Oleh Khansa Mustaniratun Nisa
Baru-baru ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim meluncurkan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbud ini merupakan Program Merdeka Belajar ke-25 dan merupakan penyempurnaan dari Permendikbud sebelumnya.
Banyaknya kasus kekerasan pada anak yang di antaranya berstatus pelajar menjadi latar belakang dibuatnya peraturan ini. Di tahun 2022, pengaduan yang masuk ke KPAI pada perlindungan khusus anak itu sebanyak 2.133 kasus. Ditambah, pihak Mendikbud Ristek pun melakukan survei dan sensus yang hasilnya hampir 34 persen peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26 persen berpotensi mengalami kekerasan fisik dan 36 persen berpotensi mengalami perundungan. (kompas, 8/8/23)
Oleh sebab itu, tujuan dari Permendikbud PPKSP tersebut untuk memperkuat tindak pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan yaitu mencakup peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan warga satuan pendidikan. Implementasi dari Permendikbud ini salah satunya adalah satuan pendidikan bahkan pemprov dan pemkab/pemkot diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). TPPK dan satgas ini harus dibentuk dalam waktu 6—12 bulan setelah peraturan diundangkan. Kedua tim harus menangani masalah kekerasan dan memastikan pemulihan korban.
Dari Permendikbudristek 46/2023 ini, perlu kiranya kita telaah lebih dalam, apakah benar efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan di lingkungan sekolah? Mengingat, sudah menjadi rahasia umum bahwa tindak kekerasan di lingkungan sekolah kian tahun kian meningkat.
Agaknya jajaran pemerintah seharusnya lebih kritis dan cepat tanggap bila membahas permasalahan terkait generasi penerus bangsa. Banyak faktor yang memengaruhi maraknya tindak kekerasan di lingkup sekolah. Di antaranya sistem pendidikan yang berfokus pada akademik dan cenderung mengabaikan nilai agama. Ironis, sebagai negeri mayoritas agama Islam namun pelajaran agama Islamnya terhitung hanya 2 jam dalam sepekan. Padahal, Islam mengajarkan kebaikan, mana halal dan haram beserta balasan apa yang akan didapat dari perbuatan yang selama ini dilakukan. Bukankah ini cukup menjadi pencegah terjadinya tindak kekerasan karena takut akan hari penghisaban kelak?
Selanjutnya faktor keluarga. Tak sedikit pelaku kejahatan berasal dari keluarga broken home. Orang tua yang berpisah, abai terhadap pengasuhan anak, sibuk bekerja hingga menyerahkan pengasuhan dan pendidikan kepada pihak lain dan sebagainya. Belum lagi, kasus asusila terjadi dalam bingkai rumah tangga. Ayah perkosa anak kandung, ibu jual anak ke prostitusi daring, pelecehan seksual oleh pengasuh dan lain sebagainya. Bukankah ini pun bisa memicu anak berbuat asusila di lingkungan sekolah?
Belum lagi faktor media. Konten pornografi dan adegan kekerasan sangat mudah diakses oleh anak-anak yang memang sehari-harinya mereka tak lepas dari gawai. Jangan dianggap sepele, sebuah konten sangat bisa menstimulus terjadinya kasus kekerasan. Belum lagi adanya pemahaman liberal alias kebebasan bertingkah laku yang menjadi landasan mereka dalam berbuat.
Oleh karena itu, sebuah aturan yang dibuat tanpa merujuk persoalan utamanya –yaitu penerapan sistem kehidupan sekuler liberal- tidak akan membawa perubahan apa-apa, yang ada malah membuka jalan kejahatan lainnya.
Hal ini tentu akan berbeda bila Islam tidak diterapkan hanya sebatas aspek ibadah saja. Sebab dalam Islam, negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas umatnya. Bukan sekadar menetapkan aturan, melainkan juga menjaga keamanan kehidupan bermasyarakat, termasuk di sekolah.
Negara yang menerapkan aturan Islam akan memastikan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga semua anak didik memiliki fondasi kuat dalam berinteraksi sosial. Dengan memahami agama, mereka akan bisa memahami tujuan hidup di dunia dan menjadi pribadi yang bermanfaat untuk sesama. Inilah jaminan utama tercegahnya tindak kejahatan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Negara juga akan memastikan seluruh media hanya menayangkan konten kebaikan. Sangat mudah sekali bagi sebuah negara untuk memutus konten tak berfaedah tanpa melihat untung rugi yang didapat. Semua dilakukan semata untuk menjaga kualitas generasi gemilang.
Begitu pun keluarga, negara akan menjamin kesejahteraan sandang, pangan dan papan. Lapangan pekerjaan terbuka lebar bagi para pencari nafkah. Alhasil, ibu akan fokus mengurus rumah, serta menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Dengan begitu, di mana akan ditemukan kesejahteraan dan jaminan keamanan yang bukan hanya di lingkungan sekolah saja, tetapi semua lingkup kehidupan? Apakah tetap dalam kondisi sekuler liberal seperti saat ini? Tentu tidak. Semua hanya akan terwujud dalam bingkai naungan sistem Islam kafah.
Wallahu a’lam bishshawab
Post a Comment