Akankah kesetaraan menjadi penjamin Kesejahteraan Perempuan?


Dewi Arum Pertiwi, S.T

(Aktivis Dakwah)


Kesetaraan gender adalah hal yang sering disuarakan oleh para aktivis feminis. Menurut mereka banyak dari kalangan perempuan merasa didiskriminasi jenis kelamin yang terjadi saat ini dan mempengaruhi angkatan kerja perempuan di segala bidang. 


Khususnya dalam penerimaan dan promosi karyawan yang dirasa tidak adil atas dasar gender sehingga membuat perempuan merasa tersisihkan dalam beberapa sektor perekonomian, dan hanya menduduki pekerjaan-pekerjaan yang statusnya lebih rendah daripada laki-laki. 


Hal ini pun turut disuarakan oleh para aktivis feminis melalui event apresiasi yang diadakan untuk Wakil Ketua Tim Penggerak PKK Kalimantan Timur yakni Hj Erni Makmur karena memperoleh apresiasi sebagai salah satu tokoh perempuan yang berpengaruh dalam kategori Influential in Female Leadership. Penghargaan ini rencananya akan diberikan di Jakarta, 28 Agustus 2023 mendatang.


Influential in Female Leadership merujuk pada cara seorang pemimpin perempuan dalam mempengaruhi dan membawa perubahan dalam aspek kepemimpinan dan masyarakat. Pengaruhnya pun berdampak dalam mempromosikan kesetaraan gender, dan menciptakan peluang atau kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk sukses dalam berbagai bidang.


“Event yang akan kami selenggarakan nantinya bertemakan Perempuan Berpengaruh dan juga dalam rangka memperingati International Women’s Equality Day di bulan Agustus ini.” Jelas R.A Syahid Latif. 

Kesetaraan Gender Bentuk Penjajahan Kapitalis

fokuskan pada Women's Equality Day* yang menunjukkan keseriusan feminis untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam kehidupan dunia hari ini.


Mengapa hal ini terjadi? 


Sejatinya promosi kesetaraan gender dan peringatan women equality berbahaya bagi muslimah.

Karena kesetaraan gender yang disuarakan oleh feminis merupakan ide yang berasal dari barat sejatinya merupakan utopia kesejahteraan perempuan. Semua musyawarah dan gagasan internasional tentang gender baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs, ataupun SDGs yang tercantum dalam UU internasional gagasan Barat adalah sumber malapetaka. 


Hal ini merujuk pada kesejahteraan dalam kemajuan gender yang dikampanyekan hanyalah bualan sihir yang merabuk mimpi perempuan dan keluarganya untuk meraih kebahagiaan semu.

Karena yang menjadi parameternya hanyalah materi. Dan yang menjadi realita adalah kapitalis lah yang serakah dan terus-menerus mengeksploitasi perempuan demi mewujudkan totalitas hegemoni atas dunia. Dunia yang dimaksud adalah dunia yang disetir oleh oligarki  yang menguasai SDA vital dan bisnis global. 


Dari sini lah tentunya mereka membutuhkan SDM untuk mengelola di korporasi miliknya. Tenaga kerja perempuan memiliki keunggulan mampu bersaing di dunia kerja. Dari kemanfaatan perempuan dalam kemampuan bersaing tersebut di tebarkanlah propaganda untuk memobilisasi keterlibatan mereka yang akan menjadi penyumbang bagi kesejahteraan keluarga dan bangsanya.


Tidak hanya menjadi penggerak roda ekonomi, perempuan menjadi pasar potensial produksi barang dan jasa. Karena itu perempuan yang mandiri secara finansial akan mengalirkan keuntungan bagi para kapital serta para pemodal. Dan karena hal ini Barat menciptakan ukuran untuk menilai keseriusan setiap negara berdasarkan dari kesetaraan gender.


Capaian pendidikan pun bagi perempuan hanya bertujuan untuk mendapatkan akses ekonomi, baik lapangan kerja, permodalan ataupun pasar. Adapun pemberdayaan politik dibutuhkan untuk membuat regulasi yang berpihak pada mobilisasi perempuan. 


perempuan harus lebih didongkrak demi tercapainya target. Karena itu saat angkatan kerja perempuan hanya mengisi 46,9% ceruk lapangan kerja, sementara laki-laki mengisi 76,1 %, mereka tak bisa menerimanya.


Angan – angan semu Barat dalam mewujudkan kesetaraan pada semua bidang dengan cara iming – iming dunia nyatanya menyesatkan karena jika perempuan memiliki peran identik dengan laki-laki di lapangan kerja, hal ini  akan menaikan  Produk Domestik Bruto (PDB) global pada 2025 sebesar 28 triliun dolar. Inilah bukti gagalnya sistem dalam menyelesaikan semua permasalahan perempuan .

Bagaimana tidak disebut suatu kegagalan jika konsep atau ide gender ini bukan berperan tulus dalam menghargai martabat perempuan malah menjadikan mereka sebagai objek dan sasaran ekonomi dengan mengeksploitasi semua potensi yang dimiliki perempuan demi menaikan pertumbuhan ekonomi korporatokrasi. 


Konsep liberal yang disandang oleh Kapitalisme ini turut serta menjadi penyebab hancurnya peran utama setiap anggota keluarga. Himpitan  dan persaingan ekonomi menekan perempuan agar turut andil dalam dunia kerja. Dan dipaksa mengambil peran laki-laki sebagai pencari nafkah sekaligus  di rumah merawat anak-anak. Kapitalis menyusutkan nilai perempuan dengan menganggap perempuan itu berharga jika  memiliki kemandirian secara finansial. 


Banyak perempuan mengalami depresi karena beratnya tanggung jawab dan target pekerjaan sekaligus mengendalikan rumah dan keluarganya. Benar saja jika sering terjadi perselisihan yang berkaitan dengan  tanggung jawab di dalam pernikahan dan terhadap pengasuhan anak. Karenanya posisi laki-laki yang seharusnya sebagai qawwam tak terpenuhi Alhasil pernikahan bukan  lagi untuk menjalani mitsaqan ghalizha. Sehingga Banyak pasangan yang tak dapat melewati ujian pernikahan hingga perceraian menjadi pilihan. 


Islam Memenuhi Kebutuhan Perempuan


Berbeda dengan Islam, perempuan malah justru akan dilindungi, dijaga, dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan serta dilarang untuk dieksploitasi. Dalam pemenuhan kebutuhan perempuan, Allah mewajibkan laki – laki menafkahi perempuan . “Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.” (QS al-Baqarah [2]: 223)


Dan ini lah yang menjadi dasar jika pekerjaan perempuan amat banyak dan dirasakan mendatangkan kesulitan untuk istri suami atau laki – laki harus menyediakan asisten yang bisa membantu meringankan pekerjaan tersebut. 


Istri berhak meminta hal tersebut pada suami sesuai kemampuan keuangan suami. Atau jika tidak mampu maka suami juga membantu mengerjakan pekerjaan dan saling bekerja sama dalam mengurus pekerjaan rumah. Dari sini lah akan tercipta kehidupan suami-istri yang penuh kedamaian dan ketentraman.


Allah SWT berfirman, “Tempatkanlah mereka  (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS Ath-Thalaq [65]: 6)

 jika  tidak mampu bekerja menanggung diri, istri, dan anak perempuannya, beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Sebagaimana firman Allah Swt. “Ahli waris pun berkewajiban demikian.” (QS al-Baqarah [2]:233). 


Kalau tidak memiliki ahli waris atau ada tetapi tidak mampu memberi nafkah, tanggung jawab tersebut beralih kepada negara yang mengurusi dan memenuhi kebutuhan perempuan melalui Baitul Mal.


Nabi saw. bersabda, “Aku lebih utama dibandingkan dengan orang-orang beriman daripada diri mereka. Siapa yang meninggalkan harta maka harta itu bagi keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR Ibnu Hibban)


Hal ini tentu tidak akan dapat ditemukan di sistem sekarang karena kerusakan massif sampai di penjuru dunia sehingga merusak tatanan keluarga serta sosial dan yang dibutuhkan dunia saat ini adalah solusi secara struktural bukan individu maupun komunitas . 


Dunia butuh aturan Islam yang diterapkan dalam bentuk negara dengan wibawanya menolak untuk tunduk pada aturan kufur internasional dan memiliki hak untuk melaksanakan hukum Islam secara kaffah.

 

Wallahu a’lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post