Menyoal Pelajar Tawuran, Pendidikan Perlu Dievaluasi ?

 

Oleh Iin Linti Kurnia, S. Sos.
(Aktivis Dakwah)

Pelajar adalah generasi harapan bangsa, yang akan mengisi dan melanjutkan estapet kemimpinan, baik skala nasional maupun global. Tentunya mereka harus mumpuni dalam sains dan teknologi. Serta memiliki pemahaman agama yang benar sehingga terbentuk kualitas sumber daya manusia unggul, produktif, dan memiliki integritas diri dan kepribadian yang baik.


Hal di atas akan menjadi modal penting untuk membangun peradaban luhur suatu bangsa. Indonesia sendiri memiliki  potensi besar dengan  jumlah  penduduk mayoritas usia produktif termasuk di dalamnya para pelajar.


Berdasarkan data Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil  (Dukcapil) Kementrian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Dari jumlah tersebut,  190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia masuk dalam kategori usia produktif ( 15-64 tahun), 84,53 juta jiwa (30,7%) penduduk usia non produktif. (Databoks, 30/09/2022).


Bila sumber daya manusianya tidak dipersiapkan secara maksimal, di kemudian hari akan menjadi boomerang dan beban negara. Sebagaimana baru-baru ini terjadi pada seorang  pelajar yang terluka parah usai terkena sabetan senjata tajam dalam aksi tawuran di wilayah Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. (tanggerangnews, 23/7/ Juli 2023)


Dirilis dari DetikJabar, (27/07/23), pelajar SMK di Sukabumi nongkrong sambil membawa senjata untuk tawuran. Tentu saja fakta-fakta tersebut membuat kita miris. Mau dibawa kemana generasi penerus bangsa ini?

Menyoal pelajar sering terlibat dan merencanakan tawuran, ada yang perlu dievaluasi oleh pemerintah sebagai institusi tertinggi yang memiliki kapasitas dalam merancang pendidikan warga negaranya. Secara fitrah, manusia dilahirkan dalam keadaan baik, dan cenderung pada kebaikan. Tidak tiba-tiba lahir rusak.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait mengapa remaja terlibat dan merencanakan  tawuran. Pertama, mewujudkan eksistensi diri. Para remaja menginginkan diakui, dihormati, dibanggakan dan disegani. Melalui jalan kekerasan (tawuran) mereka berpikir akan mendapatkan semua itu dari teman-teman atau komunitas remaja lainnya.  Sebab mereka tidak mendapatkan pengakuan, kasih sayang, perhatian, dari orang tua dan guru. Orang tua sibuk bekerja, guru sibuk dengan urusan administrasi atau hanya memperhatikan murid berprestasi saja. Walhasil mereka mencari perhatian dengan melakukan kekerasan.

Kedua, lemahnya pemahaman agama. Saat melakukan aksinya remaja begitu heroik, seolah memperjuangkan hak-hak mereka, menunjukkan superioritas, tidak ada rasa ketakutan akan akibat yang  ditanggung. Apalagi menyadari bahwa tindakan kejahatan itu merupakan  dosa. Pengajaran agama yang mereka dapat hanya indentitas diri tanpa aktualisasi dan implementasi. Kosong dari ruhani. Tidak ada standar dalam berbuat, apakah suatu itu boleh atau tidak dilakukan. Tidak ada kesadaran hubungan mereka dengan pencipta-Nya. Bahwa semua perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Ketiga, pengaruh media sosial tanpa batas. Media bisa diakses kapan dan di mana saja. Serta siapa pun bebas melihat konten apapun. Ini menjadi input buruk bagi remaja karena tidak terbatasnya ruang media sosial bagi mereka. Tayangan kekerasan, pornografi, pornoaksi, L967, asusila, menghiasi laman-laman media mereka.

Faktor terakhir, yang paling krusial adalah tidak hadirnya negara sebagai penjaga generasi dari serangan media. Ditambah rancangan pendidikan hanya difokuskan pada tercapainya nilai akademik semata. Untuk selanjutnya menjadi akses di dunia kerja dan menjadi mesin-mesin industri. Dengan seperti itu nampaknya negara dan orang tua sangat berbangga sehingga pendidikan dikatakan berhasil. Sebagaimana pandangan kapitalisme.

Berbeda dengan Islam yang memandang generasi terbaik harus disiapkan bahkan dari sebelum mereka lahir. Para perempuan diberikan pemahaman sebagai ummu wa rabbah al bayt (ibu dan manager rumah tangga). Memiliki keteladanan tinggi untuk putra-putrinya. Juga memiliki kasih sayang sebagaimana Rasulullah Saw telah bersabda “Nikahilah wanita penyayang dan subur karena aku berbangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).

Para ibu tidak dibebani finansial. Mereka fokus mendidik generasi unggul. Generasi yang memiliki kepribadian Islam dan terbentuk pola pikir serta pola sikap sesuai Islam. Adapun tugas seorang ayah sebagai mencari nafkah dan pemimpin di keluarganya.

Mengenai nafkah, negara membuka lebar setiap lapangan pekerjaan demi terpenuhinya keutuhan keluarga melalui peran seorang ayah. Begitupun peran media sosial, menjadi alat pendukung terbentuknya karakter Islami pada generasi. Dengan memuat konten-konten yang bermanfaat untuk urusan dunia dan akhirat.

Negara berlandaskan Islam akan hadir sebagai pelayan umat. Memberikan fasilitas pendidikan terbaik pada rakyatnya dengan biaya murah, bahkan gratis. Hal yang terpenting adalah merancang dan melaksanakan pendidikan dengan tujuan terbentuknya generasi tangguh serta memiliki kepribadian Islam. Dengan demikian, generasi akan tumbuh percaya diri melalui dukungan penuh, kasih sayang dan penghargaan dari orang tua, guru, serta negara.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post