Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
Isu negara gagal sistemik ramai diperbincangan setelah Indonesia masuk dalam kategori tersebut. Sebelumnya dulu pernah ada pada (18/6/2012), Survey The Fund for Feace yang menempatkan Indonesia di ranking 63, dari 178 negara di dunia dalam indeks negara gagal. Benarkah Indonesia negara gagal? Apa indikatornya dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kesejahteraan rakyat?
Kini, Isu Indonesia negara gagal sistemik kembali menggelitik publik. Awalnya Managing Directur Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Melalui akunTwitter pribadinya (@AnthonyBudiawan), Anthony mengutip pidato Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres yang berjudul: "A World of Debt". Guterres menyebutkan bahwa membayar bunga pinjaman lebih besar dari anggaran kesehatan atau pendidikan, masuk kategori negara gagal sistemik.
Atas dasar indikator tersebut, Anthony menyebut bahwa Indonesia masuk negara gagal sistemik. Pasalnya, APBN 2022: Biaya kesehatan Rp176,7 triliun; Bunga pinjaman Rp386,3 triliun. Artinya, negara membayar bunga utang lebih besar dari anggaran kesehatan atau pendidikan. Oleh sebab itu, benar adanya jika Indonesia masuk kategori negara gagal sistemik versi PBB.
Tentu saja pemerintah membantah tudingan tersebut. Dalam hal ini Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa justru Indonesia masuk ke dalam kategori (upper middle income country), artinya negara berpendapatan menengah keatas dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yakni 5 persen dan stabil. Jadi, penilaian Indonesia adalah negara gagal sistemik tidak berdasar. (CNN Indonesia, 25/7/2023)
Ingin Bukti Apalagi?
Jika penilaian berdasarkan kacamata sekuler yang menafikan agama, tentu mencari pembenaran. Bahkan riba dipandang sah-sah saja dan dianggap hal biasa. Sesungguhnya mencari pembenaran yang tidak benar, sama artinya dengan pembodohan publik. Sebab, pernyataan Sekjen PBB sangat jelas. Lihat saja, bukankah anggaran kesehatannya lebih rendah dari bunga?
Faktanya, utang negara terus membengkak hingga 31 Mei 2023 tembus Rp7.787,51 triliun, berbasis ribawi lagi. Wajar, jika bunga utang lebih besar dari anggaran kesehatan atau pendidikan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena tabiat rezim bergantung pada utang, gali lubang tutup lubang. Apalagi menilai ratio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baik-baik saja. Rasio per akhir Mei 2023, masih 37,85 persen dari PDB, artinya berada dibatas aman jauh di bawah 60 persen PDB yang ditetapkan. Hal inilah yang mendorong rezim terus berutang karena merasa aman dan tidak ber-risiko. Padahal, sejatinya Ini merupakan jebakan penjajahan ala kapitalis agar negara berkembang gemar berutang. Akibatnya negara tidak berdaulat.
Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan banyaknya PHK membuktikan utang tidak signifikan bisa meningkatkan PDB atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara langsung dan merata. Yang ada justru sebaliknya, utang negara membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Adapun dampaknya sudah sangat jelas, berimbas langsung pada rakyat. Sebab, untuk membayar utang negara dibebankan pada rakyat melalui pungutan pajak yang tinggi.
Selain itu, berbagai subsidi dikurangi bahkan ada yang dicabut. Mirisnya, rakyat harus membayar biaya kesehatan melalui BPJS dengan iuran wajib yang mahal. Hal ini membuktikan rezim melanggar konstitusi. Bukankah kesehatan rakyat merupakan tanggung jawab negara yang harus direalisasikan? Bukannya malah berlepas tangan diserahkan pada swasta (asuransi). Ironisnya, melalui UU Kesehatan yang baru, rezim justru menghapus (mandatory spanding kesehatan), yaitu biaya kesehatan yang wajib disediakan oleh pemerintah yang seharusnya dialokasikan 15 persen untuk anggaran kesehatan. Anehnya, justru ditiadakan dengan berbagai alasan antara lain untuk membayar bunga utang.
Lagi dan lagi rakyat yang ditumbalkan. Sungguh rezim melanggar konstitusi dan menzalimi rakyatnya. Semua itu menunjukkan bahwa pemerintah menganut sistem kapitalis. Mengelola negara ala perusahaan, yang mana orientasinya hanya mencari untung untuk dirinya dan kelompoknya. Siapa lagi yang diuntungkan kalau bukan oligarki dan para pemilik modal. Selama negara ini mengadopsi kapitalisme jangan berharap dapat menyejahterakan rakyatnya. Yang terjadi justru Indonesia mendapat predikat sebagai negara gagal akibat jebakan utang dan rakyat menderita karena harus menanggung beban berat.
Oleh sebab itu, cara untuk bisa lepas dari jeratan utang harus melepaskan diri dari kapitalisme global. Dengan mencampakkan demokrasi yang sejatinya merupakan pintu masuk penjajahan. Kembali kepada aturan Allah yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadis.
Islam Memandirikan Negara
Dengan Islam, negara bisa mandiri. Sebab, Islam tidak hanya sekadar agama yang mengatur ibadah ritual saja seperti akidah, salat, zakat, puasa, haji (hablum minallah). Akan tetapi, Islam juga mengatur semua aspek kehidupan. Termasuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablum minannafs, meliputi makanan, minuman, pakaian, dan akhlak). Juga mengatur hablum minannas, yakni aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, meliputi muamalah dan ukubat. Untuk menerapkan semua itu, harus ada institusi yaitu Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya seorang imam (khalifah) itu laksana perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah 'Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia akan mendapatkan dosa/azab karenanya.
Pada hakikatnya seorang penguasa (khalifah) mengurus urusan umat dengan syariat Islam secara kafah. Untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Karena itu khalifah seorang yang faqih dien, tentu amanah, jujur, dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Apalagi syariat Islam telah menggariskan bahwa khalifah berkewajiban untuk memenuhi dan mengatur urusan umat. Agar kebutuhan asasi rakyatnya terpenuhi wajib berlandaskan aturan Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian khalifah akan bersikap tegas melarang semua bentuk transaksi atau muamalah apa pun yang dilarang oleh syariat Islam, termasuk riba. Sebab, riba tidak hanya merupakan dosa besar yang banyak mudaratnya, tetapi juga dapat mendatangkan azab yang pedih baik di dunia maupun di akhirat.
Sementara itu, dengan aturan syariat Islam, sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan berbagai sumber pendapatan lainnya, insyaallah akan dapat menghidupi dan mencukupi kebutuhan rakyat dan negara. Walhasil, negara akan mandiri sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya berupa pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan keamanan tanpa harus berutang, apalagi menjadi negara gagal. Melainkan akan mengantarkan menjadi negara adidaya yang disegani oleh musuh-musuhnya.
Allah Swt. berfirman dalam QS. Al- Anbiyaa: 107,
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment