Oleh Leihana
Ibu Pemerhati Umat
Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia. Hutan tropis di Indonesia adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Apa jadinya jika paru-paru dunia kini tengah rusak oleh kasus kebakaran lahan dan hutan?
Rasa sesak yang diakibatkan oleh kebakaran ini tentu tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia saja, tetapi juga masyarakat dunia. Di tengah kemarau panjang tahun ini kebakaran hutan dan lahan pun terus berulang. Beberapa kasus diantaranya tampak diakibatkan oleh kelalaian dari perusahaan-perusahaan setempat.
Seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLKH, Rasio Ridho Sani menyebutkan pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi untuk perusahaan yang diduga sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan. Menurutnya 14 dari 22 perusahaan tersebut sudah dalam proses eksekusi. Sedangkan perusahaan lainnya masih dalam tahap penyelidikan. (media online KOMPAS, 20/8/2023)
Satu diantaranya adalah PT Kumai Sentosa (PT KS) yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung bertanggung jawab atas kebakaran lahan di lokasi kebun sawit seluas 3000 ha. Diputuskan PT KS harus mengganti rugi nilai material secara tunai kepada KLKH melalui rekening kas negara sebesar 175 miliar rupiah.
Putusan itu Menindaklanjuti kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi mulai dari 16 November 2020 di Desa Sungai Cabang Kecamatan Kumai kabupaten Kotawaringin Barat. Jasmine Ragil Utomo Direktur penyelesaian sengketa lingkungan hidup sekaligus kuasa hukum dari Menteri LHK mengatakan bahwa dikabulkannya permohonan PK Kementerian LHK oleh MK menunjukkan keseriusan KLKH dalam menindak pelaku pembakaran lahan dan hutan.
Selain PTKS ada 14 perusahaan lainnya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap untuk memberikan ganti rugi kepada negara sebesar Rp5.603 326.31.249 dan 7 perusahaan dari 14 perusahaan tersebut telah berkomitmen untuk melakukan pembayaran sebesar Rp2.553. 735.035.049 (media online menlhk, 18/08/ 2023)
Kasus kebakaran hutan dan lahan bukan hanya terjadi di wilayah perkebunan saja hingga saat ini terjadi di Palangkaraya mencapai pemukiman hingga pinggir jalan raya. Seperti yang disampaikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD kabupaten Tapin Kalimantan Selatan menyatakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merambat hingga ke pinggir jalan. Kepala Bidang kedaruratan dan logistik BPBD kabupaten Tapin Sofyan mengatakan kejadian itu berada di desa Kalumpang Kecamatan Bungur. (media antaranews, 20/08/2023)
Karhutla ini berisiko membahayakan lahan dan perumahan warga juga menimbulkan kabut asap yang mengancam kesehatan masyarakat. Tentu saja kejadian ini tidak semata-mata bisa dikatakan sebagai sebuah musibah atau bencana alam. Karena hal itu terjadi imbas dari kebijakan adanya konsensi hutan untuk perusahaan dan lalainya perusahaan negara akan penjagaan hutan sebagai paru-paru dunia.
Selain itu penegakan hukum tidak memberikan efek jera karena penggantian ganti rugi bisa ditebus dengan nilai materi berupa uang yang sebenarnya tidak mampu menggantikan efek buruk dari kebakaran hutan tersebut. Hal ini jelas merupakan bentuk kelalaian yang diakibatkan oleh sistem yang mendukung terjadinya kelalaian tersebut. Dalam sistem kapitalisme yang mengusung kebebasan individu berdasarkan kepemilikan modal.
Memberikan keleluasaan kepada para korporat yang memiliki modal cukup untuk menggunakan lahan dan hutan untuk kepentingan materi semata. Sistem inilah yang diterapkan di negara Indonesia sehingga memberikan izin privatisasi kepada perusahaan swasta baik asing maupun lokal untuk mengelola Sumber Daya Alam yang hakikatnya adalah milik rakyat yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat semata.
Tentu saja hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem dalam ajaran Islam. Islam memiliki aturan dalam pengelolaan harta milik umum oleh negara. Sebagaimana sebuah hadis nabi yang menyebutkan, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, Air dan Api." ( HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad)
Hadis itu mengisyaratkan bahwa padang rumput, air, dan api adalah milik umat yang memang pengelolaannya diwakilkan kepada wakil rakyat yaitu negara. Islam sangat menjaga kepemilikan individu umum dan juga negara yang tidak boleh saling tumpang tindih dan menzalimi satu sama lain. Hal itu sudah diterapkan pada masa pemerintahan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah.
Dari hadis berikut:
"Dari Abyan bin Hamal yang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam meminta beliau agar memberikan tambang garam kepadanya kemudian Nabi Saw. memberikan sebuah tambang garam kepadanya.
Setelah Abyan bin Hamal pergi seorang laki-laki di majelis berkata, "Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya Sesungguhnya Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir." Kemudian Rasulullah Saw. mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari Abyad bin Hamal. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi)
Sama halnya yang terjadi dalam pengelolaan hutan dan lahan merupakan jumlah besar kepemilikan rakyat yang tidak boleh dikelola atau dimiliki oleh skala individu. Terlebih memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memanfaatkannya dengan eksploitasi yang tidak memperhatikan lingkungan. Dengan penerapan syariat Islam secara kafah maka tidak akan ada kebakaran hutan dan lahan akibat kelalaian para korporat dalam mengeksploitasi lahan tersebut.
Adapun jika terjadi kelalaian yang disebabkan individu atau perusahaan dalam sistem Islam pun akan dikenakan sanksi yang berat. Jika terjadi kelalaian yang disengaja menyebabkan kerusakan alam dan hingga mengancam kesehatan masyarakat akan diberikan sanksi yang tegas bukan hanya sanksi materi semata.
Selain kurungan bisa juga sanksi fisik seperti potong tangan jika khalifah menetapkan itu sebagai takzir atas pelanggaran hukum syariat Islam yang berat. Untuk itu dalam rangka menyelesaikan kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang di hutan-hutan Indonesia tidak ada jalan lain selain kembali menerapkan syariat Islam secara kafah.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment