Permasalahan minyak goreng ternyata belum usai. Setelah tahun lalu sempat mengalami lonjakan harga yang fantastis hingga kelangkaan. Kini, di saat harga minyak goreng sudah lebih stabil, masyarakat harus mulai siap menghadapi problem baru mengenai isu utang pengadaan minyak goreng pemerintah yang belum dibayar.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengancam akan mengurangi tagihan hingga penyetopan pembelian minyak goreng. Apabila ancaman ini menjadi kenyataan, maka minyak goreng di toko ritel langka.
Pemicunya adalah pemerintah tak kunjung membayar utang Rp 344 miliar dari hasil pengadaan minyak goreng lewat program satu harga pada 2022. Utang itu muncul karena ada selisih harga minyak goreng yang dijual toko-toko ritel. (Dilansir media online detik, 25/08/23)
Adapun 31 perusahaan ritel yang dimaksud Roy memiliki total 45.000 toko ritel. Di antaranya adalah Alfamart, Indomaret, Hypermart, hingga Superindo.
Untuk diketahui, utang rafaksi yang ditagih Aprindo merupakan penggantian selisih harga jual dengan harga keekonomian minyak goreng (rafaksi) yang pada saat itu harga minyak goreng mahal dan langka. (Dilansir online kabarbisnis, 19/08/23)
Tak kunjung usainya permasalahan minyak goreng menunjukkan adanya salah kelola negara dalam penyediaan minyak goreng yang termasuk salah satu kebutuhan pokok rakyat. Selain itu, problem ini juga menunjukkan berkuasanya para pengusaha dalam penyediaan kebutuhan pangan rakyat.
Lihat saja bagaimana ketersediaan minyak goreng termasuk penetapan harganya di pasaran pun sangat dipengaruhi oleh para pengusaha. Akibatnya, rakyat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng. Kalau pun ada, harus dibayar dengan harga yang tidak murah.
Upaya pemerintah dalam menetapkan harga minyak goreng pun ternyata bukanlah jalan penyelesaian. Namun justru menimbulkan permasalahan baru. Hal ini disebabkan solusi yang diambil tidaklah menyentuh akar persoalan.
Semestinya, Indonesia tidak akan menghadapi problem kelangkaan minyak goreng. Tidak pula mengalami harga minyak goreng yang mahal di pasaran. Sebab, produksi minyak kelapa mentah atau CPO di negeri ini sangat besar. Lantas, mengapa bisa terjadi kelangkaan atau harganya mahal?
Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima redaksi Katadata, Indonesia mengekspor minyak sawit seberat 25,01 juta ton sepanjang 2022. (Dilansir media online, katadata 25/01/23) Maka kita melihat bahwa ekspor menjadi prioritas utama dibandingkan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme demokrasi. Negara bukan bertindak sebagai pelayaan rakyat, melainkan pelayan korporasi atau perusahaan. Nasib rakyat bergantung pada kebijakan penguasa yang senantiasa mengutamakan kepentingan pengusaha.
Solusi untuk masalah minyak goreng, baik ketersediaannya di pasaran ataupun harganya yang terjangkau, hanya akan bisa diwujudkan dalam negara yang menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan.
Sebab Islam meniscayakan peran utama negara sebagai penanggung jawab atas seluruh urusan dan kebutuhan rakyat. Dalam membuat berbagai kebijakan, negara sama sekali tidak boleh bergantung pada pihak mana pun, baik korporasi maupun negara-negara asing.
Baik buruknya pengaturan negara atau penguasa dalam Islam, akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah SAW. berikut:
"Dari Ibn umar R.A dari Nabi SAW sesungguhnya bersabda : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpion atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya." (HR. Muslim)
Untuk mengatasi problem minyak goreng, maka Islam memiliki beberapa kebijakan utama yang harus diambil oleh negara, yaitu:
Pertama, negara mengatur kembali masalah kepemilikan harta sesuai dengan aturan Islam. Negara akan melarang individu atau swasta memiliki harta kepemilikan umum seperti hutan. Jenis harta ini harus dikelola oleh negara yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Sedangkan dalam sistem hari ini, hutan bisa dengan bebas dijadikan sebagai perkebunan milik pribadi atau korporasi. Parahnya lagi, hutan-hutan tersebut dibuka dengan cara-cara yang merusak dan menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat secara umum.
Kedua, negara menjamin ketersediaan pasokan barang di dalam negeri. Ketersediaan ini diupayakan dari hasil produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan pengusaha lokal.
Selama kebutuhan di dalam negeri belum terpenuhi, maka negara tidak akan melakukan ekspor ke luar negeri. Bahkan jika kebutuhan masih kurang, maka negara akan melakukan impor dari luar negeri.
Ketiga, negara harus melakukan pengawasan terhadap rantai tata niaga. Sehingga tercipta harga kebutuhan atau barang-barang secara wajar. Selain itu, pasar pun akan terjaga dari tindakan-tindakan curang seperti penimbunan, penipuan, dan sebagainya. (mmc. 2023. "Para Ritel Ancam Stop Penjualan Migor, Negara Tak Berdaya di Hadapan Korporasi" 30/08/23)
Pengawasan tersebut akan dilakukan oleh negara dengan struktur tertentu di dalam negara yakni qadhi hisbah. Pasar yang sehat akan menghindarkan penguasaan oleh para ritel.
Dengan ketiga mekanisme di atas, maka kebutuhan rakyat terhadap minyak goreng akan terpenuhi. Rakyat pun tidak harus membayar dengan harga yang mahal. Sebab hubungan negara dengan rakyat bukanlah seperti penjual dengan pembeli yang mengharapkan keuntungan.
Post a Comment