanya, masyarakat tidak mampu beli susu, ikan dan sayur yang cukup untuk ibu hamil dan anak pada dua tahun pertama usia pernikahannya.


Dalam rangka menguatkan bangunan keluarga dan mencegah perceraian, Ditjen Bimas Islam Kemenag memang memiliki program Bimbingan Perkawinan Pranikah bagi Calon Pengantin (Bimwincatin). Program tersebut diklaim sangat penting untuk memberikan edukasi kepada mereka yang hendak menikah. Hal ini khususnya untuk mencegah kerapuhan perkawinan dan menguatkan ketahanan keluarga karena kedua hal ini bisa menjadi parameter bagi tinggi rendahnya angka perceraian. 


Tidak hanya itu, BP4 dan organisasi serupa juga mengembangkan layanan penasihatan dan konseling keluarga serta mediasi terhadap suami-istri yang mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama. Harapannya, organisasi keagamaan, dai, dan tokoh agama harus lebih proaktif dalam menyuarakan dan mengampanyekan pentingnya penguatan ketahanan keluarga. 


Di sisi lain, Ditjen Bimas Islam memang menemukan fenomena bahwa mereka yang ingin menikah ternyata tidak semuanya siap, belum paham tentang keluarga, belum siap menjadi suami atau istri, serta belum paham tentang manajemen keuangan, kesehatan reproduksi. Akibatnya, hal ini berpotensi melahirkan generasi stunting, bahkan sangat berpotensi untuk bercerai.


Hanya saja, pada saat yang sama, banyak undang-undang yang sudah dirumuskan untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga atau mengurangi kasus KDRT namun tidak berhasil. Ada juga undang-undang yang melarang pernikahan usia muda. Namun nyatanya, undang-undang tersebut tidak mampu mengurangi pernikahan usia muda. Padahal dampaknya, perceraian didominasi oleh pasangan usia muda di bawah lima tahun usia pernikahan. 


Namun demikian, cukupkah Bimwincatin digiatkan demi mencegah dan menurunkan angka perceraian? Bukankah penyebab perceraian nyatanya juga tidak sekadar faktor internal berupa kekurang siapan individu? Faktor eksternal, bahkan yang sifatnya sistemis seperti Lgbt dan kemiskinan ekstrem, bukankah hal-hal tersebut juga perlu diatasi secara tuntas? 


Semua ini menegaskan bahwa rapuhnya bangunan keluarga di era yang semakin modern ini sungguh tidak sekadar retorika. Ini masih belum tantangan kehidupan serba duniawi yang menyilaukan pandangan akan kehidupan sehingga orientasi hidup menjadi bergeser bahkan kosong dari visi-misi hakiki, yakni visi-misi akhirat. 


Padahal, Allah Taala berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Ruum [30]: 21).


Juga sabda Rasulullah saw., “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alaihi). 


Selanjutnya dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).” (QS An-Nisa [4]: 34).


Dalil-dalil ini hanyalah sebagian kecil dari anjuran Islam untuk menikah dan mempertahankan pernikahan. Dengan adanya pernikahan itu, lahirlah keharusan bagi seorang laki-laki untuk mengurus dan memimpin perempuan, yakni kepemimpinan yang sesuai dengan syariat Islam.


Dengan adanya ketetapan dari Allah tentang kepemimpinan seorang suami terhadap istrinya, aturan Islam mengharuskan para suami untuk berbuat baik, memuliakan dan lembut kepada mereka. Sebab, istri salehah adalah mereka yang menunaikan hak-hak Allah dengan menaati Allah dan Rasul-Nya serta menunaikan hak suami dengan ketaatan, penghormatan dan khidmat kepada suami.


Seorang istri adalah sahabat bagi suaminya. Pergaulan di antara keduanya bukanlah interaksi atas dasar kemitraan, melainkan berupa persahabatan, bahkan persahabatan sejati dalam segala hal. Persahabatan tersebut adalah persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain. 


Dalam menghadapi ujian pernikahan, setiap pasangan suami istri hendaknya bersabar terhadap satu sama lain. Jika seorang suami mendapati suatu kekurangan pada istri, janganlah membencinya secara total. Sebab, pasti ada kebaikan di sisi lain yang dapat menutupi kekurangan tadi. Rasulullah saw., bersabda, “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si laki-laki tidak menyukai suatu akhlak pada si perempuan, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR Muslim). 


Rasulullah saw. juga bersabda, “Perempuan mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah). 


Meski perceraian adalah suatu realitas kehidupan yang kadang kala tidak bisa dihindari oleh pasangan suami istri, tentunya tidak ada yang menghendaki perceraian menjadi cita-cita bagi masa depan pernikahannya. Namun, ketika terjadinya perceraian ternyata menjadi tren, bahkan fenomena sosial yang angkanya meningkat drastis, ini tentu tidak bisa kita biarkan. 


Atas dasar ini, mengingat faktor eksternal juga bisa berpengaruh pada pernikahan sehingga berujung perceraian, bahkan sifatnya sistemis, tentu kondusifitas kehidupan pernikahan juga memerlukan peran negara penegak syariat Islam kafah (Khilafah) agar pernikahan tersebut tetap terjaga dalam koridor sakinah, mawaddah, wa rahmah.


Kehidupan sekuler yang begitu pekat saat ini memang telah begitu mudah dan kuat mengikis kebahagiaan rumah tangga. Faktor-faktor seperti kemiskinan, perselingkuhan, pergeseran orientasi hidup, pengaruh deras dan bebasnya media, hingga masyarakat yang rawan maksiat sejatinya turut menyumbang dampak negatif terhadap rapuhnya bangunan keluarga. Selain penjagaan Khilafah terhadap ketakwaan individu, faktor-faktor tersebut juga harus diatur oleh negara sehingga tidak berlarut-larut menjadi mimpi buruk dalam kehidupan masyarakat. 


Hendaklah kita senantiasa memperhatikan dan merenungkan pesan Rasulullah saw. pada saat Haji Wadak kepada kaum laki-laki tentang urusan kaum perempuan, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan urusan kaum perempuan, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian pun telah menjadikan kemaluan mereka halal bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas istri-istri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian seorang pun yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukan tindakan itu, pukulan mereka dengan pukulan yang tidak kuat (tidak menyakitkan/meninggalkan bekas). Sebaliknya, mereka pun memiliki hak terhadap kalian untuk mendapatkan rezeki dan pakaian (nafkah) mereka menurut cara yang makruf.” (HR Muslim).

Post a Comment

Previous Post Next Post