Wacana mobil Esemka masih berpolemik, kini Pemerintah kembali mengeluarkan keputusan yaitu skema kuota untuk impor mobil listrik. Seperti dilansir dalam laman Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah akhirnya mengeluarkan keputusan yaitu skema kuota untuk impor mobil listrik Completely Build Up (CBU) berbasis baterai dengan fasilitas insentif. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut nantinya hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).
"Ya mobil listrik saya kira udah bagus tanya Pak Rachmat lah saya kira udah semua sepakat, keuangan apalah sudah dan sudah diputuskan presiden, jadi sekarang kita nunggu perpresnya aja keluar. Udah kita berikan semua detilnya saya gak keinget pokoknya semua ini karena ada air quality issue juga kita ingin mempercepat semua ini jadi itu semua berkait semua sekarang saya lihat," ungkap Luhut di Kantor Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Sebelumnya, ada program Pemerintah konversi kompor gas ke kompor listrik muncul sejak PLN menyatakan tengah mengalami oversupply produksi listrik yang membebani keuangan perusahaan. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan bahwa rencana konversi kompor gas LPG ke kompor listrik adalah untuk menyiasati kelebihan pasokan listrik PLN. “Menyalurkan oversupply, kan kalau oversupply harus bayar take or pay, ini kan beban,” katanya (CNN Indonesia, 23/09/2022).
Kapitalisme, Akar Masalah
Pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) tengah menjadi perhatian pemerintah karena dinilai berkaitan erat dengan paradigma baru pembangunan ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Presiden Jokowi telah memerintahkan kepada seluruh Kementerian, Lembaga, dan Pemda untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. Hal ini tertuang dalam Inpres 7/2022 tentang percepatan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai di instansi pemerintah pusat maupun daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah kembali memberikan insentif untuk impor mobil listrik. Kebijakan ini menunjukkan betapa Perhatian pemerintah terhadap orang kaya secara pribadi maupun pengusaha, lebih besar dibandingkan kepada rakyat kecil. Di sisi lain mengabaikan persoalan trasnsportasi yang kompleks, mulai dari kepadatan/ kemacetan, kebutuhan kendaraan jarak jauh dan polusi udara. Apalagi mobil listrik lebih banyak memberikan limbah B3 yang berbahaya bagi rakyat.
Pada akhirnya, persoalan mengenai impor mobil listrik ini menuai polemik, ditengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil pasca pandemi Covid-19, juga kondisi ekonomi global yang sedang lesu karena inflasi, maka urgensi kebijakan impor mobil listrik menjadi dipertanyakan. Padahal, selama ini pemerintah sering mengeluhkan APBN minus. Namun, pemerintah justru meluncurkan kebijakan mobil listrik dengan dana yang besar. Sungguh sebuah ironi.
Kenyataannya, mobil listrik yang dibuat pabrik di Indonesia masih menggunakan baterai impor. Apalagi dengan adanya insentif bea masuk nol persen untuk mobil listrik, impor akan makin mudah. Walhasil, penggunaan mobil listrik secara masif hanya akan menguntungkan korporasi asing, sedangkan Indonesia tetap menjadi pasar bagi produk mereka. Sehingga strategi ini dilakukan oleh Pemerintah untuk menstimulus investasi kendaraan listrik dalam negeri.
Jika ditelaah lebih mendalam, konversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke listrik selalu dikaitkan dengan program energi bersih. Tujuannya baik, yaitu mengurangi emisi karbon dengan mengurangi bahan bakar fosil, yaitu minyak. Namun, ternyata di hulu pembangkit listrik masih didominasi batubara dan BBM. Ini menunjukkan kebijakan setengah hati dalam mewujudkan energi yang ramah. Jika memang serius mau mewujudkan energi ramah lingkungan, pembangkit listrik selain batubara dan BBM harus ditingkatkan secara serius. Seperti tenaga bayu, panas bumi, nuklir, dan lain-lain. Namun, untuk meningkatkannya butuh kebijakan yang komprehensif, agar tidak menimbulkan masalah yang lain. Tidak bisa dengan model pembuatan kebijakan yang terburu-buru dan minim visi seperti yang dilakukan pemerintah selama ini. Begitu pula terkait efisiensi. Dengan meningkatnya penggunaan listrik, pemerintah tengah mengurangi beban di hilir. Namun, beban tersebut kemudian berpindah ke hulu dalam bentuk kenaikan pembelian batubara dan BBM impor di hulu pembangkit.
Dengan demikian, lahirlah kebijakan yang meningkatkan konsumsi, investasi, dan ekspor. Cara pandang kapitalisme inilah yang akhirnya Negara menjadi lemah karena bisa didikte para investor. Sungguh miris!
Pengelolaan Syariat
Sesungguhnya, bangsa ini membutuhkan kebijakan riil yang menunjukkan tanggung jawab penuh negara dalam mengembangkan pasokan listrik di negeri ini. Maka, hanya Islam yang memiliki mekanisme yang komprehensif dalam pengelolaan listrik ini.
Pada dasarnya, Islam menjamin pemenuhan kebutuhan akan transportasi yang murah dan aman. Islam memiliki politik ekonomi yang menjamin kebutuhan rakyat banyak dengan mudah dan murah serta aman dan nyaman.
Karena itu, dalam Islam pengelolaan listrik disandarkan dengan syariat, yakni negara harus menjadikan negara sebagai negara mandiri, kuat, dan terdepan serta tidak mudah diintervensi oleh siapapun. Dengan menyaksikan potensi sumberdaya alam berupa nikel dan mineral lain yang melimpah dinegeri ini, harusnya mampu melahirkan kebijakan industri kendaraan listrik mandiri, kuat dan menjadi terdepan.
Negara wajib mengembalikan hak milik rakyat berupa tambang yang melimpah kepada rakyat dari tangan para investor. Seharusnya Negaralah yang akan mengelola sumberdaya alam tersebut untuk kebutuhan rakyat. Tentu saja, pemimpin yang seperti itu hanya bisa lahir dari sistem Islam.
Selain itu, Negara Islam harus menjadi negara industri maju, terdepan dan mempunyai kebijakan perindustrian yang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Karenanya, harus dilakukan revolusi industri di mana kebijakan di bidang perindustrian yang selama ini bertumpu pada industri konsumtif diubah menjadi industri strategis. Sekaligus menjadikan industri strategis ini sebagai basis perindustrian. Untuk mewujudkannya hanya ada satu cara, yaitu membangun industri peralatan atau membangun industri yang memproduksi alat-alat yang biasanya dikenal dengan industri alat berat.
Maka, semua potensi ekonomi harus diarahkan ke industri berat untuk membangun industri peralatan dengan tetap melanjutkan industri yang sudah ada. Karena seluruh industri, baik yang dimiliki oleh negara maupun individu harus tunduk kepada politik industri negara, yaitu industri pertahanan dan keamanan. Apabila basis industri ini sudah terwujud, maka itulah modal untuk menjadikan negara sebagai pemain utama industri, termasuk mobil listrik. Wallahu a’lam.
Post a Comment