Liberalisasi dibalik Undang-Undang Kesehatan


Oleh: Teti Kusmiyati



Pada tanggal 11 Juli 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui RUU Kesehatan 2023 menjadi undang-undang, yang menuai pro dan kontra di kalangan tenaga kesehatan (nakes). Sebagian orang berpendapat bahwa pengesahan RUU Kesehatan terlalu terburu-buru, mengingat bahwa RUU tersebut baru dibahas pada tahun sebelumnya oleh DPR RI. Selain itu, produk hukum yang akan disahkan mengubah banyak undang-undang yang sudah ada, termasuk mencabut 9 UU dan mengubah 4 UU terkait kesehatan.


Menurut Kementerian Kesehatan, terdapat sejumlah aspek yang diperbaiki dalam Undang-undang Kesehatan. Salah satunya, mendorong industri kesehatan untuk mandiri di dalam negeri, tampak jelas ada pergeseran dari kesehatan sebagai layanan (health-care) menjadi kesehatan sebagai industri (health-industry). Hal ini juga berdasarkan klausul menimbang di butir (d) RUU Kesehatan. Di poin itu dikatakan, pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global.


Dengan gencarnya industrialisasi kesehatan, bakal menjadi pintu lebar liberalisasi kesehatan. Karena industri itu selalu digerakkan dalam kerangka cost and benefit-profit (untung-rugi). Bila kesehatan dibiarkan terus tumbuh menjadi industri dengan meninggalkan prinsip layanan, maka orang sakit akan menjadi objek eksploitasi guna meraup untung.


Liberalisasi kesehatan membuat beban finansial rakyat untuk mendapat layanan kesehatan akan terus meningkat. Ada kecenderungan kuat, dokter menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan rumah sakit dan perusahaan farmasi, serta perusahaan alat kesehatan (alkes) dalam meraih pendapatan dengan mengeksploitasi pasien. Dokter juga dapat tambahan penghasilan dari produsen farmasi saat memberikan resep dan tindakan  kepada pasien. Dokter yang sudah liberal, pada saat melakukan tindakan dan memberi resep kepada pasien bukan didorong oleh layanan, melainkan dorongan keuntungan. Ditambah lagi dengan hilangnya alokasi anggaran kesehatan sebesar minimal 5 persen dari total APBN.


Selain itu, Indonesia adalah anggota WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Jadi Indonesia termasuk negara yang terikat dengan Perjanjian Umum tentang Perdagangan Jasa atau General Agreement on Trade in Services (GATS). Perjanjian tersebut berlaku pada Januari 1995. Dan dibuat dengan tujuan untuk memperluastingkatan liberalisasi pada sektor jasa. Semua anggota WTO juga merupakan  anggota GATS.


Liberalisasi diawali dengan lahirnya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara---dalam memberikan jaminan sosial---menjadi kewajiban rakyat. Dengan UU ini hak sosial rakyat justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat diharuskan menanggung bebannya sendiri dan beban sesama rakyat. Jaminan sosial diubah menjadi asuransi sosial.


Islam Memandang Layanan Kesehatan.

Islam memandang layanan kesehatan oleh negara  bagi rakyat adalah sebuah kewajiban. Negara berkewajiban menjamin layanan kesehatan kepada seluruh rakyat, tanpa ada diskriminasi. Siapapun berhak mendapatkan layanan kesehatan secara gratis.


Khilafah melayani dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam mengatur urusan rakyat. Negara tidak mengeksploitasi atau menempatkan rakyat sebagai "pasar" untuk barang dan jasa kesehatan.


Negara harus menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan maksimal kesehatan. Negara juga membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya.


Ada empat sifat yang dimiliki oleh jaminan kesehatan dalam Islam. Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis. 


Ini semua sudah dilaksanakan oleh pemerintahan Islam beberapa abad yang lalu. Pada masa keemasan Islam, Bani ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis. Khalifah Bani Umayyah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tuna netra. Khalifah Bani Abbasyiah banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus, dan memopulerkan rumah sakit keliling.


Negara melalui departemen terkait menyosialisasikan hidup sehat dan menciptakan lingkungan bersih dan asri serta membudayakan gaya hidup sehat. Dengan cara membuat aturan-aturan yang menjamin kehalalan dan higienitas makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat, serta bersihnya lingkungan dari polusi. Sebagai upaya preventif Islam (mencegah timbulnya penyakit).


Wajib mencontoh Nabi Muhammad SAW, saat melayani kesehatan rakyat.

Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara, menyediakan dokter gratis. Ketika Nabi SAW mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum untuk masyarakat.


Dalam suatu riwayat, serombongan orang dari Kabilah 'Urainah masuk Islam. Mereka sakit di Madinah. Rasulullah SAW meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh.


Kebijakan Nabi SAW ini pun dipraktikkan pada masa Khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Dia juga menyediakan dokter gratis. Jadi begitulah seharusnya negara memberikan layanan kesehatan kepada rakyatnya. Bukan dikormesialkan.

Post a Comment

Previous Post Next Post