Oleh: Izzah Saifanah
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati buka-bukaan soal penyebab LPG 3 kg langka. Ia mengatakan kelangkaan terjadi karena peningkatan konsumsi. "Juli ini memang ada peningkatan konsumsi sebesar 2 persen sebagai dampak dari adanya libur panjang beberapa waktu lalu. Kami sedang melakukan recovery dari penyediaan distribusinya untuk mempercepat," ujarnya melalui keterangan resmi, (CnnIndonesia 25/7).
Pemakaian Liquefied Petroleum Gas (LPG) domestik diperkirakan semakin naik setiap tahunnya hingga mencapai 11,98 juta ton pada 2024, tapi produksi masih stagnan di 1,97 juta ton per tahun. Sehingga LPG harus diimport dan telah mencapai lebih dari 70% terhadap kebutuhan dalam negeri. Selain impor yang jumbo, subsidi untuk LPG juga sangat besar, per tahunnya mencapai Rp 70 triliun.
Selain peningkatan konsumsi, disinyalir pula LPG 3 Kg yang beredar di tengah masyarakat tidak tepat sasaran. Di tengah kelangkaan ini, pemerintah berupaya mengurangi subsidi dengan menggelontorkan LPG non subsidi. Artinya, biaya yang dikeluarkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan akan semakin banyak, karena kenaikan LPG tentu akan diikuti dengan melonjaknya harga kebutuhan hidup yang lainnya. Rakyat kembali menanggung beban, pemerintah justru meraup banyak keuntungan.
Negara seyogyanya menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dengan baik tanpa dibayangi dengan kelangkaan dan mahalnya harga. Sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses kebutuhan pokok dan berbagai layanan publik lainnya. Sayangnya, pengaruh kapitalisme telah melalaikan tugas, pokok, dan fungsi negara sebagai pelayan rakyat. Para penguasa lebih mementingkan kepentingan korporasi.
Rakyat seakan menjadi warga kelas dua, tidak lagi jadi prioritas. Alhasil, kebijakannya tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Di saat yang sama, asing justru mengeruk sumber daya alam, padahal potensi SDA dalam negeri sangat besar bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sektor pertambangan, Indonesia menjadi negeri penghasil gas bumi terbesar. Dengan itu semua, seharusnya rakyat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya, Sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi karena hampir seluruh tambang migas di negeri ini dikelola swasta (asing).
Berbeda dengan Islam, negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah menjadikan penguasa sebagai pengurus urusan umat. Dalam Islam, sumber daya alam adalah harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengaturan hajat publik seperti minyak bumi, gas alam, dan lainnya kepada individu atau swasta.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Hadist ini menjadi pedoman bahwa kekayaan alam tidak boleh dikuasai oleh individu ataupun kelompok. Penguasalah yang mengelola dan menjadi salah satu pendapatan negara tersimpan di Baitulmal yang diperuntukkan untuk kepentingan umat.
Ketiadaan Islam telah membuat kesengsaraan semakin menjadi, kesejahteraan menjadi barang mahal yang harus diperjuangkan oleh individu rakyat. Sudah saatnya kita menyadari bahwa bebagai persoalan yang dihadapi termasuk dengan kapitalisasi migas yang terjadi saat ini hanya akan menemui solusinya jika Islam diterapkan secara sempurna dalam kehidupan. Wallahu ‘alam.
Post a Comment