Oleh : Abiba Nurjanah, S.T. (Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Lingkungan)
Ketika sebuah dolak melintasi sederet rumah, aroma itu kembali terhirup. Khas dan tak asing. Yaitu aroma makanan basih yang tercampur dengan aneka kemasan produk sekali pakai. Tak sekedar penciuman, indera penglihatan juga kerap menjadi terusik saat melihat tumpukan bahkan timbunan sampah yang begitu julang di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Ditambah dengan pemandangan malam, seekor kucing atau bahkan tikus berusaha mengoyak kantong keresek yang ternyata berisi sisa konsumsi seperti tulang, potongan daging dan ikan. Betapa menggoda bagi hewan ini.
Sisa konsumsi atau yang dikenal sebagai sampah organik seperti makanan yang tak dihabiskan, makanan basih, potongan sayur yang tak turut dimasak, tulang dan sejenisnya dengan mudah dijauhkan dari rumah dengan memasukkaannya dalam kantong plastik tertutup rapat. Lalu dibuang bertumpuk dengan sisa anorganik lain. Pola tersebut tak hanya terjadi dalam rumah tangga, bahkan dalam skala warung, hotel, restoran dan pariwisata.
Sisa
konsumsi yang diberlakukan demikian, akan mengalami penguraian tanpa oksigen
yaitu penguraian an-aerob. Dari penguraian inilah muncul cairan dan gas metana,
salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan ekstrim
pada iklim hingga merusak ekosistem. Apabila gas metana ini dibiarkan
terperangkap, maka akan ada potensi ledakan. Seperti yang terjadi pada kasus
meledaknya TPA Leuwigajah 2005 silam[1].
Ledakannya mengakibatkan timbunan sampah longsor dan menimbun para pemulung
sekaligus puluhan pemukiman di sekitarnya. Lebih dari 100 jiwa manusia menjadi
korban dalam peristiwa itu.
Setelah
tragedi tersebut, sampah sisa konsumsi justru mengalami peningkatan. Pada tahun
2017 sampah sisa konsumsi sebesar 42.2% dari 65.8 juta ton, yaitu 27.78 juta
ton [2].
Sedangkan pada 2019 mencapai 57% dari 67.8 juta ton, yaitu 38.64 juta ton[3].
Selain
sampah sisa konsumsi, prosentase terbesar kedua adalah sampah plastik.
Berdasarkan data timbulan sampah 2017 Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), pada
tahun 2017 sampah plastik mencapai 10.34 juta ton. Angka yang fantastis.
Kemunculan
plastik dimulai dari penemuan formula parkensin oleh Alexander Parkes pada
1862. Formula parkensin ini berasal dari selulosa kayu. Kemudian pada 1907,
ditemukan formula bakelit oleh Leo Beekeland. Bakelit merupakan plastik
sintetis. Disebut sintetis karena tidak berasal dari senyawa tumbuhan atau
hewan, melainkan berasal dari bahan bakar fosil. Material baru ini tidak
terbakar, tidak melelh dan tidak mencair dalam larutan asam cuka. Sekali bahan
ini terbentuk, tidak akan bisa berubah. Penemuan ini selanjuitnya terus
dikembangkan oleh Beekeland sehingga pada 1941 ditemukan polyethilene terephthalate (PET). Penggunaan plastik mulai masif
produksi dan penggunaannya pada tahun 1977 sebagai ganti kemasan kertas yang
dianggap kurang tahan lama dan mahal. Diperkirakan pada 1980 plastik masuk ke
tanah air.
Plastik
adalah salah satu pencemar laut[4]
yang mengakibatkan turunnya kualitas mutu, baik pada air laut maupun pada
biotanya. Plastik sintetis membutuhkan waktu 100-500 tahun untuk terurai secara
sempurna. Adapun plastik yang diklaim ramah lingkungan, ternyata hanya bisa
menjadi potongan-potongan kecil dan tidak bisa terurai secara sempurna.
Sehingga apabila konsumsi terhadap plastik terus berlangsung, dikhawatirkan
lingkungan akan mengalami kerusakan yang besar.
Hidup tanpa plastik,
memang bisa?
Jawabannya
adalah bisa. Produksi plastik secara masal dimulai pada 1970-an. Artinya
penggunaan plastik berlangsung sekitar 50 tahun. Sedangkan peradaban manusia
sudah dimulai jauh sebelum itu. Sehingga dapat dipastikan bahwa manusia bisa
bertahan hidup tanpa kemasan sekali pakai.
Yuk, coba kita tengok bagaimana kakek-nenek atau bahkan ibu kita ber-ekonomi saat kemasan sekali pakai belum sepopuler hari ini.
a. Menggunakan sistem tukar wadah. Terjadi pada produk kecap, minyak, susu, dan cairan lainnya.
b. Membawa barang belanjaan dengan tas anyaman (dikenal dengan anting), keranjang bambu, bahkan lembaran kain yang kemudian diikat.
c. Membeli makanan matang dengan rantang stainless, panci, mangkok keramik, dan wadah lainnya.
d. Membungkus makanan dengan bungkus yang alami dan mudah terurai seperti daun pisang, daun jati, daun jambu air.
e. Menggunakan sistem memesan terlebih dahulu untuk makanan ringan.
Dan
mungkin terdapat sistem lainnya yang menunjukkan bahwa sebelum ditemukan
plastik, manusia akan menjalani gaya hidup yang tidak membutuhkan plastik dan
kemasan sekali pakai lainnya.
"Ah,
hanya 1 kresek saja kok," begitu pikir seseorang. Apa yang salah dari 1
kresek saja? Masalahnya adalah, penduduk Indonesia lainnya yang berjumlah 270
juta, juga berpikir yang sama. Hampir semua transaksi menggunakan kantong
kresek. Dari mulai belanja sayur di pasar, jajan di luar, belanja online,
hingga mengirimkan barang dan lainnya. Bahkan banyak penjual yang beranggapan
bahwa tidak sopan jika kita berbelanja tanpa diwadahi kantong kresek. Di
samping kantong kresek dianggap benda yang tidak bernilai, sehingga mudah saja
memakai lalu membuangnya.
Jaman
dahulu, manusia masih dekat dengan alam. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan
hidup, mereka cukup mendatangi ladang atau berternak. Mengambil atau
bertransaksi secukupnya, sesuai kebutuhan. Lalu bagaimana jika ada sisa atau
makanan yang basih? Sisa konsumsi dimasukkan juglangan di pekarangan belakang rumah sehingga terjadi proses penguraian
secara sempurna. Pola ini hendak menunjukkan kepada kita bagaimana Allah SWT
menciptakan suatu sistem di alam, bahwa hewan dan tumbuhan pasti mati dan
terurai kembali menjadi tanah. Sungguh menakjubkan.
Pola Hidup Itu Kini
Berubah
Pengalaman
yang tidak didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran, akan mudah tergantikan.
Seperti pada juglangan, yang merupakan pengalaman alami manusia dalam
menguraikan sisa konsumsi. Pengetahuan akan hal ini belum disadari oleh
masyarakat. Sehingga ketika plastik dikenal, pola itu mengalami perubahan.
Menempatkan sisa konsumsi dalam kantong plastik dan menumpuknya di TPA menjadi
pilihan karena kepraktisan.
Keterbatasan
lahan juga menjadi sebab minimnya solusi alami (seperti juglangan). Jangankan untuk membuat juglangan, sekedar untuk tempat
tinggal saja sudah pas-pasan. Ini karena
harga tanah semakin mahal. Perkembangan wilayah yang tidak tertib –atau memang
tidak ditertibkan- juga memperparah keadaan. TPA liar bermunculan. Masyarakat
seperti hidup menyatu dengan sampah, hal yang sebenarnya ironis.
Jumlah
sampah sisa konsumsi yang mencapai 38.64 juta ton pada 2019 menunjukkan bahwa
masyarakat tengah menghadapi arus budaya konsumtif. Anggota Badan Pengawas Yayasan WWF Indonesia, Natalia
Soebagjo mengatakan, masih banyak orang yang membeli sesuatu bukan karena
kebutuhan, tapi keinginan [5].
Kondisi
ekonomi juga dapat menjadi kambing hitam. Tidak banyak sektor pekerjaan formal
tersedia. Hari ini lalu berkembang bisnis rumahan, sebuah peluang cuan yang
bisa dikerjakan tanpa modal yang besar. Namun bisnis ini sering tidak dibarengi
dengan pengelolaan yang ramah lingkungan dan lemah dalam regulasi. Sampah usaha
ini sering dibuang tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah.
Pengelolaan
sampah yang berwawasan lingkungan juga masih langka. Sebagian besar TPA menggunakan
metode open dumping dan landfill. Hanya sebagian kecil yang
melakukan pemilahan dan pengomposan. Metode open
dumping merupakan metode yang sederhana, sampah ditumpuk begitu saja di TPA
tanpa perlakuan lebih lanjut. Sedangkan metode landfill yaitu sampah padatkan dan diratakan dalam sebuah lubang
besar menggunakan alat berat lalu dilapisi dengan tanah. Kedua metode ini tidak
ramah lingkungan karena dapat mencemari
air tanah dan udara.
Apa yang harus dilakukan?
Kita
perlu menyadari bahwa sampah dari kegiatan manusia, apapun jenisnya, adalah
‘benda asing’ bagi bumi. Planet ini sebenarnya hanya mengenal siklus materi
yang alami, yang dihasilkan secara organik oleh makhluk-makhluk tidak berakal.
Namun dengan kedatangan manusia, bumi menjadi terbebani. Ada dampak-dampak
kegiatan manusia yang dapat mengganggu kehidupan manusia itu sendiri.
Hari
ini, sudah tampak beberapa gejala menurunnya tingkat ‘kebisahunian’ bumi.
Ledakan sampah di perkotaan membuat semua tidak nyaman. Bumi juga semakin panas
akibat perubahan iklim (climate change).
Muka air laut semakin tinggi, yang berarti bencana bagi kota pesisir. Kejadian
alam, seperti banjir, kebakaran hutan, kekeringan, dan topan menjadi semakin
ekstrim. Ada semacam ‘hitung mundur’ menuju kiamat akibat perbuatan manusia sendiri.
Islam
mendorong agar setiap manusia mengelola bumi dengan baik sebagaimana peran
manusia sebagai khalifah fil ‘ardh. Kerusakan pada bumi tentunya membawa bahaya
bagi kelangsungan hidup setiap makhluk yang ada di dalamnya. Perbuatan yang
dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain sepatutnya dihindari.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah:
“Tidak boleh melakukan
sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain”.
Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat :
a. Melakukan pola hidup minim sampah, seperti konsumsi (makanan dan barang) sesuai kebutuhan, menggunakan sistem transaksi seperti yang disebutkan dalam poin “Hidup Tanpa Plastik, Memang Bisa?”.
b. Memilah sampah berdasarkan jenisnya : organik, kaleng, kertas dan sebagainya.
c. Melakukan pengomposan secara mandiri.
Menangani permasalahan sampah tentunya tak dapat dibebankan pada masyarakat saja. Misalnya pada wilayah yang padat penduduk, membutuhkan pengelolaan sampah secara komunal. Terlebih pada industri dari skala kecil-menengah seperti UMKM hingga skala raksasa (oligarki), sangat membutuhkan peran serius dari pemerintah. Adapun upaya yang perlu dikakukan oleh pemerintah:
a. Melindungi masyarakat dari serangan budaya konsumtif.
b. Membatasi penggunaan kemasan sekali pakai dari hulu ke hilir.
c. Memudahkan pemenuhan kebutuhan dasar hidup masyarakat.
d. Melakukan edukasi hidup pola minim sampah, pemilahan dan pengelolaannya.
e. Mendorong ilmuwan untuk melakukan riset pada pengelolaan sampah secara komunal dan berwawasan lingkungan. Kemudian menerapkannya.
Peran
masyarakat dan pemerintah tak dapat dipisahkan. Keduanya harus bersinergi dan
memiliki orientasi yang sama dalam memandang sebuah persoalan. Kolaborasi
tersebut tentu tidak bisa di atas kerangka keuntungan materi semata, namun
harus berorientasi syariah. Manusia dikirim untuk menjadi pengelola bumi. Utusan
tersebut harus berwawasan kekhalifahan, sesuai amanat di dalam Surat Al-Baqarah
ayat 30.
Wallahu
álam bishawab.
[1] https://mapaybandung.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-1471473642/kisah-kelam-bandung-lautan-sampah-tragedi-meledaknya-tpa-leuwigajah
[2] lindungihutan.com/selamatkan
14 juta pohon/2017
[3] https://nasional.okezone.com/read/2021/02/25/337/2368472/indonesia-ternyata-hasilkan-67-8-juta-ton-sampah-setiap-tahun
[4] http://lipi.go.id/publikasi/pencemaran-plastik-di-laut/1028
[5] https://lifestyle.kompas.com/read/2021/07/18/210000320/gaya-hidup-konsumtif-hambat-pelestarian-lingkungan-?page=all
Post a Comment