RUU Kesehatan Disahkan, Rakyat Menjadi Korban


Oleh Rosmita
Pemerhati Kebijakan Publik

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada tanggal 11 Juli 2023 dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani. Rapat tersebut dihadiri oleh 105 orang anggota DPR dari seluruh fraksi, sedangkan 197 orang anggota izin. Meskipun pengesahan RUU Kesehatan mendapat penolakan dari dua fraksi yakni Partai Demokrat dan PKS, namun mayoritas fraksi lainnya menyetujui. 

Selain dua fraksi di atas, penolakan juga muncul dari lima organisasi kesehatan, bahkan sejumlah tenaga kesehatan (nakes) mulai dari dokter, perawat hingga bidan melakukan aksi demontrasi menolak RUU Kesehatan pada tanggal 8/5/2023 yang lalu. Adapun alasan penolakan tersebut adalah RUU Kesehatan menimbulkan ketidak pastian hukum organisasi profesi kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan dan apoteker. 

RUU Kesehatan juga menghapus anggaran dana kesehatan oleh negara (mandatory spending). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, "Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang untuk anggaran kesehatan. Besarnya pengeluaran di bidang kesehatan tidak akan berpengaruh pada derajat kesehatan seseorang." 

RUU Kesehatan juga memudahkan nakes asing berdatangan sehingga biaya kesehatan akan jauh lebih mahal. RUU Kesehatan juga membolehkan aborsi 14 minggu yang berpotensi meningkatkan angka kematian. Selain itu, penyusunan RUU yang tidak transparan dan terkesan terburu-buru untuk disahkan menjadi pertanyaan, ada apa di balik pengesahan RUU Kesehatan ini? (CNNIndonesia, 8/5/2023)

Dampak Pengesahan RUU Kesehatan

Meskipun mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak, namun RUU Kesehatan tetap disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan undang-undang Kesehatan ini menyebabkan kapitalisasi dan liberalisasi di bidang kesehatan semakin kuat. 

Dengan penghapusan anggaran dana kesehatan dari APBN, negara berlepas diri dari kewajibannya memberikan jaminan kesehatan untuk rakyat. Rakyat dipaksa menanggung sendiri biaya kesehatannya. Rumah sakit  yang dikelola pemerintah akan mengalami kebangkrutan karena tidak ada lagi bantuan dari negara. Kalah saing dengan rumah sakit milik swasta. 

Belum lagi ditambah munculnya tenaga kesehatan asing dan mudahnya perizinan bagi mereka, membuat nakes lokal akan semakin tersingkirkan. Biaya kesehatan semakin mahal dan rakyat menjadi korban.

Penyebab Kapitalisasi Kesehatan

Indonesia dengan jumlah penduduk  278,69 juta jiwa menjadi pangsa pasar yang besar bagi industri kesehatan. Melihat peluang ini tentu tidak akan disia-siakan oleh para pemilik modal, karena ini adalah kesempatan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga mereka menekan pemerintah dan DPR untuk menetapkan kebijakan yang akan memuluskan jalan mereka mencapai tujuan. 

Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem kapitalisme, sehingga dalam membuat kebijakan tidak memikirkan kemaslahatan rakyat, hanya berpatokan kepada untung dan rugi. Sistem politik berbiaya tinggi menyebabkan para pejabat terpilih harus tunduk kepada para pemilik modal yang telah mendukungnya meraih kursi kekuasaan. Maka tidak heran bila undang-undang yang menzalimi rakyat akan tetap disahkan asal menguntungkan para penguasa dan pengusaha.

Alhasil, tidak ada kemaslahatan untuk rakyat. Rakyat hanya akan menjadi korban dari keserakahan para oligarki yang menguasai negeri ini. Berkali-kali ganti pemimpin pun tidak akan ada perubahan selama sistem yang diterapkan negara ini masih sama yaitu kapitalisme. Sistem buatan manusia yang hanya akan menguntungkan para penguasa dan tuannya.

Jaminan Kesehatan untuk Rakyat

Kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia. Setiap orang wajib menjaga kesehatan diri. Namun negara juga tidak boleh abai karena kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Maka negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis dengan kualitas terbaik. 

Sedangkan pemimpin adalah orang yang akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya oleh Allah. Maka pemimpin dalam sistem Islam tidak akan membuat kebijakan yang menzalimi rakyat, seperti menyerahkan pengurusan pelayanan kesehatan terhadap pihak swasta. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Sejarah telah membuktikan bagaimana pemimpin dalam Islam memberikan pelayanan kesehatan terhadap rakyatnya. Mulai dari Rasulullah saw., Umar bin Khattab ra. hingga khalifah-khalifah penerusnya. Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya "Al-Qishshah At-Thibbiyah fiil Hadharah Al-Islamiyyah" menuliskan rumah sakit pertama kali didirikan pada masa kepemimpinan Walid bin Abdul Malik (86-96 H). Ada dua macam rumah sakit: rumah sakit permanen yang dibangun di tengah-tengah kota dengan fasilitas yang luar biasa dan rumah sakit berpindah-pindah menggunakan kendaraan yang diperuntukkan ke wilayah pelosok agar pelayanan kesehatan dapat merata dirasakan seluruh rakyat. 

Bahkan tidak hanya rumah sakit, negara juga mendirikan universitas kedokteran lengkap dengan perpustakaan yang berisi berbagai referensi medis. Semua ini disediakan negara secara gratis. Begitu fenomenalnya pelayanan rumah sakit dan perkembangannya pada masa kejayaan Islam. Bahkan Eropa saja baru membangun rumah sakit pertama kali sembilan abad kemudian. 

Adapun sumber dana yang digunakan untuk membiayai semua itu berasal dari negara yang salah satu sumbernya adalah hasil pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat pun turut memberikan sumbangsih melalui dana wakaf. 

Seharusnya hal ini menjadi pemantik kesadaran Umat Islam untuk bangkit. Sebab hanya dengan sistem Islam, peradaban Islam mengalami kemajuan pesat. Rakyat pun bisa merasakan hidup sejahtera dan mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik dari negara. []

Post a Comment

Previous Post Next Post