Oleh: Erlita Nur Safitri
Alumnus Universitas Pancasila
Lagi, kembali terjadi
kasus pembakaran Al-Qur’an di Swedia. Dua
pelaku yang merupakan warga Swedia keturunan Arab Salwan Momika dan Salwan
Najem menginjak dan membakar Al-Qur’an di luar Gedung
parlemen di Stockholm pada Senin, 31 Juli 2023. Aksi ini diketahui bukan yang
pertama, mereka juga pernah melakukan hal sama di luar masjid utama Stockholm
pada bulan Juni, yang memicu kemarahan di seluruh Timur Tengah.
Momika
merobek beberapa halaman salinan Al-Qur’an
dan membakarnya dengan tujuan mengkritik Islam, dan mengenalkan diri sebagai
ateis sekuler di media sosial. Dia juga memuji politisi sayap kanan Swedia, Rasmus
Paludan, yang sebelumnya juga melakukan aksi pembakaran kitab suci umat Islam
tersebut. Menurut Momika, Islam adalah ancaman terhadap nilai-nilai Swedia (.cnbcindonesia/news).
Polisi Swedia sebelumnya
pernah menolak sejumlah pengajuan izin demonstrasi anti-Islam. Hanya saja,
pengadilan kemudian menganulir kebijakan itu karena dianggap melanggar hak
kebebasan bicara. Dengan dalih kebebasan berekspresi dan berbicara yang
merupakan jaminan dari sistem demokrasi, aksi pembakaran Al-Qur’an tersebut pun
mendapat izin kepolisian dan pemerintah setempat.
Menurut Perdana Menteri
Swedia Ulf Kristersson, kebebasan berekspresi
adalah hal mendasar dalam demokrasi. Namun, yang sesuai hukum belum tentu patut. Sebelumnya pada kasus
penghinaan Rasulullah SAW pada 2020, pemerintah Prancis juga melakukan
pembelaan terhadap Majalah Charlie Hebdo yang mengatakan bahwa “Di
Prancis ada kebebasan menghujat yang melekat pada kebebasan hati nurani. Saya
di sini untuk melindungi semua kebebasan ini. Di Prancis, orang bisa mengkritik
presiden, gubernur, penistaan.”
Namun, kebebasan dalam demokrasi yang
dipropagandakan Barat berbanding terbalik dan tidak berlaku untuk umat Muslim. Di Prancis misalnya, berlaku larangan cadar
bagi Muslimah di tempat-tempat umum. Kaum Muslim pun sulit mendapat izin untuk membangun
masjid. Swedia sampai hari ini juga melindungi kaum Yahudi dan ajarannya dari
kritik dan serangan. Oleh karena itu, ajaran demokrasi memang bertolak belakang
dengan Islam.
Aksi
pembakaran Al-Qur’an di Swedia adalah salah satu dari sekian aksi penghinaan
terhadap Islam yang terjadi di dunia. Hal ini menunjukkan tanda makin
meningkatnya kebencian pada ajaran Islam di dunia. Islamophobia sudah menyebar
dan mandarah daging di Eropa dan di belahan negara-negara Barat lainnya. Islamophobia bukan hanya terjadi di
negeri minoritas Muslim. Di
negeri mayoritas Muslim ini pun
tidak lepas dari Islamophobia. Banyak bukti yang bisa dihadirkan bahwa rezim
saat ini sedang dihinggapi penyakit Islamophobia.
Kampanye radikalisme, intoleransi, dan terorisme
terus digaungkan berbagai pihak di negeri ini, bahkan sering kali ditujukan
pada Islam dan kaum Muslim. Tempat
ibadah yang sering dihubungkan dengan terorisme adalah masjid. Klaim adanya
ancaman penceramah radikal sehingga perlu upaya penyaringan melalui sertifikasi
ternyata dialamatkan pada para ustadz dan dai yang menyampaikan Islam.
Islamophobia bukanlah
hal yang baru, ini sudah ada semenjak Islam hadir sebagaimana dalam firman
Allah SWT, “Demikianlah, tidak
seorang Rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan
mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’ Apakah
mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah
kaum yang melampaui batas” (QS az-Zariyat: 52-53).
Dengan mencermati berbagai kasus
penistaan agama ini semakin memperjelas bahwa
ideologi kapitalisme sekularisme yang diemban saat ini sudah di ujung
tanduk. Tanda-tanda kehancurannya pun makin terlihat. Tindakan membakar
Al-Qur’an dengan tujuan menghinakannya adalah dosa besar. Jika pelakunya Muslim, ia telah kafir.
Qadhi Iyadh menyatakan, “Ketahuilah siapa yang merendahkan Al-Qur’an atau
terhadap mushaf, sesuatu yang ada dalam Al-Qur’an, atau mencela keduanya, maka
ia telah kafir berdasarkan ijmak kaum muslim.” (Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq
al-Musthafâ, 2/110).
Satu-satunya cara untuk
menghentikan Islamophoia yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kafah.
Ketika negara menerapkan syariat Islam, kemuliaannya akan tampak. Umat pun akan
mendapatkan keadilan dan merasakan kesejahteraan. Tuduhan buruk terhadap
Islam dengan sendirinya akan terbantahkan. Jika ada yang masih nekat
menyebarkan tuduhan buruk terhadap Islam, maka akan ada sanksi tegas yang
menjadi balasannya. Islam memiliki panduan yang jelas dalam memberantas para
penista agama.
Demikianlah Islam
menetapkan sejumlah tindakan tegas yang sesuai dengan hukum syara. Setiap ucapan dan
perbuatan muslim wajib terikat pada hukum syariat karena berlaku hisab Allah SWT atasnya. Tidak ada
prinsip kebebasan, termasuk menistakan agama, baik terhadap agama Islam maupun
selain Islam. Oleh
karena itu, penting bagi kita untuk belajar Islam. Tidak cukup sekadar belajar
tentang ibadah ritual sebab Islam adalah jalan hidup sehingga kita perlu
belajar Islam secara keseluruhan. Sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam dan
memperjuangkan diterapkannya kembali sistem Islam secara kafah.[]
Post a Comment