Hijrah, Momen Penerapan Islam Kafah

 



Oleh Ummu Fatiha 

(Pegiat literasi) 


Tahun baru Islam 1445 H yang bertepatan dengan tanggal 28 Juli 2023 dijadikan sebagai momen untuk mengingatkan umat Islam terkait peristiwa hijrah Rasulullah saw. bersama para sahabat. Tidak mau ketinggalan, sebagian umat Islam mengadakan kegiatan Hijrah Festival (Hijrah Fest) yang pada tahun ini diselenggarakan di Bale Rame Soreang, Kabupaten Bandung dan dibuka langsung oleh Bupati Dadang Supriatna yang biasa disapa Kang DS.


Dalam kesempatan tersebut Kang DS berharap bahwa Hijrah Fest dijadikan momentum ‘hijrah’ Kabupaten Bandung untuk menjadi lebih baik. Selain Hijrah Fest memiliki nilai yang selaras dengan visi-misi Kabupaten Bandung, yakni mewujudkan masyarakat Kabupaten Bandung yang BEDAS (bangkit, edukatif, dinamis, agamis, dan sejahtera), juga merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik.(dikutip dari ketik,co 28/07/2023) 


Apa yang diharapkan Kang DS tentu menjadi harapan seluruh masyarakat Kabupaten Bandung khususnya dan juga masyarakat Indonesia secara umum. Akan tetapi menciptakan masyarakat yang lebih baik tidak cukup dengan perubahan individu dan masyarakat saja melainkan butuh peran negara dan support sistem.


Jika dilihat dari kehidupan individu, pada saat ini banyak yang sudah melakukan hijrah atau perubahan, tapi dari segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tentu kita belum melakukan hijrah, baik dari segi ekonomi, sosial, politik, budaya dan yang lainnya, kita masih menggunakan sistem dan aturan-aturan dari Barat. Sehingga menimbulkan berbagai persoalan dan permasalahan yang tak kunjung usai. Umat Islam telah lama dalam kondisi terpecah belah, satu kelompok berbenturan dengan kelompok yang lain. Pada sisi pemikiran pun, serangan terjadi dalam bentuk ide-ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme yang tentu bermaksud menjauhkan umat Islam dari pemikiran yang murni. 


Seharusnya momentum Muharram ini tidak hanya sebatas seremonial semata. Namun, semestinya menjadikan setiap individu Muslim terlebih negeri ini untuk benar-benar memaknai esensi dari semua kegiatan peringatan momen hijrah adalah kembali pada jatindiri umat Islam yang bersatu dalam naungan penerapan syariah secara menyeluruh (kafah). Sehingga mampu mewujudkan negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.


Hijrah adalah momen peradaban Islam. Rasulullah saw. tidak memiliki kekuatan untuk menerapkan syariah di Makkah, tapi berubah setelah peristiwa Hijrah. Rasulullah dan umat Islam memiliki otoritas untuk menerapkan aturan, melakukan penyebaran dakwah dan ekspansi jihad. Izzuddin bin Abdis Salam dalam Syajarât al-Ma’ârif wa al-Ahwâl wa Shâlih al-Aqwâl wa al-A’mâl, menjelaskan bahwa hijrah itu memiliki dua makna: Pertama, hijrah meninggalkan negeri. Kedua,  hijrah meninggalkan dosa dan pelanggaran terhadap syariah.


Adapun pengertian hijrah  menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 2, hijrah adalah keluar dari Darul Kufur menuju Darul Islam seperti hijrah Rasulullah saw. dari Makkah (Darul Kufur) menuju Madinah al-Munawwarah (Darul Islam) pada tahun 622 M. 


Hijrah, keluar dari darul kufur menuju darul Islam, wajib hukumnya bagi mereka yang tertindas dan tak lagi bisa menampakkan syiar-syiar Islam (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 97-99).


Makna Hijrah sebagai upaya meninggalkan dosa dan maksiat wajib dilakukan. Hal ini karena, setiap maksiat wajib dijauhi dan ditinggalkan. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: “Seorang Muslim adalah orang yang menjadikan kaum Muslim selamat dari ucapan dan tangannya. Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala sesuatu yang telah Allah larang.” (HR Bukhari Muslim)


Hijrah sebagai momen terbentuknya masyarakat Muslim memberikan pelajaran kepada kita bahwa Rasulullah saw. tidak hanya bertujuan mencetak individu yang salih akan tetapi Nabi saw. mengajarkan bagaimana suatu masyarakat terbentuk. Islam mengintegrasikan tiga pilar penting dalam pembentukan masyarakat, yakni aspek ruhiyah, muhasabah dan ‘uqubah (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 111; QS at-Taubah [9]: 71; QS al-Hajj [22]: 41).


Aspek yang pertama yaitu ruhiyah masyarakat Islam merupakan satu-satunya masyarakat yang memiliki aspek ruhiyah yakni kesadaran akan hubungan setiap individu dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Aspek ini akan mendorong setiap Muslim untuk melaksanakan konsekuensi dari keimanan mereka. Sebab, setiap individu meyakini adanya pertanggungjawaban di sisi Allah sesuai terhadap semua amal perbuatan mereka. Sistem Islam diberlakukan karena keyakinan dan kepuasan serta keridaan hati yang mendalam. Aspek ini dapat menyelesaikan sebagian besar problem yang terjadi pada masyarakat lain yang tidak memiliki aspek ini.


Aspek kedua, yakni muhasabah atau pengawasan oleh masyarakat, aspek ini berwujud amar makruf dan nahyu ‘anil mungkar. Muhasabah akan mengeliminasi unsur-unsur perusak dari tengah-tengah masyarakat. Jika aspek ruhiyah  tidak hadir, atau kurang mampu mengendalikan individu tertentu untuk berpegang teguh terhadap pemikiran dan sistem, maka aspek kedua ini akan ‘memaksa’ individu untuk tetap istikamah. Hal ini akan menekan akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh sebagian individu sehingga tidak meluas dan atau merembet pada yang lain.


Adapun aspek ketiga, yakni ‘uqubah (sanksi) merupakan penyempurna bagi aspek pertama dan kedua. Aspek ini memiliki dua fungsi yaitu: pertama sebagai jawazir (pencegah). Jika para pelaku kemaksiatan, kerusakan dan kejahatan diberi sanksi yang tegas, hal itu akan memberikan efek jera bagi pelaku juga bagi yang lain. Ini merupakan aspek yang efektif untuk menghentikan berbagai kerusakan dan kejahatan yang tidak dapat dikendalikan oleh aspek pertama dan kedua. 


Kedua, sebagai jawabir, artinya bagi seorang muslim yang melakukan dosa, lalu ditindak dengan sanksi, maka sanksi ini akan menjadi penebus kesalahannya kelak di akhirat. Di sini ada dua kebaikan, kebaikan di dunia dengan semakin berkurangnya kejahatan dan kerusakan, dan kebaikan di akhirat dengan dihapuskannya siksa di neraka.


Hanya saja, aspek 'uqubah (sanksi) ini memiliki karakter yang berbeda dari aspek ruhiyah dan muhasabah. Aspek ruhiyah ditegakkan oleh individu. Aspek muhasabah wajib ditegakkan oleh individu, jamaah dan  oleh Negara. Adapun aspek 'uqubah hanya boleh ditegakkan oleh negara. Oleh sebab itu, negara bagi sebuah masyarakat Islam merupakan perkara vital untuk menjaga keberlangsungan eksistensinya.


Dengan demikian, wujud nyata hijrah adalah perubahan sistem kehidupan yang berdampak pada masyarakat dan individu. Rasulullah saw. dan sistem pemerintahan yang diterapkannya telah menjadi bukti riil. Berbagai upaya untuk membangkitkan umat Islam tidak akan berhasil bila mengabaikan penerapan syariat Islam secara kafah. Maka sudah menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslimin untuk mengembalikan Islam sebagai pengatur dunia. 


Wallahu a’lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post