Bacaleg Eks Napi Koruptor, Layakkah ?


Oleh : Risnawati

 (Pegiat Literasi)


Lagi-lagi pembicaraan soal kasus korupsi kembali mencuat ke permukaan. Kali ini soal polemik pencalonan mantan napi korupsi sebagai anggota legislatif jelang Pemilu 2024. Sungguh miris!


Seperti dilansir dalam laman online, Kompas - Mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Pemilu 2024.


Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan.


"Surat pernyataan bermeterai bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana," demikian bunyi Pasal 240 Ayat (2) huruf c UU Pemilu.


Kemudian, eks koruptor yang hendak menjadi peserta Pemilu 2024 bakal diwajibkan mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana melalui media massa. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu pun mengakui belum akan membuat larangan eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai legislator pada pemilu mendatang.


Demokrasi, Akar Masalah


Fenomena maraknya kasus korupsi seakan telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang politik sistem demokrasi hari ini. Korupsi telah menjadi penyakit dalam sistem demokrasi  yang sudah mengakar dari strukturnya. Saat tersangka sudah ditangkap, dihukum dan dipenjara tidak pula menimbulkan efek jera, bahkan yang terjadi justru praktik korupsi tersebut malah semakin menggurita, terlebih lagi eks napi koruptor boleh jadi caleg. Sebuah ironi.


Sebelumnya, ada beberapa mantan napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Dulu sempat ada larangan dari KPU,  namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan  alasan HAM. Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi. Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefk jera, hukum bisa dibeli dan lain-lain. 


Inilah hasil dari sekulerisme demokrasi dalam kepemimpinan. Disaat manusia bebas menentukan bentuk kehidupannya dan mengabaikan aturan Allah SWT, disanalah lahir rasa tidak takut akan dosa. Sehingga manusia tidak pernah mengaitkan setiap perbuatannya. Sehingga, segala cara menjadi halal untuk dilakukan asalkan kepentingan bisa terpenuhi. Astaghfirullah.


Sebab itulah, pemberantasan korupsi seharusnya dimulai dari dasar. Kepemimpinan yang disandarkan pada ketaqwaan pada Allah SWT akan mampu menciptakan suasana kondusif. Jadi, fenomena korupsi yang terus menggurita, hanya bisa diberantas tuntas dengan sistem Islam. Dalam Islam, syarat yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat, yaitu sifat adil terhadap siapa saja, senantiasa memelihara wibawa dan nama baik. 


Islam, Solusi Menuntaskan


Berbeda halnya dengan Islam. Kepemimpinan dalam Islam didasarkan atas ketaatan pada Allah SWT. Syariat Islam sebagai bagian dari ajaran Islam mengatur bagaimana menyelesaikan kasus korupsi secara jitu. Ada namanya sistem sanksi hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).


Jika kita menelaah lebih dalam, maka akan kita dapati bahwa Islam dengan konsep penerapan hukumnya mampu menyelesaikan berbagai kejahatan kriminal termasuk juga tindakan korupsi. 


Disisi lain, Islam dalam penerapan sistem pemerintahannya akan menegakkan tiga pilar penjagaan. Pilar pertama adalah ketakwaan individu. Dengan ketakwaan ini, akan membentuk rasa takut kepada Allah SWT bagi setiap individu. Sehingga mereka akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas. Karena itu, mereka yakin bahwa setiap perbuatan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.


Pilar kedua adalah kontrol masyarakat. Para individu yang bertakwa akan membentuk masyarakat yang bertakwa juga. Di dalam masyarakat akan terbiasa saling menasehati. Jika masyarakat menemukan ada yang melakukan kejahatan, maka mereka langsung mengingatkan pelaku. Hal ini tentu saja akan meminimalisir kejahatan yang terjadi.


Pilar ketiga adalah negara. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur penerapan kebijakan. Dalam penerapan hukum pidana, hukum Islam  bersifat zawajir (pencegah) yang berarti hukuman tersebut dapat mencegah manusia melakukan kejahatan itu, dan bersifat jawabir (penebus) yang berarti hukuman tersebut sebagai penebus dosa bagi pelaku sehingga di akhirat akan terbebas dari hukuman atas kejahatan itu.


Walhasil, dari sini kita dapat melihat bahwa betapa sempurna dan lengkapnya aturan dalam Islam. Terbukti, penerapan syariah Islam mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi hingga tuntas ke akarnya. Bukankah hal ini yang kita harapkan ?  Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post