Gagalnya Pengelolaan LPG Di Sistem Kapitalisme


Oleh : Ummu Silvi

Aktivis muslimah ngaji


Baru-baru ini terlihat di media bahwa terjadi kelangkaan LPG 3 Kg, sehingga PT Pertamina (Persero) menjamin bahwa ketersediaan LPG subsidi 3 kilogram (kg) dalam kondisi aman, meskipun saat ini terjadi peningkatan konsumsi di berbagai daerah. Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati mengatakan, demi menjaga stok LPG, perusahaan akan melakukan pemantauan penyaluran LPG dan turut bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memastikan ketersediaan pasokan serta penyaluran LPG 3 kg bersubsidi tepat sasaran. 


“Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan operasi pasar. Kita bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi di mana lokasi-lokasi yang harus kita buka operasi pasar. Upaya itu agar pengelolaan stok LPG efektif langsung ke masyarakat,” ungkap Nicke dalam keterangannya, Selasa (25/7/2023).


Jokowi menyebut kelangkaan ini karena permintaan elpiji yang melonjak di lapangan. “LPG itu, terutama yang bersubsidi, ini memang diperebutkan di lapangan. Dan itu hanya untuk yang kurang mampu. Itu yang harus digarisbawahi,” ucap Jokowi, pada akhir Juli 2023 lalu. Diperebutkan di lapangan? Dalam pernyataan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, pengikatan konsumsi LPG pada bulan Juli 2023 hanya sebesar 2%. Nicke pun menjadikan alasan libur panjang pada bulan Juli sebagai penyebab kelangkaan elpiji. Pihak lain bahkan menyebut hari besar Idul Adha juga Galungan di Bali menjadi penyebab langkanya elpiji. Tentu alasan ini tak masuk akal.


Upaya pemerintah dalam  menanggulangi kelangkaan dan agar penyaluran tepat sasaran,  memberikan syarat pembelian  LPG 3kg melon dengan membawa  KTP dan KK yang disesuaikan dengan data Pen Sasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE),  Masyarakat bisa melakukan pendaftaran di sub penyalur resmi LPG 3 kg oleh PT Pertamina (Persero). Ironinya, di saat masyarakat kesulitan mendapatkan gas LPG 3 kg bersubsidi, pemerintah justru semakin tega menambah kesulitan rakyat dengan meluncurkan produk LPG 3 kg pink non subsidi bermerek Bright dengan harga yang lebih mahal yaitu Rp.56.000, yang masih terbatas di Jakarta dan Surabaya. Meski harganya lebih mahal, menurut Corporate Secretary Pertamina, Patra Niaga Irto Ginting tidak ada perbedaan kualitas gas yang terdapat di LPG 3Kg tabung hijau dengan yang ada di Bright Gas 3Kg. Mirisnya, perbedaan ada pada tingkat keamanan yang dilengkapi Double Spindle Valve System (DSVS) pada LPG 3kg pink. Bagaimana bisa negara mempertaruhkan keselamatan rakyatnya?


Kebijakan itu sebenarnya memberi peluang besar meningkatnya tindak kecurangan  pengoplosan LPG 3kg bersubsidi oleh pihak tertentu, mengingat selisih harga jualnya sangat besar dengan kualitas yang sama. Kelangkaan ini adalah tanda gagalnya pemerintah memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang sejatinya adalah kewajiban utama bagi negara, termasuk memenuhi  ketersediaan LPG bagi rakyatnya juga  menjadi tanggung jawab negara.  Penyebab kelangkaan LPG ini tak lain adalah sistem ekonomi kapitalis, yaitu pemerintah  hanya sebagai regulator dalam mengatur kebijakan memenuhi hajat rakyatnya.  Pengaturan pada distribusi LPG bersubsidi  dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya diserahkan kepada pihak swasta atau korporasi. 


Negara yang menganut sistem kapitalisme, menyebabkan semua hajat hidup rakyat bisa dikuasai, dikelola oleh  individu, korporasi bahkan diserahkan ke pihak asing. Di tengah kekayaan sumberdaya alam yang melimpah termasuk minyak bumi dan gas, faktanya rakyat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok salah satunya LPG bersubsidi, pemerintah hanya menjadi fasilitator dengan menfasilitasi para investor. Sehingga hasil minyak dan gas dari dalam negeri, jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, dan negara harus mengimpor bahan bakar dari luar. Begitulah jika negara menganut sistem kapitalisme. 


Kehidupan rakyat saat ini begitu terhimpit. Sudahlah biaya kebutuhan harian yang kian melonjak. Telur naik, tarif listrik naik, bensin naik, kini ditambah elpiji langka. Kalaupun ada, harus mengantri lama, dengan harga yang berbeda. Rakyat apatis hanya bisa 'sabar menerima' sambil mengelus dada. Tetapi, rakyat haruslah cerdas memahami keadaan yang terjadi di negeri ini. Ada apa? Mengapa penguasa yang semestinya menyediakan kebutuhan pokok rakyatnya malah merasa keberatan dengan subsidi? Apakah bagi penguasa kapitalis, rakyat miskin hanyalah dianggap beban? 


Tentu! Dalam persepsi kapitalis subsidi membebani negara adalah pandangan khas baginya. Padahal yang benar-benar membebani APBN bukanlah menyediakan subsidi bagi rakyat melainkan pembayaran utang negara beserta bunganya. Di sistem ini, penguasa hanya berfungsi sebagai regulator. Rakyat dipaksa mandiri dalam memenuhi berbagai kebutuhan pokoknya. 


Penguasa dan rakyat bagaikan penjual dan pembeli. Negara tak mau rugi. Berbeda dengan penguasa di sistem Islam yang terbukti mampu menyejahterakan rakyatnya. Penguasa di sistem Islam tak pernah menganggap subsidi untuk rakyat sebagai beban bagi negara. Akan tetapi, hal ini dianggap sebagai amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.


Dalam negara Islam ketersediaan kebutuhan pokok seperti energi akan terjamin. Kebutuhan untuk memasak, penerangan, transportasi dan lain sebagainya akan diatur oleh negara. Daulah Islam akan mengelola SDA yang ada guna menyediakan kebutuhan pokok bagi rakyat dengan harga yang murah bahkan gratis. 


Kesungguhan para penguasa Islam dalam meriayah rakyatnya membuat kita yang hidup di tengah cengkeraman kapitalisme begitu merindukan kehadiran sosok pemimpin Islam. Semoga Allah segera menurunkan pertolongan-Nya dengan hadirnya kembali pemimpin bagi umat Islam di bawah naungan Daulah Khilafah. 


"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Sehingga SDA (rumput, air, dan api) adalah harta milik umum. Haram diprivatisasi, apalagi membiarkan asing mengelolanya. Negara wajib mengelola sendiri dan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Baik diserahkan berupa barang olahan ataupun berupa fasilitas lainnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post