Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.
Anggota
Komunitas Muslimah Menulis Depok
Kehidupan
penjara seyogyanya sebagai tempat memperbaiki akhlak yang buruk dan tersadarkan
sehingga menjadi akhlak baik merupakan khayalan atau fatamorgana. Mengapa
demikian? Karena lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang seharusnya sebagai ruang
rehabilitasi diri justru menjadi ruang memperburuk akhlak penghuninya.
Salah
satunya yang diungkap Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komisaris
Jenderal Polisi Petrus Reinhard Golose saat menutup rangkaian kegiatan
'Shooting Against Drugs' di Lapangan Tembak Polda Bali Tohpati, Denpasar, Bali,
Sabtu (24/6/2023) menyebutkan banyak narapidana narkotika berusaha
mengendalikan peredaran obat terlarang dari dalam lembaga Lapas.
Pengendalian
peredaran narkoba dari Lapas, mengapa bisa terjadi? Bagaimana sikap aparat ataupun
wakil pemerintahan yang ditugaskan, tutup matakah mereka? Jika dilihat,
pengendalian peredaran narkoba
oleh narapidana di Lapas menunjukkan adanya persoalan lemahnya pengelolaan tidak berfungsinya Lapas
sebagaimana mestinya, termasuk dalam pembinaan terhadap narapidana dan lemahnya
integritas petugas Lapas.
Memang,
untuk menanggulangi berbagai kamuflase yang dilakukan para bandar narkotika di
Lapas di Indonesia, maka BNN RI terus memperkuat kolaborasi dan koordinasi
dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membawahi fungsi lembaga
pemasyarakatan. Namun hal ini tidak berjalan efektif karena kemungkinan besar
ada keterlibatan para petugas lembaga pemasyarakatan yang mencoba membantu para
bandar untuk melakukan aksinya. Dan hal ini sudah menjadi rahasia umum.
Bagaimana
jadinya nasibnya masyarakat, khususnya generasi jika hukum di negeri ini tak
berfungsi bahkan Lapas bisa menjadi sarang narkoba. Itu semua menunjukkan lemahnya sistem sanksi di negeri ini, baik untuk pembuat atau
yang memproduksi, pengedar
ataupun pemakai. Sistem sanksi saat ini hanya memberikan hukuman
penjara yang tidak memberikan efek jera bahkan memberikan wadah perkumpulan
bertemu dengan pakar-pakar
pengguna narkotika. Sehingga hukuman yang
diberikan tidak efektif, bahkan membuka peluang
kemaksiatan terus berlangsung, dan menimbulkan masalah baru.
Itulah
yang terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis. Sistem
demokrasi kapitalis telah
memberikan celah untuk disalahgunakan. Pasalnya dalam pembuatan kebijakan yang
berwenang adalah segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat, dan memungkinkan
untuk dibuatnya aturan sesuai dengan kepentingan dari orang yang membuat. Sementara dalam Islam, negara memiliki sistem sanksi
yang tegas dan menjerakan karena bersumber
pada aturan Allah dan Rasul-Nya.
Maka,
selama aturan yang diterapkan masih sistem demokrasi kapitalis, tak ada efek
jera bagi pelaku kejahatan walaupun sudah berulang kali keluar masuk Lapas
bahkan akan semakin merajalela.[]
Post a Comment