Hari Anak Nasional, Hanya Seremonial?

 

Oleh Irohima


Hari anak yang jatuh pada setiap tanggal 23 Juli seolah menjadi sekadar seremoni tanpa arti dan hanya menjadi sekedar pemanis atas fakta yang pahit yang terpaksa ditelan oleh anak-anak negeri. Faktanya mereka masih terjebak dalam masalah stunting, masih banyak yang sulit mengakses pendidikan, masih terancam dengan kekerasan, pelecehan hingga human traficking  dan fakta lainnya yang menjadi mimpi buruk dan terus mendatangi hari-hari mereka. Miris, namun itulah yang terjadi, kondisi anak-anak  ternyata tak semanis senyum para petinggi negeri.


Tiap tahun, peringatan Hari Anak Nasional selalu diperingati dengan meriah, tak lupa diwarnai dengan berbagai apresiasi pemerintah seperti penghargaan provinsi, kabupaten dan Kota Layak Anak yang diberikan atas komitmen dan keseriusan para gubernur, bupati, wali kota dan jajarannya dalam upaya mewujudkan lingkungan atau wilayah yang layak dan aman bagi anak serta komitmen mereka dalam upaya memenuhi hak - hak anak. Seperti tahun ini, dalam acara “ Penganugerahan Kabupaten / Kota layak Anak 2023 “ di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kementerian PPPA memberikan penghargaan tersebut kepada 360 kabupaten/kota yang terdiri dari 19 Kategori Utama, 76 Kategori Nindya, 130 Kategori Madya, dan 135 Kategori Pratama. Sementara itu Penghargaan Provinsi Layak Anak 2023 diberikan kepada 14 Provinsi diantaranya Bali, Banten, Jakarta, Yogyakarta, Jateng, Jatim, Kalsel, Babel, Riau, Lampung, NTB, Sulut, dan Sumbar (Antara, 23/7/2023 ).


Di tengah kemeriahan perayaan Hari Anak Nasional, segudang permasalahan masih saja membelit anak-anak negeri ini, seperti persoalan stunting yang akhir-akhir ini begitu populer dan menjadi kasus  yang mengancam dan kerap mengalami peningkatan. Stunting atau Tengkes adalah masalah  gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang yang mengakibatkan terganggunya pertumbuhan anak. Stunting memiliki efek jangka pendek berupa perkembangan kognitif, motorik, verbal tidak optimal, hingga daya tahan tubuh menurun. Sedangkan untuk efek yang berjangka panjang, stunting bisa mengakibatkan risiko penurunan prestasi akademik, peningkatan risiko obesitas, kerentanan terhadap penyakit tidak menular hingga risiko penyakit degeneratif.


Stunting merupakan ancaman serius karena stunting menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia dan akan berdampak pada pengembangan potensi suatu bangsa.


Stunting tak hanya menjadi persoalan nasional namun telah menjadi permasalahan global. Laporan dari World Health Organization menyebutkan sebanyak 49,2 juta anak usia di bawah lima tahun memiliki gangguan pada pertumbuhan tinggi badan (pendek) untuk usianya (stunting), 45,4 juta terlalu kurus untuk tinggi badannya (wasting), dan 38,9 juta terlalu berat untuk tinggi badannya ( overweight ). Sementara di Indonesia sendiri meski mengalami penurunan menjadi 21,6 % dari prevalensi balita stunting 24,4 %, tetap saja kasus ini menjadi ancaman yang serius bagi anak negeri.


Selain karena minimnya pengetahuan, sesungguhnya stunting lebih disebabkan oleh kemiskinan, kebutuhan gizi sang anak yang tinggi dan cenderung mahal tidak seimbang dengan pendapatan masyarakat yang dominan rendah. Bagaimana bisa mencukupi gizi sang anak jika untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka sulit mendapatkannya. Harga kebutuhan pokok yang semakin hari semakin melambung membuat masyarakat tak bisa berbuat banyak dan terpaksa hdup dalam keterbatasan. Keadaan ini pun diperparah dengan langkanya peluang pekerjaan.


Stunting bukan satu-satunya persoalan yang menimpa anak-anak, masalah lain seperti kekerasan, traficking, layanan kesehatan, hingga pendidikan masih menjadi pekerjaan besar. Hingga hari ini berbagai predikat Kota Layak Anak yang disematkan tiap tahunnya terlihat bertolak belakang dengan fakta sebenarnya.


Bahkan Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyebutkan di tahun 2022 saja ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan di dalam negeri. Kekerasan tak hanya berbentuk kekerasan fisik, tapi juga kekerasan psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang hingga eksploitasi. Belum lagi dengan masalah pendidikan. Berapa juta anak yang terpaksa putus sekolah dan tak bisa mengenyam pendidikan karena tingginya biaya dan sulitnya akses serta kurangnya sarana. Sungguh anak-anak masih jauh dari kondisi aman dan tercukupi.


Stunting, sulitnya mewujudkan pemerataan pendidikan, dan berbagai kasus kekerasan yang menimpa anak-anak kita merupakan buah dari diterapkannya  sistem demokrasi kapitalis saat ini. Demokrasi kapitalis meniscayakan kurangnya peran negara dalam periayahan rakyatnya. Sistem demokrasi kapitalisme memberi ruang lebar bagi para pengusaha dan pemilik modal besar dalam mengintervensi setiap kebijakan ekonomi hingga tak mengherankan jika harga berbagai kebutuhan pokok  kerap tidak stabil dan sering mengalami kenaikan, karena dalam sistem kapitalisme, meraih keuntungan sebesar-besarnya adalah prioritas utama dibanding mempertimbangkan kepentingan rakyat.


Sistem kapitalisme adalah sebuah sistem yang akan memandang setiap aspek sebagai komoditi. Tak hanya ekonomi, sosial dan kesehatan, tapi  dunia pendidikan juga tak luput dari komersialisasi. Dari sini bisa kita lihat, perayaan Hari Anak Nasional hanya sebuah seremonial belaka, euforia sesaat karena mendapatkan predikat yang hanya berdasarkan data yang kurang  akurat. Sungguh kita telah menempatkan anak-anak kita dalam bahaya yang mengancam jika kita tetap bertahan dengan sistem demokrasi kapitalis. Sistem ini terbukti tidak mampu mewujudkan rasa aman, rumah yang layak dan tercukupinya kebutuhan anak-anak.


Berbeda dengan Islam, anak-anak adalah amanah yang harus dijaga, dipelihara  dan dipenuhi kebutuhannya. Islam menjamin dan melindungi anak, karena anak adalah calon generasi penerus peradaban di masa yang akan datang. Islam akan memberikan perlindungan secara menyeluruh yang meliputi perlindungan fisik, psikis, moral, intelektual, ekonomi , sosial dan lain sebagainya. Hak-hak seperti mendapat layanan kesehatan yang baik, pendidikan, kebutuhan akan sandang pangan, serta keamanan akan diberikan. Islam juga akan menciptakan lingkungan yang sehat dan kondusif bagi anak-anak.


Dalam Islam pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab dan wajib menjaga dan memenuhi semua kebutuhan anak terdapat tiga pihak yaitu yang pertama orang tua yang berperan memberikan pendidikan, pengasuhan, gizi yang cukup, dan membekali mereka dengan keimanan yang kokoh, kedua adalah masyarakat yang bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang kondusif, mengontrol perilaku anak dari kejahatan dan perbuatan yang melanggar syara. Yang terakhir adalah negara.


Dalam Islam, negara memiliki peran penting dan besar dalam membentuk generasi yang berkepribadian Islam, cerdas, unggul dan berakhlak mulia. Negara akan menjamin kebutuhan sandang pangan, papan, kesehatan, keamanan juga pendidikan yang mudah diakses dan murah hingga semua anak-anak dapat mengenyam pendidikan hingga jenjang tertinggi.

Wallahu a'lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post