Oleh : Ummu Farras
Kepercayaan hanya bisa didapat dari janji yang selalu ditepati. Begitulah kata bijak yang sering kita jumpai. Jika seseorang berjanji namun sering kali diingkari, tentu kepercayaan terhadapnya akan menurun. Ini pula yang tengah dihadapi para wakil rakyat di parlemen. Burhanudin Muhtadi, peneliti utama Indikator Politik Indonesia menuturkan bahwa kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih rendah. Begitu pula yang terjadi pada partai politik. Dari data survei terlihat DPR berada di urutan kedua terbawah yakni 7,1 persen masyarakat yang cukup percaya pada DPR. Indikator cukup percaya sebesar 61,4 persen, dan kurang percaya 26,6 persen. Sementara, yang berada di urutan paling bawah adalah kepercayaan masyarakat pada partai politik yakni hanya 6,6 persen.
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota dewan tidaklah terjadi begitu saja. Tentu ada faktor-faktor pemicu yang melatarbelakanginya. Jika melihat kiprah kinerja para anggota dewan, masyarakat pantas merasa kecewa karena masyarakat seringkali disuguhi fakta miris anggota dewan. Tidak semua, namun tidak sedikit pula.
Seperti Kasus korupsi yang melingkupi anggota dewan. Sebagaimana Firli Bahuri selalu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan sebanyak 1.479 orang ditetapkan sebagai tersangka sejak 2004 hingga November 2022. Para tersangka ini terdiri atas pihak swasta 370 orang, dan 319 orang dari anggota DPR. Sungguh sangat miris. (kompas.com, 19/12/2022)
Masih segar juga dalam ingatan kala DPR memutuskan pengadaan gorden rumah dinas sebesar Rp.43,5 miliar. Padahal saat itu sedang dalam masa pemulihan dari pandemi covid-19. Dimana tidak sedikit masyarakat yang terkena imbas PHK, usaha gulung tikar, ibu-ibu yang menjadi janda atau banyaknya anak-anak yang menjadi yatim piatu karena orang tua mereka meninggal akibat covid. (nasional.tempo.co, 9/5/2022)
Belum lagi banyaknya undang-undang yang dinilai tidak memihak rakyat yang malah disahkan oleh para wakil rakyat tersebut. Sebut saja UU omnibus law, UU minerba, dan lain-lain. Maka tidak heran jika masyarakat merasakan kekecewaan yang berimbas pada ketidakpercayaan pada anggota legislatif tersebut.
Wajah Wakil Rakyat di Era Kapitalisme
Para anggota DPR adalah penerus lidah rakyat. Mereka adalah orang-orang yang seharusnya paling diandalkan oleh masyarakat dalam memperjuangkan hak, keadilan, serta kesejahteraan. Kepercayaan terhadap mereka seharusnya menjadi hal utama karena duduknya mereka di kursi legislatif pun karena jasa masyarakat. Namun nyatanya bak kacang lupa kulitnya. Saat menjabat dan duduk di kursi panas para anggota dewan lebih sibuk dengan kekuasaannya dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi baik yang dilakukan anggota DPR maupun DPRD. Mereka berupaya untuk mengembalikan modal yang telah banyak dikeluarkan saat kampanye.
Hal tersebut tidak lain karena dalam demokrasi seseorang yang ingin menjabat harusnya punya modal besar. Biaya kampanye, biaya pembuatan poster, spanduk, tim sukses, dan lain-lain bisa mencapai milyaran. Maka pantas saja mereka berjuang mengembalikan semua materi yang telah dikorbankan.
Dampaknya, para anggota Dewan tidak melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat sesuai ekspektasi masyarakat. Nyatanya hampir di semua negara yang menganut paham demokrasi, kapitalisme, tingkat kepercayaan masyarakat pada anggota dewan memang rendah. Sebagaimana diungkapkan oleh Arsul Sani, anggota Komisi III DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Beliau tidak merasa kaget jika DPR berada di posisi kedua terendah dalam hal kepercayaan publik. Sebab menurutnya hal tersebut adalah hal yang lumrah di banyak negara. Beberapa negara seperti Jerman, Belanda, Inggris, dan Jepang pun kepercayaan publik terhadap parlemennya berada di kisaran 30 sampai 40 persen. (Republika.co.id, 2/7/2023)
Artinya, ada peran dalam sistem demokrasi kapitalisme yang membentuk pola kerja para wakil rakyat tersebut. Bahkan mirisnya bukan hanya pola kerja namun juga mengubah pandangan hidup dan karakter seseorang.
Karena di era kapitalisme saat ini, tindakan korupsi seakan sudah menjadi hal yang lumrah. Gaya hidup hedon pun sudah menjadi life style. Begitu pula dengan pandangan hidup. Demokrasi kapitalisme yang berasaskan sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) memandang hidup adalah untuk bahagia, dengan standar bahagianya adalah materi. Tidak heran jika begitu banyak manusia yang mendewakan materi (baca: uang).
Bagaimana Islam mengatur?
Dalam Islam, masyarakat diberikan wadah untuk menyalurkan aspirasi, keluh kesah, bahkan koreksi terhadap penguasa kepada majelis umat. Majelis umat seringkali disamakan dengan anggota dewan. Padahal jauh berbeda fungsinya. Majelis umat adalah perwakilan rakyat yang dipilih dari masyarakat. Mereka dipilih karena ketokohannya di masyarakat. Mereka dikenal amanah dan perhatian terhadap permasalahan masyarakat. Bukan terkenal karena parasnya yang tampan/cantik atau profesinya di layar kaca.
Fungsinya sendiri sebagai pengontrol dan pengoreksi. Setiap kebijakan yang mendzolimi rakyat akan disampaikan kepada penguasa. Jika penguasa tersebut tidak bergeming, maka qadhi madzalim (hakim yang berhak melengserkan penguasa) akan bertindak.
Majelis umat pun dapat menyampaikan pengaduan atas penyimpangan yang dilakukan pejabat-pejabat pemerintah kepada Khalifah.
Sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra,. pernah menerima pengaduan dari seorang kakek nonmuslim yang gubuknya hendak digusur Wali setempat karena dianggap mengganggu pembangunan masjid megah. Wali tersebut langsung membatalkan penggusuran setelah mendapat teguran dari amirul mukminin berupa mengirimkan tulang dan menorehkan tanda silang.
Majelis umat tidak mempunyai wewenang membuat peraturan seperti DPR saat ini. Karena peraturan yang sifatnya pasti berada di tangan sang Khaliq, Allah SWT. Kecuali peraturan yang sifatnya teknis, maka majelis umat dapat memberi masukan.
Oleh karena itu, kepercayaan rakyat akan tumbuh terus menerus kepada para anggota Majelis umat. Karena mereka melaksanakan tugas untuk menjaga hukum-hukum Allah senantiasa diterapkan. Tanpa adanya kedzaliman dan ketidakadilan di tengah masyarakat. Baik masyarakat, majelis umat, para pejabat, dan penguasa, semua bahu membahu untuk bisa menjalankan syariat-Nya secara kaffah dan mendapat rida dari-Nya.
Wallahu’alam
Post a Comment