WAKIL UMAT TAK AMANAH, RAKYAT KECEWA BERJAMAAH


Oleh: Melagustina Dewi S.Sos.I 

(Aktifis Dakwah Muslimah Deli serdang)


Dilansir online CNN Indonesia -- Mantan narapidana kasus korupsi atau napi koruptor boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024 berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018.


Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018.


MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan.


Dilansir online kompas – Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 12 nama calon anggota legislative (caleg) mantan terpidana korupsi yang akan ikut berkontestasi dalam pileg 2024 mendatang. Peneliti ICW Kurnia Ramadhan mengatakan, 12 nama caleg tersebut hasil temuan dari daftar calon sementara (DCS) yang dirilis 19 Agustus 2023.


Kecewa berjamaah


Makin kemari, negeri kita tercinta semakin menunjukkan kebobrokannya. Sungguh sangat miris, ditengah kondisi negeri yang tidak baik-baik saja. Rakyat kembali di paksa menerima keputusan sepihak yang sama sekali tidak menguntungkan. Bagaimana tidak, di saat rakyat krisis kepercayaan kepemimpinan, kekecewaan dan ketidak adilan yang tidak kunjung usai. Melalui Putusan MA kembali membuat sensai dengan membuka peluang kesempatan bagi mantan Napi Korupsi untuk menjadi Bacaleg DPR, DPD, DPRD.  


Pada tahun 2019 lalu, pihak KPU sempat melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu 2019. Larang yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 banyak menuai pro dan kontra. Sebagian menyambut baik aturan tersebut. Namun tidak sedikit juga sebagian lain mengkritik. Alasannya sangat klasik yaitu HAM. Andai HAM itu berlaku bagi semua elemen mungkin Demokrasi di Indonesia tidaklah secacat sekarang.


Faktanya, kecewa berjamaah kembali dirasakan rakyat, karena akar masalahnya disini bukan hanya HAM lah yang selalu dijadikan alasan, namun yang ada adalah karena mereka memiliki modal besarlah mereka bisa maju ke putaran pemilu dari tahun ke tahun. Disini menunjukkan bahwa negeri kita masih berada dalam cengkraman kekuatan para pemodal. Tidak perduli apakah dia eks koruptor atau pelaku kriminal sekalipun, jika ia memiliki modal maka ia bisa berkuasa dan melakukan apapun yang ia mau. Orang baik tanpa dukungan modal tak akan mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah salah satu kecacatan demokrasi yang sebenarnya.


Kasus ini juga menunjukkan betapa lemahnya keadilan dan hukum di negeri kita tercinta. Sistem  sanksi bagi pelaku korupsi yang telah memakan harta rakyat sama sekali tidak memberikan efek jera. Bahkan terkesan santai dan difasilitasi. Bahkan hukum pun bisa dibeli dengan mudahnya yang penting mereka bisa membungkamnya dengan uang. Maka, wajar jika rakyat mempertanyakan atau mengkritisi keputusan ini. Karena kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali. 


Wakil Umat Amanah dambaan Ummat


Dalam pandangan Islam, Wakil Umat atau disebut juga Majelis Umat adalah Orang – orang yang dipilih  umat untuk mewakilkan urusan mereka agar tersampaikan kepada penguasa, bisa dikatakan sebagai penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan semua aspirasi berupa pendapat (Syuro’) atau evaluasi (Muhasabah). Tugas mereka sebagai penyambung lidah rakyat menuntut adanya keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt, menjalankan tugasnya sebagai amanah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban dihapadan Allah swt. 


Berkenaan dengan pelaku korupsi atau pelaku kriminal islam memberikan sanksi yang sangat tegas dan menjerakan. Memastikan hukuman yang didapat bukan hanya akan menyadarkannya dari kemaksiatan akan tetapi akan menyadarkannya akan ketundukan kepada Allah swt sehingga harapannya pelaku akan merasa berdosa dan bertaubat tidak mengulangi kesalahan kedua kalinya. Menerima dengan ikhlas bahwa hukuman yang ia jalani adalah sebagai penebus dosanya (Jawabir) serta akan berefek kepada masyarakat kebanyakan (pencegahan) untuk melakukan hal sama (Zawajir). 


Sebelum pelaku itu bertaubat maka tidak ada kesempatan ia untuk mengemban amanah apapun dimana didalamnya ada tuntutan iman dan taqwa termasuk didalamnya menjadi wakil umat atau Majelis umat.


Wallahu’alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post