Aktivis Muslimah Asal Ledokombo -Jember
Setiap tanggal 17 Agustus masyarakat Indonesia merayakan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia, 78 tahun hari kemerdekaan itu berlalu hingga hari ini setidaknya bahwa proklamasi kemerdekaan RI adalah wujud puncak perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perjuangan yang dilakukan ini memakan waktu, tenaga dan pengorbanan yang tak sedikit bahkan banyak nyawa pahlawan yang dikorbankan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara merdeka. Meski hari peringatan HUT ke 78 RI sudah berlangsung pada tanggal 17 Agustus yang lalu, namun nuansa kemeriahan acara demi acara diberbagai tempat di seluruh pelosok negeri masih mewarnai kegiatan perayaan kemerdekaan negeri yang tercinta, misalkan dengan lomba makan kerupuk, panjat pinang, tusuk jarum, balap karung dan lain sebagainya. Tentunya sambil tertawa bebas seakan-akan tidak ada beban yang dipikulnya, bendera merah putih berkibar di seluruh negeri baik diperkotaan, di pedesaan bahkan dipelosok negeri ini. Namun pada kenyataannya apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?
Makna Merdeka
Definisi kemerdekaan dalam bahasa Arab yaitu al-istiqlal sehingga hari kemerdekaan disebut ied al-istiqlal. Sedangkan menurut KBBI, kemerdekaan sendiri bermakna keadaan berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya) atau kebebasan. Padanan kata bebas ini dalam bahasa Arab disebut juga al-hurr, dengan bentuk verbanya kebebasan adalah al-hurriyah.
Ibnu ‘Asyur dalam karyanya “Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah”, memaknai al-Hurriyah dengan dua makna yaitu yang pertama, kemerdekaan bermakna lawan kata dari perbudakan. Kedua, makna metaforis dari makna pertama, yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan urusannya sesuka hatinya tanpa ada tekanan. Menurut Ibn Asyur, ada beberapa aspek kemerdekaan dan kebebasan yang dikehendaki syariat Islam. Di antaranya, kebebasan untuk berkeyakinan (hurriyyah al-i’tiqad), kebebasan berpendapat dan bersuara (hurriyyah al-aqwal), termasuk di dalamnya kebebasan untuk belajar, mengajar, dan berkarya (hurriyyah al-‘ilmi wa al-ta’lim wa al-ta’lif), lalu kebebasan bekerja dan berwirausaha (hurriyyah al-a’mal).
Dari situ kata merdeka lantas dimaknai bebas dari perbudakan, lalu diperluas menjadi bebas dari penjajahan. Penjajahan berarti eksploitasi, pengekangan dan perampasan kehendak. Pihak yang dijajah dieksploitasi semata demi kepentingan penjajah. Pihak yang dijajah dikekang dan dirampas kehendaknya. Mereka tidak berdaulat. Mereka tidak bisa bebas bertindak sesuai kehendaknya sendiri. Sebaliknya, kehendak mereka dibatasi dan diatur oleh pihak yang menjajah. Keputusan dan tindakan mereka ditentukan, bahasa halusnya diarahkan oleh pihak yang menjajah. Kekayaan dan potensi yang mereka miliki dieksploitasi lebih untuk kemakmuran pihak yang menjajah. Semua itu hakikatnya merupakan esensi dari perbudakan atau penghambaan. Dengan demikian merdeka maknanya adalah ketika kehendak tidak dikekang oleh bangsa lain atau sesama manusia lainnya. Merdeka itu ketika keputusan dan tindakan tidak ditentukan dan dikendalikan oleh pihak lain baik bangsa, individu, atau sekelompok individu. Merdeka itu ketika kekayaan dan potensi yang kita miliki sepenuhnya digunakan untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kemakmuran kita.
Nestapa Kemerdekaan
78 tahun Indonesia merdeka namu sungguh sayang Indonesia sedang dirundung pilu. Katanya sudah merdeka, tetapi realitasnya masih terpenjara. Tidak bebas dari kekufuran yang membelenggu rakyatnya. Tidak bisa menghamba dengan sebaik-baiknya ibadah pada Sang Pencipta. Perayaan pun digelar di setiap sudut kota dan desa, ditemani rakyatnya yang mayoritas sengsara. Akibat kemiskinan, jutaan balita kurang gizi, kebutuhan hidup tidak terpenuhi, kebodohan menjangkiti generasi, kriminalitas merajalela, kesehatan hanya dimiliki oleh orang kaya, keamanan bak barang mewah yang sulit dirasakan warga. Inilah paradoks negeri berlimpah sumber daya alam.
Negeri Zamrud Khatulistiwa ini, kini sungainya dicemari limbah industri. Gunungnya digunduli, hutannya ditebangi, laut dan udaranya penuh dengan polusi. Bencana alam datang bertubi-tubi akibat tangan manusia yang penuh dengan keserakahan. Sungguh ironi di negeri gemah ripah loh jinawi. Negeriku pun sedang tersedu menyaksikan kemungkaran bertebaran di setiap penjuru. Mulai dari pelecehan terhadap syariat Allah Swt., hingga kriminalisasi para ulama, semua terjadi di negeri muslim terbesar ini. Syariat Khilafah dimonsterisasi, jihad yang agung dikebiri, syariat jilbab dinodai, pengemban dakwahnya dipersekusi.
Misi Kemerdekaan Islam
Islam diturunkan dengan membawa misi kemerdekaan umat manusia dalam makna yang paling jauh, yakni memerdekakan umat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah Swt. Misi itu dinyatakan di dalam surat Rasulullah saw. yang dikirimkan kepada penduduk Najran.
Di antara isinya berbunyi, أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ “Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia).” (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Misi Islam mewujudkan kemerdekaan untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Persia, Rustum, dengan Rib’i bin ‘Amir yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rib’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rib’i bin ‘Amir menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang bersedia, dari penghambaan kepada sesama hamba (sesama manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam ” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).
Buah Kemerdekaan Hakiki
Allah Swt. berfirman, الر.كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepada kamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (TQS Ibrahim [14]: 1)
Firman Allah Swt. ini terbukti dalam sejarah Islam dan umat Islam. Ketika kemerdekaan hakiki terwujud melalui Islam dengan jalan penerapan syariat Islam secara menyeluruh di tengah masyarakat, kehidupan terang-benderang pun terwujud. Dalam sejarah terbukti, ketika sebuah negara menerapkan syariat Islam maka negara yang semula kumuh, menjadi berkemajuan dan penuh cahaya. Masyarakat Arab yang dulunya jahiliah dan terbelakang, begitu mewujudkan kemerdekaan hakiki dengan menerapkan syariat Islam di bawah pimpinan Rasul saw., mereka dalam waktu singkat berbalik menjadi pemimpin dunia serta menjadi mercusuar yang menyinari kehidupan umat manusia dan menyebarkan kebaikan, keadilan, dan kemakmuran kepada umat-umat lain. Yang harus dilakukan saat ini adalah menyempurnakan kemerdekaan yang sudah kita rasakan dengan berusaha sungguh-sungguh mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Caranya dengan mewujudkan ketundukan sepenuhnya pada semua aturan Allah Swt., melepaskan diri dari belenggu sistem yang bertentangan dengan tauhid, yakni kapitalisme maupun komunisme dan ide-ide turunannya, seraya menegakkan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan itu kehidupan terang-benderang, kehidupan berkemakmuran, dan mulia akan dapat dirasakan oleh semua anggota masyarakat.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Post a Comment