Bukan hanya puluhan, bahkan ratusan kasus perceraian hampir terjadi setiap hari di seluruh indonesia. JAKARTA -- Kasus perceraian di Indonesia terbilang tinggi. Setidaknya ada 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun. Di sisi lain, angka pernikahan justru mengalami penurunan. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Dr Kamaruddin Amin menjelaskan, jumlah perceraian terbilang fantastis.
"Ada kenaikan angka perceraian di Indonesia, menjadi 516 ribu setiap tahun. Sementara, angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun," kata dia dalam agenda Rakornas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 2023, di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Kamaruddin mengatakan, tingginya angka perceraian membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk dari lembaga filantropi, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). "Kalau ada 516 ribu pasang yang bercerai setiap tahun, itu artinya kita melahirkan jutaan anak-anak yatim setiap tahun," tuturnya.
Kamaruddin mengatakan, tingginya angka perceraian membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk dari lembaga filantropi, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). "Kalau ada 516 ribu pasang yangenurut dia, perceraian tersebut juga melahirkan 516 ribu duda dan janda setiap tahun di Indonesia. Dia mengungkapkan, fakta tersebut akan menimbulkan masalah sistemis sehingga perlu ada bimbingan atau konsultasi keluarga dari para penghulu di seluruh wilayah Indonesia dan juga penyuluh-penyuluh agama.
Kamaruddin melanjutkan, Ditjen Bimas Islam Kemenag memiliki program Bimbingan Perkawinan Pranikah Bagi Calon Pengantin (Bimwincatin). Program tersebut merupakan program yang sangat penting untuk memberikan edukasi kepada mereka yang hendak menikah. "Karena mereka yang ingin menikah ini ternyata tidak semuanya siap, belum paham tentang keluarga, belum siap menjadi suami atau istri, dan belum paham tentang manajemen keuangan, kesehatan reproduksi, sehingga berpotensi melahirkan generasi stunting, yang sangat berpotensi untuk bercerai," katanya.
Yang mengejutkan lagi, ada kasus perceraian bukan karena persoalan ekonomi atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual.
Pandemi covid-19 tenyata tak hanya menimbulkan korban jiwa yang besar. Lebih dari 8000 jiwa melayang hingga tanggal 15 September 2020 di negeri ini (merdeka). Namun, pandemi juga menimbulkan gejolak ekonomi dan sosial. Bahkan, retaknya biduk rumah tangga.
Sangat marak kasus perceraian, terutama gugat cerai. Misal di kabupaten Sumedang hingga satu bulan terakhir mencapai 2000 perkara. Dengan didominasi gugat cerai (wartaekonomi.coid).
Gugat cerai atau khulu’ (Bahasa Arab: خلع) secara etimologi berarti “melepaskan”. Sedang menurut istilah di dalam fiqih, khulu adalah permintaan cerai istri kepada suaminya.
Khulu’ berbeda dengan talak, maka suami tidak berhak merujukinya, baik selama masa iddah ataupun setelahnya. Namun suami boleh menikahinya kembali dengan akad baru dan mahar baru dan tentu saja dengan kerelaan mantan istrinya tersebut. Masa iddah khulu’ pun hanya satu kali haid.
Disebut khulu’, karena seorang istri melepaskan statusnya sebagai pakaian bagi suaminya. Dengan disertai membayar tebusan (mengembalikan mahar) yang digunakan untuk membebaskan dirinya dari ikatan nikah yang ada di tangan suaminya.
Firman Allah SWT:
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS Al-Baqarah: 229).
(Penjelasan Kitab Sistem Pergaulan dalam Islam, Abu Fuad).
Faktor yang jadi pemicu terbesar adalah kurangnya nafkah. Bisa jadi karena suami terkena PHK atau masalah yang lain yang tak mampu diselesaikan. Sabar itu mudah diucapkan, tapi rumit dilakukan. Terutama bagi perempuan yang banyak terpengaruh kehidupan materialistik dan hedonis saat ini.
Sistem Kapitalis membuat keimanan seorang muslimah bisa tergerus menghadapi berbagai persoalan hidup. Termasuk kemampuan bersabar menghadapi kekurangan pasangan hidup.
Padahal ketika memilih bercerai, belum tentu juga kehidupan menjadi lebih baik. Tapi adakalanya emosi telah menguasai hati, apalagi ketika suami yang banyak tekanan seperti hari ini kemudian menjadi mudah naik pitam. Tentu sangat menyakitkan mempertahankan hubungan. Mungkin cuma budak cinta (bucin) yang mau diperlakukan semena-mena.
Islam sebagai sebuah sistem hidup sungguh telah menjadikan negara berfungsi sebagai pengelola yang mampu menjaga keutuhan keluarga. Negara khilafah berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa memenuhi tanggung jawabnya.
Hanya dengan pelaksanaan aturan Islam secara kâffah oleh khilafah akan menjamin kesejahteraan ibu dan anak-anaknya, baik dari aspek keamanan, ketenteraman, kebahagiaan hidup, dan kemakmuran.
Dengan penerapan hukum Islam, kemuliaan kaum perempuan sebagai pilar keluarga akan terjaga. Mereka akan optimal dalam perannya, baik sebagai individu, istri, ibu, maupun sebagai anggota masyarakat.
Wallahu'alambishawab
Post a Comment